Jakarta, sumbawanews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga orang tersangka terkait pengurusan dan perpanjangan HGU di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau, salah satunya Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau. Demikian disampaikan Firly Buhari, Ketua KPK dalam konfrensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (27/10).
“Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan penyidik KPK meningkatkan perkara ini ke tingkat penyidikan. Dan tentu dalam upaya penyidikan tersebut kita sudah mendapatkan bukti yang cukup sehingga patut kita duga beberapa tersangka dalam perkara tersebut,” kata Firly Bahuri.
Tiga tersangka yang ditetapkan KPK tersebut yakni, MS – Kakanwil BPN Provinsi Riau, FW – Swasta (pemegang saham PT.AA), dan SDR – Swasta (Jendral Manager PT.AA). Dan untuk kepentingan penyidikan, maka penyidik melakukan penahan terhadap saudara FW untuk 20 hari pertama, sejak 27 Oktober sampai 15 November di Rutan Polres Jakarta Selatan.
“KPK memerintahkan kepada saudara MS yang sudah dilakukan pemanggilan tapi tidak datang, untuk segera menyerahkan diri. Dan juga kami akan lakukan upaya paksa apabila tidak dating untuk kedua kalinya. Dan kami berharap, kepada masyarakat yang mengetahui keberadaan saudara MS agar memberitahukan kepada kita, supaya segera mempertanggungjawabkan dan mengikuti proses sebagaimana ketentuan yang berlaku,” tegas dia, juga menambahkan, Sedangkan terhadap SDR, KPK tidak lakukan penahanan, karena status yang bersangkutan sebagai terpidana dan sedang menjalani hukuman pidana di Lapas Sukamiskin Bandung.
Ia mengungkapkan, FW memerintahkan SDR untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan HGU PT.AA yang akan segera berakhir tahun 2024. Dari awal pengurusan, SDR diminta aktif menampaikan perkembangan kepada FW. Dan SDR melakukan beberapa pertemuan dengan MS, membahas perpanjangan HGU PT.AA.
Pada Agustus 2021, SDR menyiapkan dokumen adminsitrasi pengurusan HGU dengan luas lahan 3.300 hektar di Kabupaten Kuantan Singingi, yang salah satunya ditujukan kepada Kanwil BPN Provinsi Riau. SDR menemui MS di rumah jabatannya, dan dalam pertemuan tersebut diduga ada permintaan uang oleh MS sekitar Rp 3,5 milliar dalam bentuk dollar singapura. Dengan pembagian 40 persen sampai 60 persen sebagai uang muka, dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT.AA.
Dari pertemuan, SDD melaporkan permintaan MS kepada FW, dan SDR mengajukan permintaan sebesar 120.000 singapur dollar atau setara dengan Rp 1,2 milliar kepada kas PT.AA, dan disetujui oleh FW. Kemudian September 2021, atas permintaan MS penyerahan 120.000 singapur dollar oleh SDR dilakukan di rumah dinas MS. Dan MS mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun.
Setelah menerima uang tersebut, MS memimpin ekspose permohonan perpanjaan HGU PT.AA, dan menyatakan usulan permintaan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi AP – Bupati Kuantan Singingi, yang menyatakan tidak keberatan kebun kemitraan dibangun di Kabupaten Kampar. Atas rekomendasi MS tersebut, FW memerintah SDR untuk mengajukan surat permohoan kepada AP meminta kebun kemitraan PT.AA di Kampar dapat disetujui menjadi kebun kemitraan.
“Dilakukan pertemuan SDR dengan AP. Dan dalam pertemuan tersebut, AP menyampaikan kebiasaan dalam mengurus surat dan pernyataan tidak keberatan, dibutuhakn minal Rp 2 miliiar. Diduga telah terjadi kesepatan dan hal ini juga atas pengetahuan FW,” ucapnya.
Kemudian sebagai kesepakatan, pada September 2021 diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh SDR kepada AP senilai RP 500 juta. Selanjutnya 18 oktober 2021 diserahkan Rp 200 juta.
Atas perbuatan tersangka FW, SDR pemberi, disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a, atau pasal 5 ayat (1) huruf b, atau pasal 13 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, joncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan terhadap tersangka MS sebagai penerima, disangkakn melanggar pasal 12 huru a atau pasal 12 huruf b, atau pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. (Using)