Home Berita Serial Resensi Buku Kedua~ Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia: BISAKAH AGAMA DAN AGAMAWAN BERBEDA...

Serial Resensi Buku Kedua~ Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia: BISAKAH AGAMA DAN AGAMAWAN BERBEDA BERTEMU?

Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan

Buku kedua yang kutampilkan dalam rangka kolokium spiritualis dunia berjudul, “Mencari Titik Temu Agama-Agama” (terjemahan) yang ditulis oleh Frithjof Schuon. Buku ini diterbitkan Pustaka Firdaus, cetakan pertama tahun 2003, ketebalan sebanyak 222 halaman. Tentu saja, cukup menarik buat dikaji bagi kita yang hidup di negeri seribu agama. Negeri yang bila salah kelola bisa menjadi negeri neraka karena konflik intra dan antar agama.

Kita tahu bahwa tesis “kesatuan transenden agama-agama” adalah teori besar dalam wacana pluralisme dan keberagaman agama/spiritualisme/kepercayaan. Tokoh utamanya adalah Frithjof Schuon. Ia adalah ilmuwan besar kebangsaan Jerman yang oleh Seyyed Hossein Nasr (lahir 1933, cendekiawan besar Iran), dianggap sebagai orang yang paling otoritatif dalam diskursus pelik ini.

Baca juga: Serial Resensi Buku: Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia, MENSORGAKAN BUMI INDONESIA

Dalam teorinya itu Schuon yang kelahiran Basel, Swiss, tanggal 18 Juni 1907 ini berkeyakinan bahwa sekalipun pada tataran luarnya agama berbeda-beda, namun pada hakikatnya semua agama adalah sama. Dengan kata lain, kesatuan agama-agama itu terjadi pada level transenden. Bukan di level imanen (praksis ritual).

Tentu saja, diskursus ini keren dan tak akan pernah selesai. Mengapa? Di samping enigmatis, tema ini sangat sensitif apabila diperbincangkan di wilayah publik. Hal ini karena penilaian terhadap suatu agama sangat mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif; dogmatif; metarasional. Sikap semacam ini menyebabkan interaksi umat beragama di Indonesia, maupun di belahan dunia lainnya, ditandai oleh suasana yang cenderung eksklusif bahkan saling bersaing plus bermusuhan.

Baca juga: Resensi Buku: MENJEMPUT PERBAIKAN DENGAN PANCASILA

Ya, bagi para pemeluknya, agama merupakan kebutuhan asasi yang menentukan arah dan tujuan hidup. Sedang secara sosiologis, agama mengatur hubungan antar manusia dan alamraya, juga berinteraksi dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat lainya (ipoleksosbudhankam). Dengan demikian, semua agama bersifat operasional plus fungsional.

Pada dasarnya agama-agama besar yang dianut manusia dalam rentang sejarah merupakan satu rumpun, yakni agama semitik. Begitupula agama-agama non semit. Pada mereka terdapat suatu keterkaitan, bahkan tak jarang mempunyai kesamaan ajaran dan pandangan di wilayah gagasan, transandesi dan teologinya.

Salah satu kesamaan substantifnya terletak pada sudut akidah (keimanan), sebab agama-agama tersebut merupakan agama samawi yang memiliki titik temu dalam tataran hulu dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah. Kesamaan lainnya terletak pada nilai-nilai universal dan subtantif yang disampaikan oleh agama tersebut. Singkatnya, dalam pengertian generik dan substansial bersifat transenden, suci, absolut dan permanen.

Yang jadi problem adalah saat agama diimani sebagai sistem ideologis. Akibatnya, agama dianggap tafsir lengkap atas realitas dengan segala sistem maknanya; agama dianggap mengandung sistem identitas yang memiliki preskripsi moral terhadap masyarakat melalui seperangkat nilai yang diyakini paling benar; agama dianggap sistem yang berorientasi pada tindakan untuk memperoleh pengakuan bahwa hanya sistem idenya yang paling benar.

Akibatnya, konflik antar dan intra agama menjadi sulit berakhir. Padahal, konflik itu sesungguhnya adalah konflik interpretasi atau konflik ide. Tetapi, bisa membesar ketika ditambah dengan munculnya praduga teologis secara sepihak dan bumbu politik yang irasional.

Praduga teologis dan politis ini semakin lama semakin mengkristal dan menyejarah sehingga sulit dicari solusinya. Nah, buku ini memberi rekomendasi untuk membuka kembali kesadaran historis mengenai pluralisme agama melalui dialog dengan metoda filsafat perenial.

Buku asli yang berjudul, The Trancendent Unity of Religion ini menekankan pentingnya menyadari akan sumber yang sama, yaitu Tuhan dan menyadari kompleksitas dan pluralitasnya di dunia sehingga kaum beragama mampu menemukan titik temu, titik tumpu dan titik tuju (yang hulu). Saat yang sama mampu memandangnya sebagai metoda dan tradisi yang terus berkembang (yang hilir).

Lebih jauh, Frithjof Schuon juga merekomendasikan mental hibridasi yang memahami hal relatif sebagai absolut dan hal absolut sebagai relatif. Dengan begitu, dinamika kaum beragama yang plural akan dapat bertemu (guyon) bahkan bergotong royong secara faktual di kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Penulis merekomendasikan buku ini sebagai bacaan wajib di sekolah-sekolah kita sebagai cara melawan fundamentalisme dan fasisme kaum beragama yang makin marak. Dan, pada kolokium nanti rumusannya bisa disampaikan agar direalisasikan oleh pihak-pihak terkait.(*)

Previous articlePidato Kebangsaan vs Doa Kebangsaan
Next articleAnies Rasyid Baswedan : Kita Ingin Perubahan Hadir
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.