Home Berita MENEMUKAN YANG TAK KETEMU;  Resensi Buku Terakhir Karya Mochtar Pabottingi

MENEMUKAN YANG TAK KETEMU;  Resensi Buku Terakhir Karya Mochtar Pabottingi

Yudhie Haryono
Rektor Universitas Nusantara

Engkau, satu dari 3 guruku yang optimis berkata, “akan ada saatnya orang-orang bernas yang segera memimpin negeri ini.” Itulah fatwa berulang yang kucatat setiap ketemu. Termasuk saat terakhir kutemui untuk bergabung di Forum Negarawan.

Buku terakhir karyamu adalah “Nasionalisme dan Egalitarianisme di Indonesia 1908-1980.” Sebenarnya tidak terakhir sebab buku ini adaptasi dari disertasi di University of Hawaii, kampus di Honolulu~ditambah beberapa update terkait dengan beberapa topik mutakhir. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Agustus 2023. Ya. Selang dua bulan setelah berpulangnya engkau pada 4 Juni 2023.

Di buku ini penulis berusaha mengaitkan nasionalisme sebagai cara menuju “nasion” dan “egalitarianisme” sebagai cara menuju “demokrasi.” Dua yang jadi metoda sekaligus terkadang tujuan sehingga permasalahan politik di Indonesia masih terus berkisar dalam ketegangan maupun tarik menarik antara tuntutan-tuntutan nasion dan tuntutan demokrasi.

Nasionalisme tentu saja merupakan istilah yang berhubungan erat dengan gagasan dan asal-usul pembentukan negara. Dus, ia memiliki sejarah yang panjang dengan tafsir yang beragam. Di berbagai negara, gagasan nasional ini sering disandingkan dengan gagasan ipoleksosbudhankam untuk mengukuhkan sesuatu secara simbolik dan dijadikan pengikat perasaan kolektif.

Bagaikan diskursus demokrasi yang terus tumbuh, nasionalisme dan segala hal yang berkaitan dengannya juga tidak pernah berhenti diperbincangkan bahkan diperdebatkan untuk direalisasikan. Ia jadi khasanah yang ikut membentuk bangsa dan negara kita secara beragam.

Misalnya, tafsir nasionalisme ala Jokowi dkk ternyata tidak lagi didasarkan pada kenangan melainkan pada nalar dan pengamatan mereka atas situasi terkini. Ia mendedahkan nasionalisme pada usaha menumpuk uang dan jabatan sebanyak-banyaknya agar dendam kesumatnya pada kemiskinan yang diidapnya terbalaskan. Di sini, nasion dan nasionalitasnya anti moral dan anti kemanusiaan. Ia jadi nasion oligark yang menyiksa manusia sesama.

Lahirnya puluhan UU yang anti rakyat serta penggusuran rakyat menjadi bukti otentik bahwa pemerintahan Jokowi itu menafsirkan nasion dengan cara diametral dari para pendiri Republik Indonesia. Ia bahkan mengkhianatinya secara jelas dan gamblang.

Buku ini tentu saja merupakan suatu telaah politik dengan pendekatan diskursif-historis dalam bidang-bidang ideologi, ekonomi, kebudayaan, dan pandangan dunia (world views) dengan penghormatan pada disiplin sejarah. Itu juga membuktikan bahwa penulisnya sangat serius jadi ilmuwan politik cum sejarawan papan atas Indonesia.

Keseluruhan tulisan itu sampai pada simpulan bahwa raison d’etre bukunya bertolak dari apa yang diutarakan secara menggugah oleh Soedjatmoko: “Kesadaran sejarah membimbing [kita] kepada pengertian mengenai diri sendiri sebagai bangsa, kepada self-understanding of [our] nation, kepada sangkan paran [bangsa kita], kepada persoalan what we are, why we are, who we are” dan bahwa “Kemampuan kreatif Indonesia tidak bisa dipertahankan momentumnya, tanpa kita memperdalam kesadaran mengenai diri kita secara historis dan bukan secara mitologis.”

Tuan guru. Dalam sedihku mengenangmu, buku ini sedikit mengobati. Walau tak seberapa, kuingat kita pernah menulis bersama, “jenius terhadap diri sendiri adalah harapan, jenius terhadap sesama adalah cinta, jenius terhadap semesta adalah keyakinan. Dus, harapan, cinta dan keyakinan adalah trisula maut senjata kita dalam menapaki sejarah panjang pembentukan peradaban Indonesia Raya yang jaya. Tanpa ketiganya, jasad kita akan berkalang tanah tanpa martabat. Karena itu mari padamu negeri, jiwa raga ini kita wakafkan.

Guru, engkau percaya bahwa betikan-betikan sejarah (historical instances) adalah daging dan sumsum dari tiap analisis ilmu-ilmu sosial. Tapi engkau luput, banyak sejarawan kita mudah terbeli dan banyak elite kita jadi mucikari kepalsuan dan penjual kedaulatan.

Maka, mengingatmu dan membaca buku-bukumu mengingatkanku pada lagu “Lara Hati” karya Katon Bagaskara:

Yang tertinggal hanya gambarmu/Di meja kamarku/Ditemani dua puisi/Tentang lara hati/Engkau adalah/Yang terindah sepanjang hidupku/Luka meruah/Semua telah berlalu

Yang tersisa Rinai tawa mu/Di sudut benakku/Seperti kau Masih di sini/Larut di pelukku/Prahara menerjang/Kekasihku terhanyut menghilang/Kusemaikan duka/Kau tak pernah kembali

Oh/Angin malam bawa laguku/Ungkapan rindu menggebu/Kumasih tetap bertahan/Karna kenangan/Yang tertinggal hanya gambarmu/Di meja kamarku/Ditemani dua puisi/Tentang lara hati/Engkau adalah/Yang terindah sepanjang hidupku/Luka meruah/Semua telah berlalu.(*)

Previous articlePermasalahan Rempang Eco City Bakal Happy Ending, Jokowi: Demi Kepentingan Masyarakat Akan Diselesaikan Secara Baik-baik
Next articleHarga Paket Murah Catering Box Snack dan Nasi Timbel, Liwet, Tumpeng, Bakar, Nasi Bali, Nasi Padang di Cipanas, Pacet, Sukaremsi, Cugenang, Cianjur hingga Ciranjang
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.