Home Berita Serial Resensi Buku Keenam: Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia, MENGHIDUPKAN KEMBALI TAGOREISME

Serial Resensi Buku Keenam: Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia, MENGHIDUPKAN KEMBALI TAGOREISME

Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan

Membaca Tagore itu menerima diktum ana al-haq (tuhan yang menubuh dan tubuh yang menuhan). Nama lengkapnya Rabindranath Tagore (1861-1941). Guru purba bagiku ini merupakan penulis besar India yang mencuat di peta sastra dan spiritualis dunia. Aku mengoleksi karya-karyanya sejak SMA saat nyantri di Gontor bersamaan dengan mengoleksi semua karya Kahlil Ghibran.

Bagiku, gurunda ini adalah pembawa suara kebudayaan spiritual yang santun sekaligus kuat singularitasnya. Sedangkan bagi dunia dan India sendiri, beliau adalah legenda hidup. Ia dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, penulis drama, musisi, dan guru bangsa. Banyak sastrawan besar, seperti Andre Gide, Ezra Pound, dan W.B. Yeats, mengakui keunggulan karya-karyanya.

Baca juga: Serial Resensi Buku Kelima: Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia, KRISTUS DI ZAMAN MODERN

Bersama sahabat karibnya Mahatma Gandhi (1869-1948), Tagore dianggap oleh masyarakat India sebagai perlambang insan setengah dewa. Tahun lahirnya bersamaan dengan seniman ambisius Frederic Remington (1861-1909) yang karyanya tersebar di semesta.

Kehebatannya juga ditandai oleh meluasnya terjemahan karyanya di banyak sekali negara sekaligus penghargaan Nobel Sastra yang diterimanya pada tahun 1913. Sebagaimana kita tahu, belum banyak waktu itu nobelis dari benua Asia. Yang agak mengasikkan, ia juga menulis puisi berjudul “Kepada Tanah Jawa,” tertanda tahun 1927.

Baca juga: Serial Resensi Buku Keempat, Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia: BERYOGA AGAR BISA TERTAWA

Di buku ini, Tagore bicara mengenai satu yang tak-terbatas: ia yang ada pada setiap diri kita. Ia yang mengalirkan kebahagiaan, kebenaran, kesempurnaan, cinta dan simpati yang melintasi semua halangan kasta dan warna, kemerdekaan sejati dari pikiran dan jiwa yang tidak dapat datang dari luar diri kita.

Sungguh, ekspresi akan pencarian kebenaran dan kebahagiaan ini menjadi sesuatu yang kreatif, sedangkan hasrat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itu konstruktif.

Tagore membawa proporsi ini dari tiap individu lalu ke tingkatan rakyat, bangsa, pemerintahan, hingga hubungannya dengan bangsa-bangsa lain. Sangat eksploratif, mengguncang dan reflektif.

Bukunya kali ini berjudul “Kesatuan Kreatif” yang lumayan tipis karena ketebalannya hanya 224 hlm. Berbentuk bookpaper, berukuran 11X18 cm, berbahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Narasi Yogyakarta, bulan Mei tahun 2020, serta berISBN: 9786025792342.

Baca juga: Serial Resensi Buku Ketiga: Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia, LAKU TANTRA PURBA DI ZAMAN MODERN

Ia menulis keren sekali layaknya mengirim surat untukku, “yang tak terbatas bisa menyatu dengan sang diri; pada saat itulah kesatuan menjadi kreatif. Yang awal sudi menerima yang akhir lalu membuat satuan yang banyak dan yang banyak jadi satuan.” Orang jawa menyebutnya “manunggaling kawulo gusti.”

Tagore memastikan bahwa semua manusia akan terus mendapati 5K sepanjang hidupnya: Kesibukan, Kebutuhan, Keinginan, Kebingungan dan Kebimbangan.

Kesibukan adalah merasa harus ada yang dikerjakan. Dus, kesibukan memang menjadi jalan meraih kebermanfaatan hidup. Sumbernya jiwa dan raga. Sedangkan kebutuhan adalah keperluan yang dicari manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya secara alamiah melalui pencapaian kesejahteraan. Kebutuhan dapat dibedakan berdasarkan tingkat kepentingan, waktu, sifat, dan subjeknya. Sumbernya pikiran.

Baca juga: Serial Resensi Buku Kedua~ Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia: BISAKAH AGAMA DAN AGAMAWAN BERBEDA BERTEMU?

Keinginan adalah hasrat pada benda atau jasa yang ingin dimiliki, maupun hal yang ingin dilakukan tapi tidak selalu berdampak signifikan jika tidak terpenuhi. Sumbernya ego.

Sedang kebingungan adalah gejala yang membuat manusia merasa tidak bisa berpikir jernih. Manusia merasa tidak bisa fokus sehingga sulit membuat keputusan. Manusia pasti mengalami disorientasi dan delirium.

Baca juga: Serial Resensi Buku: Menyambut Kolokium Spiritualisme Dunia, MENSORGAKAN BUMI INDONESIA

Dari kondisi bingung, manusia merasa bimbang. Dus, kebimbangan adalah perasaan ragu-ragu atau cemas. Kebimbangan sangat berpengaruh dalam pemilihan keputusan yang akan dilakukan oleh manusia dalam hampir semua aspek hidupnya. Menghadapi lima kondisi ini, manusia harus tenang dan berkawan, berguru serta hening cipta (reflektif, proyektif dan berdoa).

Sungguh, di zaman modern yang menghasilkan mental volatile dan ruang bising, kita perlu menghidupkan tagoreisme. Dengan begitu, kita bisa lebih fokus, ceria dan optimis dalam hidup agar mencapai cita-cinta sejati.(*)

Previous articleJokowi Malah Selfie Bersama Penggiat Seni, Netizen: Katanya Kangen Didemo, Pura-Pura Sibuk Kerja
Next articleRannya Agustyra Kristiono, Politisi Milenial yang berusaha memperjuangkan apa yang Dibutuhkan Generasi Z Pulau Seribu Masjid
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.