Home Berita Mempertaruhkan Nasib Anak Pada Gula Berkedok Susu

Mempertaruhkan Nasib Anak Pada Gula Berkedok Susu

Dampak SKM

Es buah, es pisang ijo, dan kolak merupakan menu yang lumrah ditemui dalam hidangan selama Ramadan. Biasanya pelengkap yang digunakan pada menu tersebut seperti gula, sirup, atau kental manis. Kehadiran pemanis tersebut menjadi wajib, mengingat kebiasaan masyarakat ‘Berbuka dengan yang Manis’.

 Sudah lama diyakini, susu menjadi salah satu asupan yang baik bagi anak, terutama pada masa golden age. Pada masa ini, perkembangan otak anak bisa mencapai 80 persen. Kandungan nutrisi yang terdapat di dalam susu seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan beragam mineral dapat menunjang pertumbuhan anak dan memberikan stimulasi yang tepat untuk perkembangannya.

Baca juga: Dampak Konsumsi SKM, Jangan Sampai Ada Arisandi Lain

Meski perdebatan tentang manfaat susu untuk anak belakangan ramai diperbincangkan, kenyataannya, susu telah sejak lama dipercaya menjadi pelengkap gizi anak. Salah satu studi pertama tentang konsumsi susu pada 1928 oleh Chairman dari The Research Comittee of the Scottish Milk and Health J. Boyd ORR. Penelitian ini memperkirakan peningkatan 20% tinggi dan berat badan untuk anak-anak Skotlandia berusia 5 hingga 14 tahun yang mengonsumsi susu sebagai tambahan dari diet normal mereka selama tujuh bulan dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengkonsumsi susu.

Lebih lanjut, studi yang dilakukan pada anak-anak sekolah di New Guinea pada 1970 – 1977, menemukan adanya peningkatan yang signifikan berat dan tinggi badan anak-anak yang mengkonsumsi susu sekolah. Terbaru, penelitian yang dipublikasi oleh Scientific Reports melalui nature.com pada 2020 menegaskan hasil positif antara konsumsi susu dan pertumbuhan anak.

Baca juga: DPR Ingatkan BPOM Aturan Penamaan Kental Manis

“Kami menemukan bahwa konsumsi susu dikaitkan dengan peningkatan skor berat badan terhadap usia dan tinggi terhadap usia dan mengurangi kemungkinan menjadi sangat kurus atau terhambat,” sebagaimana dilansir dari nature.com pada Jum’at (24/3).

Di Indonesia, pro kontra mengenai pentingnya asupan susu dipicu oleh belanja susu yang menjadi menjadi beban ekonomi tersendiri bagi warga miskin. Sebagaimana diketahui, tingginya angka kemiskinan masih menjadi problem sosial di berbagai daerah di Indonesia. Data BPS menunjukkan, pada Maret 2022 terdapat sebanyak 26,16 juta penduduk miskin. Penduduk miskin adalah masyarakat dengan pengeluaran per hari tidak lebih dari Rp. 17.851.

Baca juga: Terungkap Bayi Alami Obesitas, Kenzie Minum 6 Botol Kental Manis Dalam Sehari

Dengan kemampuan ekonomi keluarga yang rendah tersebut, jelas para kepala rumah tangga harus putar otak untuk mengatur prioritas belanja rumah tangga. Harga murah dan ekonomis menjadi alasan utama. Alhasil,  untuk kebutuhan anak pun tak sedikit yang memilih susu jenis kental manis sebagai minuman hariannya. Selain harga yang lebih murah dibanding susu bubuk atau cair, kental manis tersedia dalam kemasan sachet dan mudah di peroleh.

Imah, ibu dari balita usia 3 tahun warga kedapatan membeli 2 sachet kental manis di warung dekat rumah di desa Cijantur, Bogor, Jawa Barat. Ia mengaku membeli susu untuk persediaan minum anaknya sebelum tidur. Setiap hari Imah menambahkan 1-2 sachet kental manis warna putih ke dalam belanja hariannya. Hal itu dilakukan sebab sang suami yang bekerja sebagai buruh tani mendapat upah secara harian.

Tak jauh berbeda dengan Imah, Dewi (40 th) memberikan kental manis untuk anak ketiganya sejak usia 3 bulan. Alasannya, Dewi bekerja sebagai buruh pabrik konveksi yang membuatnya tidak bisa menyusui sang buah hati dari pagi hingga sore. Pilihan jatuh pada kental manis, sebab harganya yang terjangkau.

“Anak pertama dan kedua saya dulu ASI full, karena bapaknya masih kerja. Saat anak bungsu saya lahir, bapaknya udah nggak kerja. Untungnya saya masih keterima kerja di pabrik. Jadi saya kerja buat makan, bayar kontrakan sama susu anak terpaksa beli yang murah,” beber Dewi.

Sejatinya, BPOM dan Kemenkes sejak 2018 telah melarang penggunaan kental manis sebagai minuman susu untuk anak. Kandungan gulanya yang tinggi dan minim nutrisi menjadi alasan. Namun, hingga saat ini masih jamak masyarakat yang memberikan kental manis sebagai minuman untuk anak.

Di Tigaraksa, Tangerang misalnya. Pada umumnya masyarakat masih mengenal kental manis sebagai susu. Seorang pemilik warung secara otomatis menyodorkan kental manis saat ada pelanggan menanyakan susu. “Mau yang putih atau coklat?” demikian pertanyaan pemilik warung sambil menjangkau rencengan sachet kental manis yang tergantung saat pembeli menanyakan susu.  Pada 2020, sebanyak 24 bayi di 7 desa wilayah kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang mengalami stunting.

Tak hanya alasan ekonomi yang membuat orang tua memberikan kental manis sebagai asupan harian untuk anaknya. Sebagian justru karena rasanya yang manis dan enak, lebih disukai oleh anak dibanding susu bubuk yang rasanya agak hambar. Sudah bukan rahasia lagi, manis dan gurih adalah salah satu rasa yang disukai anak.

Gula dan makanan berkarbohidrat tinggi lainnya meningkatkan kadar dopamin (memberi sensasi menyenangkan) di otak. Saat kadar dopamin rendah, maka mereka semakin menginginkan makanan manis ini. Hal inilah yang membuat anak yang sudah terbiasa dengan rasa manis seperti kental manis beresiko mengalami gangguan gizi.

 

Kental Manis Membawa Petaka

Konsumsi kental manis oleh anak kembali menjadi perhatian sejak Presiden Joko Widodo mengingatkan para ibu untuk tidak memberikan kental manis sebagai minuman anak. Hal itu dipicu oleh postingan seorang ibu yang memberikan kental manis untuk bayinya yang berusia 7 bulan. Si ibu juga mengatakan bayinya BAB hingga 10 kali dalam sehari.

Berselang 2 bulan, dunia maya kembali ramai membicarakan Kenzi asal Bekasi yang beratnya mencapai 27 kilo di usianya yang baru 16 bulan. Berdasarkan pengakuan Fitri, sang ibu, Kenzie telah mengkonsumsi kental manis sejak usia 12 bulan. Alasannya karena penghasilan sang suami yang bekerja sebagai kuli serabutan hanya cukup untuk membeli susu jenis kental manis.

Diketahui Kenzie bisa meminum 6 botol susu kental manis dalam kurun waktu 12 jam.  “Malem tiga kali, sebelum mau tidur jam 12, dan sekitaran subuh jam 4. Selama 12 jam itu 6 botol kecil,” jelas Fitri, sang Ibu. Kenzi saat ini berada dalam pengawasan tim dokter RS Cipto Mangunkusumo.

Dokter spesialis anak RS Permata Depok, dr. Agnes Tri Harjaningrum, SpA mengatakan meski disinyalir Kenzi juga memiliki kelainan genetik yang memicu obesitas, namun pemberian kental manis pada bayi jelas tidak dibenarkan. Apalagi dengan takaran dan frekuensi yang cukup tinggi.

“Kental manis bukan pengganti susu harian, kapan boleh? kalau di bawah 5 tahun nggak boleh minum SKM. BPOM juga menjelaskan SKM itu untuk topping bukan susu, jadi pemberian ASI dibutuhkan anak 6 bulan sampai setahun,” jelas dr Agnes.

Jika kita melihat beberapa tahun kebelakang, pemberian kental manis yang berakibat fatal   telah kerap kali terjadi. Di tahun 2018, seorang anak berusia 1 tahun bernama Vania, yang mengkonsumsi susu kental manis sejak berumur 2 bulan. Menurut pengakuan Ibu kandung Vania, Lipa, anaknya diberi susu kental manis karena Air Susu Ibu (ASI) Lipa sudah mulai berkurang.

Ia juga sempat menceritakan pada awal konsumsi kental manis, anaknya terlihat sehat dan gemuk. Namun lama kelamaan, kulit Vania mulai melepuh dan tidak bisa bergerak. Sejak itulah lama kelamaan berat badan Vania mulai berkurang hingga akhirnya didiagnosis gizi buruk.

Pada saat itu, kasus tersebut terbilang baru di dunia kesehatan, dan akhirnya menjadi perhatian khusus. Bermula dari ketidaktahuan orang tua bahwa kental manis tidak boleh diberikan kepada anak, apalagi bayi dibawah usia 1 tahun.

Selain Vania, di tahun yang sama juga terdapat kasus anak meninggal akibat gizi buruk karena konsumsi kental manis. Anak tersebut bernama Arisandi yang saat itu berusia 10 bulan, asal Konawe, Sulawesi Tenggara.

Arisandi mengonsumsi susu kental manis sejak berusia 4 bulan. Setelah beberapa bulan, ia mengalami gejala luka-luka pada kulit dan alergi akibat kekurangan nutrisi. Meski sudah mendapat pertolongan medis, namun nyawanya tetap tidak tertolong.

Di tahun 2023 ini, setelah viral kasus Kenzi, baru-baru ini juga viral terkait kader posyandu di Desa Banjang, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang memberikan kental manis pada paket makanan tambahan untuk anak stunting.

Kasus tersebut membuktikan buruknya komunikasi lintas sektor. Sebagaimana diketahui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan garda terdepan pemantauan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Kader Posyandu pun mestinya memiliki bekal pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi masyarakat.

Obesitas di usia dini yang dialami Kenzie merupakan salah satu bukti lemahnya fungsi Posyandu di masyarakat. Deteksi dini terhadap tumbuh kembang anak, serta monitoring pengasuhan anak oleh orang tua tidak optimal. Maka tidak heran bila publik kembali mempertanyakan, bagaimana pembekalan yang diberikan terhadap kader posyandu oleh institusi terkait.

 

Peran Vital Institusi & Petugas Kesehatan

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Irma Suryani Chaniago kembali mengingatkan mengenai aturan penamaan kental manis yang tidak menggunakan kata susu. Menurut Irma, komisi IX DPR RI telah menetapkan bahwa kental manis adalah produk yang digunakan untuk topping.

“Kita sudah sepakat di Rapat Dengar Pendapat (RDP), bahwa yang namanya kental manis itu bukan susu,” tegas Irma dalam sebuah forum bersama Kemenkes dan BPOM pada Senin (20/3) kemarin. Hal itu disampaikan Irma saat menanggapi  pernyataan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rita Endang yang masih menyebut kental manis sebagai susu.

Lebih lanjut, Irma menjelaskan bahwa pernyataan Rita dapat memicu kesalah pahaman pada masyarakat, terutama pada ibu-ibu yang minim akses informasi dan edukasi.  “Karena kalau ibu (re: Rita) ber-statement seperti itu akan terjadi kesalahpahaman lagi. Nanti di ibu-ibu masih tetap mengatakan bahwa ada kandungan susu di situ. Nah ini enggak boleh.” jelas Irma.

Senada dengan Politikus Partai Nasional Demokrat tersebut, Plt. Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu & Anak, dr. Lovely Daisy, MKM., menyatakan bahwa penyebutan kental manis di masyarakat yang harus segera diperbaiki.

“Sepertinya kalau dari Kemenkes itu sudah jelas ya jadi kental manis itu kita menyebutnya bukan susu kental manis, tapi hanya kental manis saja. Mungkin nanti penyebutan di masyarakat ini yang harus kita perbaiki.” ujar Daisy.

Mantan Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari mengatakan kasus-kasus kesalahan konsumsi kental manis  tersebut dapat diatasi dengan mudah apabila Posyandu berperan aktif di masyarakat. Dalam kasus Kenzie misalnya, Posyandu seharusnya segera melapor ke Puskesmas saat mendeteksi peningkatan berat badan yang tidak wajar.

“Dalam hal ini, Posyandu seharusnya berkoordinasi dengan Puskesmas. Ini harus dibantu oleh Kemenkes. Jadi apabila ditemukan anak-anak dengan gejala-gejala gizi bruk, obesitas, bisa segera di atasi. Tolong Kemenkes dibenarkan lagi koordinasinya,” jelas Siti Fadilah.

Memperhatikan dinamika komunikasi pada level pejabat publik dan lembaga negara seperti DPR, BPOM dan Kemenkes yang ternyata masih kerap terlihat tidak harmonis, maka tidak heran persoalan kesalahan konsumsi kental manis oleh masyarakat tidak akan pernah usai. Aturan pelabelan, iklan dan promosi kental manis yang melarang penyebutan susu atau visualisasi kental manis sebagai minuman susu pun hanya sebatas regulasi. Sementara bundling kata ‘susu’ pada ‘kental manis’ sudah terlanjur melekat pada persepsi masyarakat. Sehingga kental manis yang sejatinya memiliki kandungan gula lebih dari 50% tetap dianggap susu dimata masyarakat yang sebagian besar minim edukasi.

Previous articleTiga Pegawai Avsec Dipecat, Denny Siregar Kompori Habib Bahar: Pekerjakan Dong, Gaji Naikan 3x
Next articleAmir Jawas Usul Bupati KSB Musyafirin Sebagai Calon Walikota Depok
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.