Home Berita Memburuknya Indikator Demokrasi di Indonesia

Memburuknya Indikator Demokrasi di Indonesia

CATATAN RINGKAS

M. Hatta Taliwang.

Dalam pandangan beberapa ahli, Demokrasi masih dianggap sistem terbaik dalam berpemerintahan di dunia. Meskipun demokrasi itu sendiri dianggap banyak masalah dan kontroversinya.

Berdasarkan hasil survei The Economist Intelligence Unit (EIU) Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat), di tahun 2022.

Skor rata-rata Indonesia pada indeks demokrasi hanya mencapai 6,71 dari skala 0-10. (Semakin tinggi skor maka semakin baik kondisi demokrasi suatu negara).

Skor Indonesia naik pada tiga aspek, yakni keberfungsian pemerintah, yakni dari 7,50 menjadi 7,86. Kebebasan sipil naik dari 5,59 menjadi 6,18. Sementara partisipasi politik melesat dari skor 6,11 menjadi 7,22.

Pada dua aspek lain masih stagnan dibandingkan dengan tahun lalu yaitu Proses elektoral dan Pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Adapun indikator budaya politik juga masih berada di angka 4,38.

Menurut lembaga Varieties of Democracy (V-Dem) yang juga mengukur kualitas demokrasi di seluruh dunia, bahwa penurunan kualitas demokrasi yang terjadi di Filipina dan Indonesia berasal dari tiga aspek utama, yaitu demokrasi liberal, demokrasi elektoral, dan komponen partisipasi politik.

Penurunan sudah terjadi sejak tahun 2013, tetapi penurunan yang cukup signifikan terjadi sejak 2016 sampai 2020. Seperti diketahui pada periode tsb banyak penangkapan politik terhadap oposisi, penyelenggaraan Pemilu Pilpres yang buruk dll.

John Rawls memberikan tinjauan atas kemungkinan para kapitalis atau pemodal besar dapat mempengaruhi jalannya Pemilu dalam sistem demokrasi liberal.

Mengutip Bowles dan Gintis, bahwa ideologi kapitalisme yang dijalankan oleh Amerika dianggap mendorong rakyatnya untuk tidak mempunyai alternatif pilihan.

Bahwa kapitalisme tidak mendukung budaya politik demokrasi di sebuah negara.

Kondisi demikian terjadi dalam sistem kapitalisme terutama pasca kuatnya paradigma institusional ekonomi. Institusi ekonomi menempatkan semua hal yang berada di luar sistem ekonomi sebagai beban, dan itu termasuk dimensi sosial dan politik.

Melihat pada potensi monopoli dan dominasi yang cenderung mengarah pada ketidakadilan, maka Michael Walzer menekankan bahwa kekuasaan politik adalah sesuatu yang mesti didistribusikan secara bebas dari dominasi uang, posisi sosial, dan bentuk lain dari komoditas otonom lainnya.

Melihat situasi kuatnya pengaruh kapitalis atau pemodal dlm kekuasaan John Rawls memberi solusi yaitu partai politik harus didanai oleh dana publik, dana yang berasal dari pajak rakyat. Harapannya adalah partai politik tidak tunduk kepada sponsor keuangan besar mereka melainkan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Sejak beberapa tahun lalu dikenal frasa Konsolidasi Demokrasi. Yang dimaksud konsolidasi demokrasi adalah menyamakan cara pandang seluruh elemen bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk menjalankan agenda-agenda demokrasi secara bersama-sama dengan baik dan benar.

Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1996), menuturkan bahwa konsolidasi demokrasi memerlukan kesinambungan di antara berbagai faktor, antara lain:
1. Masyarakat sipil (civil society) yang kuat.
2. Masyarakat politik (political society): partai politik, institusi pemilu, regulasi pemilu, pemilih, dan elite politik yang kian dapat mematuhi prosedur serta aturan kompetisi yang telah disepakati.
3. Supremasi hukum (rule of law).

Indonesia selama tiga kali pemilihan presiden secara langsung, seharusnya dapat menjadi pijakan bagi hadirnya konsolidasi demokrasi yang kian matang dan stabil.
Misalnya Pemilu /Pilpres seharusnya makin jurdil dan berkualitas, President Threshold tak perlu ada, Penyelenggara Pemilu yang transparant dan lain lain seperti yg sering kami kritik dlm tulisan kami tentang Keburukan Sistem Pilpres Langsung.

MHT 15 Januari 2023.

Previous articleBadan Pangan Nasional, Gubernur NTB dan Bupati Sumbawa Tinjau Fasilitas Logistik Multi Agro di Cilegon Banten
Next articleTindakan Sigap Satgas Yonif 143/TWEJ Tangani Korban Penganiayaan di Perbatasan RI PNG
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.