Home Berita Bone dan Karakter Pancasila

Bone dan Karakter Pancasila

Mayangsari

Pengajar Program KKK Nusantara Centre

Memori. Pada bulan Desember 2017, saya datang ke tanah leluhur dari garis ibu. Ini kunjungan pertama. Saya merindukan tanah kelahiran ibu sejak kecil. Dalam nurani ini seakan-akan saya ditarik kuat sekali untuk menginjakkan kaki, pulang ke tanah Bone. Sungguh, rasa itu sudah menyiksa bertahun-tahun lamanya. Atas izin Yang Maha Kuasa barulah tahun 2017 menyempatkan diri pulang kampung.

Di sana, saya mencari keluarga dan bersilahturahmi menyambung tali persaudaraan yang erat. Saya mampir ke HMI Cabang Bone, Komisariat Hukum, sampai kemudian berkunjung ke makam leluhur kami yaitu Raja Bone ke-16 Sultan La Pattau Matanatika Nagauleng yang dari kota Bone menempuh jarak 25 Km/30 menit perjalanan.

Baca juga: Program Pendidikan Karakter Pancasila Perlu Membuat Rute Alirannya

Sultan La Pattau inilah yang menyatukan kerajaan di seluruh tanah Sulawesi Selatan mulai dari Wajo, Paloppo, Gowa, Shoppeng dll dengan ikatan perkawinan. Tahun 2018 menjadi tahun ke-2 saya mengunjungi Bone. Agenda saya ialah bertemu dengan sejarawan dari Bone, Andi Ardiman dan berdiskusi di salah satu cafe di kota Bone dengan suasana syahdu penuh kemesraan sebab di malam itu seolah-olah para leluhur ikut menghadiri diskusi dalam suasana malam bercahaya bukan hanya di langit tapi di sekitar kami. Terasa sekali cahaya yang begitu terang dari jiwa-jiwa suci yang berkumpul untuk berdiskusi tentang Tuhan dan Alam Raya. Apa isi diskusinya?

Dalam kitab Lontra, ada beberapa tulisan terkait spiritual yang mendalam mengenai Pengandereng. Kata pangadereng dari bahasa Bugis maknanya adalah peradaban. Nyawanya adalah berpegang teguh pada adat-istiadat dan mengaktualkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini seperti Undang-undang dan Pancasila. Di sana juga ada konstitusi tersendiri yang dipergunakan oleh bangsa Bone.

Baca juga: Agar Pancasila Tidak Hanya Jadi Simbol

Dalam bahasa Prof Iwan Sumantri, arkeolog dan budayawan dari Unhas, “kita selama ini terlalu mengkerdilkan Bone hanya sebuah suku, padahal Bone itu sebuah Bangsa, karena punya konstitusi dan ada parlemennya.” Terbentuknya dari federasi sama dengan Amerika. Bangsa Bbone terbentuk dari 7 negeri kecil yang melatarbelakangi terlahirnya Bone.

Dalam penelitian Prof Zainal Abidin dalam Kalepta Sulawesi Selatan, dinyatakan bahwa kerajaan-kerajaan di Celebes (Sulawesi) disinyalir ada satu rezim besar yang mengatur kerajaan-kerajaan ini sehingga tebentuk hampir sezaman di tahun 1300 M. Mereka punya konsituti dan parlemen, struktur pemerintah yang tersusun jauh sebelum demokrasi ada, mereka menggaungkan emansipasi perempuan, dan sudah ada HAM, punya aksara sendiri, punya Lontra dari falsafah sula ampak-ampak yang mirip aliran sufisme.   Kebudayaan mereka itu banyak sekali yang masih ada sisanya sampai kini. Sisi beradat Bone itu terlihat dari geraknya bahkan melalui tarian asli Bone tidak ada yang angkat kaki, sebab tidak boleh diangkat.

Bangsawan Bone disebut arungput. Artinya pasti membumi. Kemuliaan bangsa Bone itu bukan karena aturan tapi kesadaran rakyatnya memuliakan pemimpinnya, sebab pemimpinnya  benar-benar memaslahatkan rakyat. Sebaliknya mereka melakukan tiga hal: lewariwik, lewaringin rungi, reawelawi. Artinya, dia tempat meminta pertolongan, dia tempat meminta nasehat, dia tempat meminta perlindungan. Jadi kalau tiga hal itu tidak ada dalam jiwanya maka dia bukan bangsawan.

Kini tanah celebes (Sulawesi) menjadi bagian dari NKRI. Dan, yang menjadi penentunya adalah Kerajaan Bone. Adi Pamacukilah yang mengundang semua raja-raja di Sulawesi untuk hadir di Bone pada saat kedatangan Soekarno. Apa yang membuat raja-raja terdahulu ingin bergabung dengan NKRI? Ini lebih kepada kemaslahatan masyarakat yang mereka pikirkan. Ada kemaslahatan lebih besar yang dibawa oleh Soekarno ketika bergabung menjadi bagian dari NKRI.

Pesan para raja itu buktinya, “patampuange ajak mewangi sewaruangi he duan-duan mancai matelu mapang nadarai aju tabu asai naiya uja tune ditare tana mubui diatare wase gai ritare ria pitu masih gidhu …” Artinya, jangan pernah engkau bersandar pada 4 hal: keberanian, ilmu pengetahuan, harta dan kedudukan karena semua ibarat kayu lapuk, disimpan di tanah habis dimakan rayap, disimpan di air habis kemasukan air, disimpan di api habis jadi api. Kita tidak boleh bersandar pada keberanian, pada ilmu pengetahuan, tidak  pada kedudukan, tidak pula pada hartanya, tapi pada imannya.”

Budayawan-budayawan di Sulawesi Selatan yang menonjol itu pada umumnya, belajar melepas ke-Aku-annya dengan mempelajari Budaya Di Bone. Makanya tidak ada kata dalam bahasa Bugis “Aku” dan dalam setiap gerak adalah doa. Jadi memang terukur benar  serta terurai falsafahnya dalam gerak sehingga membentuk tatanan.

Di Bone sudah ada pembentukan karakter. Dapat ditemukan 5 dasarnya: Lempue nasibawangi tau, adapangenge naspabawangi tike, nasipabawangi kenteng, akalangi nasipabawangi betinganawa, dan awalirenge nasibawangi simbawangi. Dari filsafat pendidikan karakter ini, lahirlah istilah tamperebondok yang membedakan penguasa dan rakyat hanyalah selembar tikar. Ya, tikar itu disebut tamperebondok. Karenanya, di Bone jabatan, karakter dan status sosial hanya berada pada tiga tanda: lempue adatonge (kejujuran, kebenaran dan konsistensi).

Semua sejarah yang terhampar, semua ujaran pendidikan yang terungkap, semua filsafat negara yang tersaji dan semua kisah yang dapat kita pelajari merujuk ada model pembentukan karakter yang egaliter, demokratis, berketuhannan, berkemanusiaan dan berkeadilan seperti dalam karakter dan mental Pancasila. Tidak salah jika Soekarno bilang, “bukan aku yang menciptakan Pancasila, melainkan ini hasil galian dari seluruh watak warga dan rakyat nusantara.” Semoga kita bisa temukan juga hal-hal lain yang berserakan di tempat lainnya.(*)

Previous articlePPATK Blokir Rekening Panji Gumilang Al Zaltun, Miliki 256 Rekening dan Mutasi Triliunan Rupiah
Next articleWujudkan Ketahanan Pangan, Satgas Yonif 143/TWEJ Panen Bersama Warga Papua
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.