Oleh: Muslim Arbi
Direktur Gerakan Perubahan dan Koordinator Indonesia Bersatu
Rame-rame insitusi penegak hukum jadi alat politik. Itu lah saat ini lagi ngetrend dan fenomal.
Betapa tidak?
Mahkamah Agung akan mengadili kasus PK Moeldoko. Tokoh – dan aktifis anggap Moeldoko, mantan Panglima TNI di era SBY Presiden itu sedang berupaya untuk mecopet partai besutan suami Alm Anie Yudhoyono itu.
Baca juga: SBY Turun Gunung Dukung Anies, Muslim Arbi: Jokowi Kewalahan
Joko Widodo membiarkan Moeldoko lakukan tindakan membegal partai Demokrat itu oleh publik anggap Jokowi turut terlibat. Karena tidak ada sanksi terhadap Moeldoko. Mesti nya itu merusak demokrasi dan konsitusi.
KPK dan Kejaksaan Agung juga demikian. Atas nama penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Dua instusi itu hanya menyasar kasus2 dugaan korupsi yang di lakukan oleh lawan politik kekuasaan.
Baca juga: Putusan MK Beda dari Bocoran Pembisik, Ini Kata Denny Indrayana
KPK dan Kejaksaan Agung terlihat hanya mengusut kasus – kasus di seputar mentri – mentri Nasdem. Hanya karena Nasdem capreskan Anies Baswedan. Capres yang tidak di sukai Istana. Padahal Rakyat sangat antusias sambut Anies di berbagai pelosok negeri. Karena dambakan perubahan dan persatuan.
Publik membaca, KPK dan Kejaksaan Agung telah menjadi alat politik kekuasaan? Digunakan untuk hancurkan lawan – lawan politik penguasa saja?
Baca juga: LBM NU Jabar Tegaskan Ponpes Al-Zaytun Menafsirkan Al-Qur’an Secara Serampangan
Kasus Harun Masiku, kasus laporan Ubeidillah Badrun tentang KKN anak – anak Jokowi. Sampai saat ini tidak jelas pengusutan nya oleh KPK.
Warga Solo yang laporkan dugaan kasus – kasus Korupsi Jokowi saat jabat walikota Solo. Juga mangkrak di KPK.
Kasus2 Bansos yang di lakukan oleh Mentri PDIP, Jualiardi Batubara. Hanya sampai di Mensos nya saja. Padahal waktu publik tahu keterlibatan sejumlah kader PDIP seperti Herman Heri dan Ismail Yunus yang di pindah kan dari Komisi nya di DPR karena di anggap ikut bermain Bansos tidak di tindak oleh KPK.
Kasus e-KTP yang di usut oleh KPK di zaman Agus Raharjo berhenti hanya sampai di Setya Novanto, Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR saat itu. Sedangkan sejumlah kader dan pengurus elit PDIP yang nama2 di bacakan oleh Setya Novanto di depan Hakim. Seperti: Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Olly Dodo Kambey tidak di usut oleh KPK hingga saat ini.
Laporan publik tentang Dana PCR yang libatkan nama Luhut, Erick Thohir dan Boy Thohir, abangnya Menneg BUMN tidak di sentuh oleh KPK.
Dan saat ini adalah tahun politik. Sehingga, jika insitusi penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan Agung hanya: membidik para kader partai yang karena mencapreskan Anies Baswedan. Insitusi hukum itu telah menjadi alat politik kekuasaan untuk menjatuhkan lawan – politik dan melindungi para kader partai yang seharus nya di proses hukum secara adil tidak di lakukan. Sama saja. Insitusi Hukum saat ini telah tersandera oleh kekuasaan dan menjadi alat penekan dan bahkan penindas.
Publik anggap Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sedang lakukan politik: Lindungi kawan dan hancurkan lawan dan instusi hukum seperti MA, KPK dan Kejaksaan Agung telah menjadi alat kekuasaan. Ini berbahaya bagi Bangsa dan Negara. Jika di lihat dari perspektif hukum, penegakkan hukum dan keadilan di negeri ini.
Dan tindakan itu adalah pengrusakan insitusi hukum dan insitusi negara yang nyata. Dan itu menimbulkan rendah nya kepercayaan publik bahkan bikin mosi tidak percaya terhadap insitusi penegak hukum akibat dari ambisi kekuasaan rezim yang sedang berjalan saat ini.
Rezim Jokowi dianggap menjerumuskan negara kedalam kubangan kekuasaan yang merusak. Dan jika rakyat berbondong – bondong desak Jokowi di Makzulkan sangat beralasan. Dan tepat.
Karena Jokowi dianggap gagal tegakkan hukum, keadilan: merusak insitusi hukum. Ya merusak negara dan Bangsa!
Sawangan: 18 Juni 2023