Home Serba Serbi Literasi Wah! Ternyata Raja Lombok Pernah Dirikan Pabrik Narkoba Terbesar Zaman Hindia Belanda

Wah! Ternyata Raja Lombok Pernah Dirikan Pabrik Narkoba Terbesar Zaman Hindia Belanda

Pengisap Opium Sumber Historia.id

Jakarta, Sumbawanews.com.- Salah satu pabrik narkoba terbesar di zaman Hindia Belanda di miliki oleh raja Lombok yang pabriknya berlokasi di Karangasem Bali yang memproduksi candu.

Sumbawanews.com mengutip dari majalah Lensa Budaya, Vol. 13, No. 2, 2018, menceritakan tentang kepemilikan pabrik candu di Karangasem Bali dimiliki oleh raja Lombok yang bahan baku didatangkan dari India.

Baca juga: Dokumen Surat Kontrak Gubernur VOC dengan Raja-Raja di Pulau Sumbawa

Pada masa itu, candu adalah komoditas legal yang pengedaran dan penggunaanya dikontrol oleh pemerintah Belanda. Karena legalnya candu pada masa itu, di nusantara termasuk di Lombok banyak didirikan rumah candu, yaitu tempat legal untuk menghisap candu.

Kebiasaan menghisap candu saat itu telah menjadi tradisi di kalangan pejabat istana. Bahkan, untuk menunjukan status sosial seorang pejabat istana, penjamuan tamu kerap kali disuguhi candu dengan kualitas terbaik.

Baca juga: Arsip Pemindahan Ibukota Kesultanan Sumbawa dari Selaparang ke Sumbawa

Sikap terhadap opium pada beberapa wilayah di Indonesia bagian timur beragam. Beberapa tempat memperbolehkan penggunaan opium dan menjadikannya sumber pendapatan wilayah tersebut sementara lainnya melarang penggunaan dan perdagangan opium.

Di Bali contohnya raja memperbolehkan opium dikonsumsi dan diperdagangkan dalam wilayah kekuasaannya. Malahan penggunaan opium luas tersebar berkat kebijakan raja karena hal itu dapat memberikan untung baginya. Lain dengan di Bali, Raja Mataram (Lombok) melarang penduduknya di Lombok menghisap opium. Tahun 1839 raja mengumumkan larangan masuknya opium ke Lombok. Namun larangan itu tidak berlaku bagi pedagang Inggris yang diberikan hak oleh raja untuk memonopoli perdagangan opium.

Baca juga: Geografis Kabupaten Sumbawa Tempo Doloe

Hal ini sepertinya merupakan cara untuk melawan kekuasaan Belanda di Lombok. Larangan menghisap candu tetap berlaku hingga jatuhnya kekuasaan raja Lombok pada tahun 1894. Wilayah kekuasaan raja di luar Pulau Lombok dibiarkan menghisap candu, Karangasem (Bali) misalnya.

Bahkan, Raja Lombok memiliki satu pabrik opium di Bali. Opium di sini didatangkan dari India melalui Singapura, kemudian diolah menjadi rokok opium (rookopium). Tahun 1870-an raja memberikan kepercayaan kepada seorang pedagang Cina bernama Oie Soen Tjioe menjadi bandar di Karangasem-Bali. Tugasnya yakni sebagai agen pengiriman dan penyedia candu serta sebagai penasehat. Jadi opium tidak sepenuhnya dilarang penggunaannya oleh raja Lombok, namun tetap terbatas pada kalangan atas dan penduduk asing.

baca juga: Desa Mantar dan Penggalan Kisah Leluhur

Seperti di Jawa, hak menjual opium diberikan kepada orang Cina dengan sistem penyewaan (pak) dengan uang sebesar 4.000 dolar (Spanyol) setiap tahun. Sejak runtuhnya kekuasaan raja tahun 1894, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih pemerintahan.

Setelah mengambil alih kekuasaan, aspek yang menjadi perhatian pemerintah Belanda salah satunya adalah perdagangan opium. Belanda kemudian seperti Jawa dan Madura menerapkan “opium regie” untuk wilayahnya di Lombok. Dengan sistem yang baru ini pemerintah lebih bisa mengontrol penggunaan opium sampai ke tangan penduduk. Tahun 1895 pemerintah Hindia Belanda menerapkan pajak impor untuk opium mentah sebesar f 450 per 100 kilogram dan candu (morfin) sebesar f 900 per 100 kilogram.

Baca juga: Ganjar Klaim Kematian Ibu dan Anak Menurun, Warganet: Justru Angka Tinggi di Jateng

Di Sumbawa pernah ada larangan (setelah letusan Tambora) dari raja untuk penduduknya menghisap candu. Meskipun dilarang, arus opium tetap mengalir ke Sumbawa.
Seseorang dapat menjual opium secara kecil-kecilan jika opium itu dibeli dari orang-orang yang memiliki hubungan dengan sultan. Mereka juga harus disertai izin dagang dengan membayar lima dolar (Spanyol) kepada sultan. Opium masuk ke Sumbawa dibeli oleh para pangeran dari Singapura sebesar 4 peti setiap tahunnya dengan harga sebesar f 1.750. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan opium mencapai f 1.250 per peti. Keuntungan total yang diperoleh sultan jika membeli 4 peti setiap tahun berjumlah f 5.000.

Kasus serupa juga terjadi di Bima, di mana sultan secara langsung memonopoli perdagangan opium. Alurnya adalah sultan membeli opium dalam jumlah besar kemudian menjualnya kepeda pembesar kerajaan dan nantinya akan dijual eceran kepada penduduk.

Tidak disebutkan jelas berapa total untuk sultan dari perdagangan opium. Namun tahun 1870-an sultan mendapatkan untung sebesar f 500. (sn02)

Previous articleCiptakan Keharmonisan, Satgas Yonif Raider 200/BN Bersilaturami Dengan Komponen Masyarakat Bolakme
Next articleMorotai Ambil Bagian Latihan Perang Dalam Latgab TNI 2023
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.