Home Berita Trias Revolusi

Trias Revolusi

Yudhie Haryono

Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Kami warga negara Indonesia bersumpah, negara Indonesia tanpa KKN. Kami warga negara Indonesia mengaku bernegara demokrasi, negara Indonesia tanpa kemiskinan. Kami warga negara Indonesia menjunjung tradisi ipoleksosbudhankam dahsyat, ipoleksosbudhankam Pancasila. Tiga sumpah ini layak dibaca, diresapi, dan dimatrialisasikan ulang setelah membaca buku-buku karya Benedict Anderson.

 

Tiga sumpah inilah ontologi trias revolusi: revolusi mental, revolusi struktural dan revolusi teritorial yang hadir untuk memenangkan perang kejeniusan, perang mata uang dan perang asimetrik.

 

Indonesianis Ben memang keren. Bukunya yang berjudul: Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 adalah buktinya. Versi dari karya yang dikatapengantari oleh George McT. Kahin dan diterbitkan Marjin Kiri adalah karya nyata. Buku ini setebal 570 + xxii hlm. Berukuran 14x21x3 cm, dan berISBN: 978-979-1260-77-1.

 

Ilmuwan muda Danil Akbar (2023) menulis bagus sekali soal revolusi, “Kita harus menyadari bahwa Bangsa ini dibangun melalui proses revolusi. Dan, akan terus merevolusi diri hingga sampai pada kesempurnaan hidupnya sebagai suatu bangsa, mencapai puncak peradaban bangsa yang paripurna.

 

Kemarin kita berdiri di atas tanah air ibu Pertiwi ini dari sebuah proses revolusi, hari inipun kita butuh revolusi bahkan di hari esok kita akan terus berevolusi hingga menjadi suatu bangsa yang besar nan jaya, digdaya dan paripurna sebagai suatu bangsa yang akan menjadi poros peradaban dunia. Indonesia mercusuar dunia. Salam nusantara. Salam kebangkitan. Salam pembebasan. Salam kemenangan. Salam Pancasila. Ini panca salam untuk kalian yang merasa kaum Pancasilais yang progresif revolusioner, yang tetap semangat mengemban amanat penderitaan rakyat.”

 

Sesungguhnya, target antara dari revolusi apapun itu adalah “kesetaraan.” Ini adalah persamaan individu dengan individu lainnya sehingga mereka memiliki status yang sama dalam lingkungan masyarakat. Status sama dan setara tentu barang mahal di masa kolonial.

 

Karena itu, pasca revolusi, kesetaraan harus diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan (ipoleksosbudhankam). Dengan nilai setara maka secara sosial-politik keadaan mereka berada pada kedudukan yang setara dalam hal kekuasaan, kesempatan, keadilan ataupun pengaruh politik.

 

Di situ pentingnya revolusi yang menghasilkan kesetaraan dalam keberbinekaan untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis sehingga tercipta relasi yang adil, bebas dari kesenjangan, terciptanya rasa saling menghargai dan menghormati (toto tentrem kerto raharjo). Tanpa itu, revolusi jadi basi.

 

Agar kesetaraan dapat merealitas, tak ada pilihan kecuali terus bergerak. Melawan kezaliman. Tegakkan keadilan. Kapanpun dan di manapun tetap semangat berjuang mempertahankan dan mendaulatkan nilai-nilai Pancasila sebagai satu-satunya dasar terbaik yang kita miliki untuk digunakan secara konsisten dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan dan juga sebagai dasar etik-profetik pergaulan hidup bangsa Indonesia (ke dalam dan ke luar).

 

Kita harus menjadikan Pancasila makin berdaulat agar bangsa selamat. Pancasila itulah sumber kesetaraan. Tentu saja, kemerdekaan dari, sudah terpenuhi. Tinggal kemerdekaan untuk, ini yang belum sepenuhnya tergapai.

 

Benedict Anderson menganalisis secara intensif dan rinci asal mula revolusi Indonesia. Sebuah revolusi yang kini berhenti dan mati. Jangankan menghasilkan kulminasi (keadilan, kemartabatan, kesentosaan), sasaran antara saja belum terpenuhi.

 

Ia mengungkapkan ciri-ciri penting yang tidak begitu tampak dalam uraian mengenai revolusi-revolusi modern lainnya. Ben memperlihatkan betapa pola sosial-politik revolusi Indonesia itu menyimpang dari pola-pola sosial-politik revolusi modern lainnya. Bahwa pecahnya revolusi Indonesia tidak dapat diterangkan secara memuaskan melalui analisis Marxis konvensional, maupun dipandang dari segi “alienasi kaum cendekiawan” atau “rasa frustrasi karena harapan-harapan yang kian memuncak.”

 

Ben menjelaskan bahwa pusat daya dorong kekuatan revolusi pada tahap pertama perjuangan merebut kemerdekaan itu terutama, dan bahkan pada taraf yang menentukan, terletak di tangan pemuda Indonesia. Kaum yang kemudian gagap merumuskan agenda menengah dan panjang.

 

Walau begitu, kita layak bertanya, “mungkinkah jawaban perubahan ke arah kebaikan adalah revolusi kaum muda?” Bisakah kita membuatnya terulang kembali agar menjadi pintu datangnya kedaulatan negeri? Aku ingat kamu dan ingin berbagi resensinya denganmu, ya kamu saja! Sebab di matamu kulihat pelangi.(*)

Previous articlePeduli Gizi Anak, Satgas Yonarmed 1 Kostrad Bagikan dan Ajak Minum Susu Bersama
Next articlePolitikus PDIP: Kecerdasan Jokowi Berbanding Terbalik 180 Derajat dengan Relawannya
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.