Oleh: Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum (Staf Ahli Hukum MWA UNS)
Dosen sebagai Aparatur Sipil Negara harus tunduk dan patuh kepada Pemerintah. Apakah pernyataan ini tepat? Dengan status kepegawaian yang melekat, setiap pegawai ASN, baik Pegawai Negeri Sipil maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) terikat dengan perjanjian antara pemerintah dan pegawai ASN yang disebut contract sui generis yang di dalamnya terkandung hubungan dinas publik (openbare diensbetrekking). Implikasi dari hal ini kemudian melahirkan aturan-aturan sebagai dasar penilaian kepatuhan kepada pemerintah.
Baca juga: Terkait Perubahan RKAT: Keberadaan Tim Teknis Misterius, MWA UNS Nilai Ada Unsur Pidananya
Aturan-aturan tersebut tercantum dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 10 yang berbunyi Pegawai Aparatur Sipil Negara berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat serta pemersatu bangsa. Pasal tersebut mengharuskan seseorang pegawai untuk selalu memahami kewajiban, hak dan kedudukannya dari segi hukum kepegawaian. Dengan mengetahui hal tersebut pegawai dapat lebih optimal dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sehingga terciptalah aparatur pemerintah yang bersih, berwibawa, berkemampuan tinggi dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan termasuk di dalamnya melayani masyarakat sebagai perwujudan dari abdi masyarakat.
baca juga: Ada Kekuatan Besar, Miris! Undangan Tersebar, Rektor Terpilih UNS Gagal Dilantik
Dengan demikian, ukuran kepatuhan tersebut adalah pemahaman kewajiban, hak, dan kedudukannya. Seorang dosen tentu sudah harus memahami kewajiban, hak, dan kedudukan tersebut, baik dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta aturan-aturan internal seperti Peraturan Senat Akademik tentang Kode Etik Dosen. Output dari kepatuhan itu dari segi administrasi adalah sasaran kinerja pegawai.
Baca juga: KPK Harap Tangkap Tangan Rektor Unila Tidak Terjadi di UNS
Bagaimanakah sehubungan dengan adanya peraturan perundang-undangan? Bukan saja pegawai, semua orang atau setiap anggota masyarakat pada asasnya berkewajiban menghormati dan mematuhi peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain, sudah merupakan hak-hak konstitusional yang ditentukan dalam konstitusi dan putusan pengadilan, bahwa setiap orang, termasuk seorang Aparatur Sipil Negara, memiliki hak untuk menjadi subyek dalam pengujian Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lain di hadapan pengadilan. Ini bukan pembangkangan, akan tetapi penegakan hak yang diakui secara hukum.
Baca juga: Asosiasi Ahli Pidana Indonesia Desak Penyimpangan UNS di Usut Tuntas
Apakah seorang Aparatur Sipil Negara boleh mengomentari eksistensi peraturan perundang-undangan? Hal ini bagian dari kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi, dengan pembatasan tidak merupakan ujaran kebencian, tidak merupakan kejahatan keamanan negara, dan tidak dilakukan dengan cara-cara kriminal, menghasut, atau mekanisme lain yang bertentangan dengan konstitusi atau ideologi negara.
Baca juga: Dugaan Penyimpangan di UNS, Staf ahli hukum MWA UNS: Kasus Serupa Terjadi di Universitas Lain
Menyatakan pendapat terhadap eksistensi peraturan perundang-undangan tidak sama dengan membangkang kepada pemerintah atau negara. Ini bukan perbuatan kriminal. Ada kalanya suatu peraturan perundang-undangan diduga prosedur pembentukannya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, diduga menimbulkan disharmoni hukum, atau isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Serpanjang itu pendapat dan lebih-lebih merupakan hasil analisis keilmuan maka apabila dinyatakan dengan cara-cara yang sah maka tidak merupakan pelanggaran hukum. Jalan ideal tentu menguji di muka pengadilan namun harus diingat tidak semua hal, termasuk keragu-raguan terhadap eksistensi peraturan, harus berakhir di pengadilan.
Baca juga: Staf Ahli Hukum MWA: Pelantikan Sepihak Rektor UNS Cacat Hukum, MWA Tidak Pernah Melakukan Kecurangan
Sudah menjadi kemestian bahwa lembaga negara atau pejabat pemerintahan dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus selaras dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, pedoman pembentukan aturan, dan partisipasi publik secara bermakna (meaningful partisipation). Latar belakang mengapa sebuah peraturan dikeluarkan misalnya, harus merupakan landasan yang bersifat kebijakan publik yang dimaknai sebagai informasi publik yang terbuka. Perlu disampaikan secara terbuka supaya sasaran yang kena aturan akan dapat memahami.
Baca juga: Inilah Fakta Proses Tahapan Pemilihan Rektor UNS 2023-2038 dari Eksistensi Hingga Pembekuan MWA
Jika memperhatikan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana sudah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 dan UU No. 13 Tahun 2022, maka berlaku asas tingkatan hierarki. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih rendah.
Oleh sebab itu, antara Peraturan Pemerintah dengan Peraturan Menteri misalnya, tentu di sini lebih tinggi Peraturan Pemerintah. Sehubungan dengan ini pemahaman harus holistik. Jika diyakini Peraturan Menteri dianggap bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, tentu kepatuhan ditegakkan terhadap Peraturan Pemerintah. Ini adalah komitmen standar hukum yang baku. Dan tidak berkaitan atau kemudian dihadap-hadapkan dengan taat kepada pemerintah atau membangkang.
Baca juga: KPK Bidik Rektor UNS Terkait Dugaan Kasus Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur Mandiri
Dalam praktik, kadang dijumpai keluarnya peraturan kemudian menimbulkan status hukum yang luar biasa kepada sasaran yang diatur. Coba kita ingat saat keluarnya Permenpan-RB No. 1/2023 tentang Jabatan Fungsional, yang dianggap menimbulkan implikasi luar biasa bagi dosen. Banyak dosen menulis di media sosial, menulis opini di media massa, atau mengajukan petisi, yang kemudian diperhatikan secara bijaksana oleh Kementerian Pendidikan dan akan dijanjikan keluar aturan yang lebih responsif. Tentu mereka yang keberatan tidak bisa diserang dengan membangkang atau tidak taat aturan, justru karena mereka megnhormati hukum, kemudian mengadvokasi bagaimana sebuah aturan terbaik untuk diterapkan.
Baca juga: Gagalnya Pelantikan Rektor Terpilih UNS, Alumni UNS Tuding Pemerintah Rampas Hak Rektor Terpilih
Dosen sebagai pendidik profesional, bagian dari kaum terpelajar tentu saja tidak mungkin meninggalkan loyalitas kepada negara, termasuk pemerintah. Mungkin pilihan diksi dalam menyampaikan pendapat terlalu keras atau menimbulkan ketidaknyamanan, akan tetapi tidak serta hal itu merupakan pelanggaran disiplin kepegawaian, atau tindak kriminal. Pejabat Pembina Kepegawaian, dalam hal ini pejabat atau pemimpin instansi, harus visoner dan arif dalam memberikan penilaian sehubungan dengan masalah ini. Jika semenjak awal memang tidak bermaksud membangkang atau menolak peraturan, maka tidak dapat dikenakan tanggung jawab kesalahan. Dalam hukum berlaku asas “actus facit reum nisi mens sit rea”, suatu perbuatan tidak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak bersalah.
Baca juga: Pelantikan Sepihak Rektor UNS, MWA: Menteri Nadiem Melawan Hukum
Sehubungan dengan hal tersebut, penegakan disiplin juga harus dilakukan secara berhati-hati dan memperhatikan aturan yang berlaku. Dalam hal dosen sebagai Aparatur Sipil Negara misalnya, dianggap melanggar atau diduga melanggar aturan disiplin, maka pimpinan memanggil dan melakukan klarifikasi. Untuk apa? Supaya ditemukan fakta yang bisa dicocokkan dengan konstruksi peristiwanya dan dugaan pelanggaran dengan menunjuk jelas norma aturan yang berkaitan. Dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.Jika tidak ditemukan konstruksi peristiwa yang sesuai maka tidak perlu dilanjutkan kepada pemeriksaan.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Disiplin PNS adalah kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, kalau ada panggilan pemeriksaan mestinya sudah ditulis dugaan pelanggaran kewajiban dan larangan tersebut dengan menunjuk pasal-pasal terkait. Ini yang akan dilakukan pembuktian dan pemeriksaan oleh tim pemeriksa. Kalau dipanggil tetapi tidak ditunjukkan pasal-pasal disiplin yang diduga dilanggar, tentu secara hukum bertentangan dengan asas legalitas.
Tata cara pemanggilan dengan menunjuk pasal-pasal terkait sudah diatur dalam Pasal 34 Peraturan Badan Kepegawaian Nomor 6 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 94 TAHUN 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sebagai aturan dalam hukum administrasi, penegakan disiplin merupakan ketentuan prosedural yang harus diikuti dengan ketat. Penerapan sikap atau tindakan seorang pegawai negeri sebagai pelanggaran disiplin harus diuraikan dengan jelas. Tidak boleh penegakan dilakukan hanya karena perbedaan pendapat dengan pimpinan atau sebab-sebab lain yang sifanya kabur. Ada hak-hak kepegawaian, dan lebih jauh, hak-hak konstitusional yang perlu diperhatikan. Juga harus diukur manakala tindakan atas dasar jabatan atau tugas tambahan menurut peraturan perundang-undangan. Orang tidak boleh disalahkan manakala memang melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Seseorang atau sekelompok orang yang terkena dampak sebuah aturan, kadangkala seperti orang yang terpukul. Tiba-tiba terkena dampak yang bisa jadi merugikan posisinya atau melanggar hak-hak yang dijamin oleh hukum. Lebih-lebih jika asal muasal keluarnya aturan itu tidak pernah didiskusikan atau bahkan sama sekali tidak ada dialog bagaimana menyikapi situasi pasca sebuah peraturan ditetapkan. **