Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Semua bermula dari duka. Maha duka, bahkan. Sebab, yang tak berduka di tengah over dosis amoralisme dan anti-intelektualisme itu hanya para Brahmana. Yang tak berduka di tengah banjir dehumanisasi dan desakralisasi hanya para Nabi. Sedang kami di tanah-air-udara Indonesia, hanya rakyat biasa. Bahkan warga jelata, bukan jelita.
Kami di negeri elok amat tercinta, hanya guru biasa. Kami di tanah tumpah darah yang mulia, hanya penulis biasa. Kami di udara yang dipuja sepanjang masa, hanya pembaca saja. Kami di tanah air yang tak aman dan tak makmur; di pulau kelapa yang amat subur; di pulau melati pujaan bangsa, hanya warga yang tak bernegara.
Tuan Tan Malaka yth. Kata para tetua, negeri kita sejak dulu kala subur makmur, tapi panen koruptor. Mereka melambai-lambai bagai nyiur di pantai, berjemur. Mereka berbisik-bisik seperti raja kelana yang kapitalnya tidak tak termanai. Mereka memuja pulau nan indah permai tapi tak bersedekah pada pembenahan sistem bernegara yang makin khianat. Mereka yang bersumpah tanah airku tapi menjualnya murah ke rentenir dan tengkulak anyir.
Ada apa ini tuan Tan Malaka? Apa dosa tuan sehingga kami warisi begundal kolonial yang makin kuat dan merajalela. Apa salah tuan sehingga kami warisi elite pejabat yang penjahat. Apa karma tuan sehingga hal-hal baik dan progresif seperti cita-cita Pancasila dikhianati tanpa malu. Para pejabat itu fasih bicara pro intelektual tapi anti sekolahan. Mereka berkampanye pro moral tapi anti agama dan rumah ibadah. Mereka bersumpah atas nama Tuhan tapi bersenggama dengan hantu dan anti spiritual seperti di hutan.
Katanya, kita ini negeri agamis dan spiritualis. Salah satu buktinya adalah banyaknya rumah ibadah dan beragam sumpah. Keduanya hadir sebagai persaksian atas kehidupannya yang tak sekedar humanis tapi juga semesta, eskatalogis dan spiritualis. Sayang, suasananya kebalikan dari “rasa dan angan bangsa beragama.”
Coba kita baca saja lima sumpah yang sangat terkenal di republik Indonesia, di luar sumpah palapa. Sumpah yang seharusnya menjadi penjaga dan marwah yang menjalaninya:
Sumpah Pramuka: “Demi kehormatanku, aku berjanji akan bersungguh-sungguh menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, menolong sesama hidup, ikut serta membangun masyarakat, serta menepati Darma Pramuka.”
Sumpah Pemuda: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Sumpah Mahasiswa Indonesia: “Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah Bertanah air satu Tanah air tanpa penindasan. Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah Berbangsa satu Bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah Berbahasa satu Bahasa tanpa kebohongan.”
Sumpah pejabat pemerintahan Indonesia: “Saya bersumpah untuk senantiasa menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi pejabat yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan.”
Sumpah Presiden Republik Indonesia, “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Tuan Tan Malaka, apa yang kita saksikan dari sumpah-sumpah itu hari ini? Hanya tinggal sampah dan serapah. Terutama di gedung-gedung terhormat, di jabatan-jabatan strategis, sumpah-sumpah itu tak berbuah.
Kini, kami semakin menyelami pikiran, tulisan dan tesis Tuan Tan. Di sebuah negeri warisan yang kedalamannya tidak saja ada terumbu karang, mutiara dan ikan hias indah, tapi juga kenyataanya ada bangkai-bangkai kapal yang berkarat dan membatu.
Di atasnya tumbuh generasi yang menghianati pendahulunya. Raga yang melupakan jiwanya. Jiwa yang membohongi nuraninya. Mereka menjadi gerandong sehingga lebih rendah dari pada mahkluk lainnya. Tetapi, kami belum bisa apa-apa selain menulis surat cinta pada Tuan Tan dan Tuhan.
Semoga kami tabah, tumbuh ilmiah melawan wabah. Di atas pusaramu kami mohon maaf. Mengirim gundah karena hampir menyerah kalah. Surat ini kami kirim untuk menjumput tenaga dan karomah berlimpah untuk mencetak tanah-air-udara-agensinya agar gemah ripah.(*)