Home Berita Surat Terbuka untuk Sjahrir

Surat Terbuka untuk Sjahrir

Yudhie Haryono
Rektor Universitas Nusantara

Di tempat yang bernama Lemhanas, elite kita diajari konsep “asta brata.” Ini merupakan doktrin kepemimpinan pancasila dengan delapan unsur alam yaitu bumi, matahari, api, samudera, langit, angin, bulan, dan bintang. Tetapi yang kini kita tuai hanya pemimpin yang mengusir rakyatnya.

Filsafat purba punya petuah bijak, “tubuh kita dihargai karena pakaian yang kita kenakan, sementara diri kita dihargai karena omongan (kata-kata) yang kita keluarkan.” Kini filsafat itu tinggal kenangan. Kita semua kini menghargai duit seseorang dan pangkat yang melekat pada seseorang.

Padahal, tuan sudah lama berseru, “Kita hendak bekerja atas dasar kemerdekaan jiwa orang, atas dasar kerakyatan, atas dasar sukarela, mufakat dan kerjasama, dan tidak dengan paksaan seperti yang telah dilakukan oleh para penjajah di negeri jajahan.” Tetapi, ya tetapi, betapa kini elite kita bekerja karena perintah oligarki. Melawan kemanusiaan dan menindas kewarasan. Masih buta? Lihat konflik tanah kendeng, urut sewu, rempang dan kejahatan kemanusiaan lainnya.

Tentu saja, itu kejahatan kemanusiaan sebab semua merupakan tindakan represif, sistematis, terstruktur dan terorganisir yang mengacu pada pengusiran, penyiksaan, pembludoseran dan pembunuhan massal terhadap tubuh orang-orang (baik dilakukan terhadap warga negara sendiri atau warga negara asing).

Tindakan ini disebut juga “sariminisme” karena mengusir secara massal tanpa nalar dan akal untuk memusnahkan rakyat tertentu yang kritis dan melawan tirani saat mereka sadar hak milik dan keyakinannya.

Padahal sejak lama, konsep Negara Republik Indonesia (NKRI) itu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, kini berubah jadi melindungi oligarki. Negara jadi babunya oligarki.

Sejak lama NKRI itu memajukan kesejahteraan umum. Kini berubah jadi menyejahterakan investor. Elite kini merupakan petugas, utusan, wakil, kurir dan gedibal investor.

Sejak mula didirikan, NKRI itu berniat mencerdaskan kehidupan bangsa. Kini berubah jadi mencerdaskan orang kaya yang serakah. Pemerintah jadi guru besar bagi tumbuh dan beranak-pinaknya KKN konglomerasi hitam yang sangat serakah.

Sejak dini NKRI itu ikut serta dalam ketertiban dunia. Kini berubah jadi ikut pesta para penjahat pemuja nafsu dunia di istana. Kekuasaan untuk rakyat berubah jadi kekuasaan penyengsara rakyat.

Sayangnya, epos kejahiliyahan dan kebrutalan serta amoralisme ini dipuja-puja manusia yang otaknya di dengkul dan hatinya di selokan seperti mula para “sariminisme” bertipsani ria di era kalasuba ini.

Di perpus-perpus dan kini di atas pusara tuan, kami terus terngiang fatwa keren, “hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.” Tetapi, kini apa yang dipertaruhkan saat para ilmuwan dan serdadu sudah memilih sebagai antek penguasa yang mengabaikan rakyat, bahkan merasionalisasi kejahatan negara dengan memproduksi dukungan dan kebohongan demi rupo lan sego?

Sungguh, kita sebenarnya sudah di neraka jahanam. Tak layak mengaku bernegeri merdeka bin berdaulat. Dan, itu jelas mengkhianati amanat tuan. Karena itu, dari lubuk hati terdalam, mohon salah kami dimaafkan.(*)

Previous articleLawan Anies – Muhaimin, Politikus PDIP: Prabowo – Ganjar akan Lebur Satu Koalisi
Next articleDandim 1615/Lotim Tetapkan Desa Danger Sebagai Kampung Pancasila, Ini Kriterianya
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.