Yudhie Haryono
Rektor Universitas Nusantara
Jika skripsi, tesis dan disertasi sudah tak penting, di mana kita kulakan (belanja) uji kritis untuk pejabat publik? Jika dialog di rumah ibadah dinistakan, di mana kita ukur moral para calon pejabat publik? Jika intelektualitas dan moralitas tak lagi jadi syarat orang jadi pemimpin, peradaban apa yang sedang kita bangun?
Tiga pertanyaan ini kusampaikan pada Hatta, sang proklamator yang telah mewariskan Indonesia sebagai cita-cita besar bablasan nusantara, benua atlantik. Ini surat cinta dari rakyat Indonesia yang paria di 78 tahun kemerdekaan negaranya.
Maka, membaca lagi buku-buku karyamu hatiku jatuh rindu. Adakah di sana, dukamu masih bertalu-talu. Engkau yang berkata, “lebih baik Indonesia tenggelam di dasar lautan daripada menjadi embel-embel (budak) negara asing.” Ya, sumpahmu begitu dahsyat. Tetapi, yang terjadi kini sebaliknya. Kami semua bangga jadi budak bangsa dan budaknya bangsa-bangsa asing.
Engkau berkata bahwa “sebenarnya Pancasila tersusun atas dua fundamen utama. Pertama, fundamen yang berkaitan dengan aspek moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, fundamen yang berkaitan dengan aspek politik, yaitu kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial.” Dua fundamen yang kini langka.
Maka, membaca tulisanmu, tak sadar pada langit kamarku kulukis engkau di situ. Lukisan wajah sendu. Sampai-sampai panjang benar waktu yang berlalu dan jarak masih saja terentang panjang. Tentu saja, penamu bicara menembus ruang menyapa sukmaku. Menyapa seluruh pembaca warga negara Indonesia.
Engkau yang berfatwa bahwa “setiap warganegara Indonesia harus memiliki jiwa kesatria, yakni kebesaran hati yang tidak mengandung balas dendam. Setiap ksatria berani membela kebenaran dan melawan kejahatan cum penjajahan. Pada saat yang sama, ia juga berbesar hati dan mengakui kelemahannya.”
Maka, membaca nujummu membuatku mendesah lembut angin membawa butiran hati lara. Sebab, ternyata meraih kesempatan tak semudah kusangka. Diterjang kawan dan lawan; lokal, nasional, regional dan internasional. Mereka para oligark bin elite global yang ganas karena bersekutu dengan syaitan.
Aku tau, engkau setia menunggu rakyat kecil menantang hidup: merealisasikan kemerdekaan dan kedaulatan. Sebab, kulihat dulu engkau sertakan doa-doa, seolah mantra menjelma nafas Indonesia yang belum raya dan jaya. Doamu adalah doa kami semua.
Maka, mengunjungi pusaramu itu memendam tanya yang tak segera terucap. Wahai belahan jiwa bangsa, apa kabarmu? Semoga bersama Tuhan dirimu telah menemukan awal dan akhir perjalanan panjang. Kuharap selalu tetap engkau jaga tumbuhan cinta yang bersemi di ladang Indonesia. Negara di mana ladang perjuangan, kejujuran dan kesetiaan disemogakan. Tiga sikap, lawan dari perselingkuhan, kemunafikan dan pengkhianatan.
Ya. Kita kini banjir elite yang praktik selingkuh, munafik dan khianat di manapun dan kapanpun. Bahkan menjadi tradisi oleh siapapun. Padahal, mereka harusnya jadi teladan kebajikan; panitia kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya segala upaya pemerintah harus diarahkan untuk kesejahteraan, keadilan dan kemaslahatan semua masyarakat. Ya, bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bung Hatta yth. Kami semangat di sini menggapai cita-cita. Menuntaskan laga. Mencengkeram musuh untuk menggapai kerayaan dan kejayaan. Hingga satu saat nanti kami kan kembali ke haribaanNya.
Dengan modal itu, kami jemput semesta beradab mulia pada saatnya nanti. Tentu dengan berkereta kencana kami bawa pergi menuju istana di sana semua bertahta: sebuah negeri baldah toyyibah, makmur sentosa, adil sepanjang hayat sampai kiyamat. Semoga.(*)