Skripsi : Menguji Ketahanan Intelektual Di Tengah Pandemi
Oleh : FATHUL MUIN, S.P*)
Dear, Penemu Skripsi
Hello penemu skripsi, aku gak tau kamu lagi ada di mana sekarang. Apakah masih hidup atau tidak.
Aku Cuma mau bilang, makasih ya udah nemuin skripsi.Makasih ya karena kamu, aku jadi bisa lebih banyak baca buku, baca penelitian, baca koran, baca artikel berita.
Makasih juga, karena adanya skripsi yang kamu buat, aku jadi melatih mental. Mental buat nahan semua pikiran dan omongan dosen pembimbing.
Siapapun kamu pencetus skripsi, aku minta kamu doain kami semua yang sedang menjalankan temuan mu itu untuk lancar-lancar saja dan selesai tepat waktu.
Kami ingin mendapat gelar di belakang nama kami tolong doakanya! Ini semua kami lakukan untuk membanggakan keluarga, karena mereka yang udah susah payah membiayai kami.
Night.
Dari Mayang Sekar Arum, yang sedang berjalan menuju BAB II –
Sepucuk surat di atas adalah penggalan percakapan imajiner seorang mahasiswa tingkat akhir kepada penemu skripsi. Pendek memang, tapi isinya menggambarkan sosok penulisnya yang santai,optimistis dan memiliki ketahanan intelektual yang mumpuni.
Sayangnya, tidak semua mahasiswa merasa happy menghadapi tugas akhir itu.Bagi kebanyakan mahasiswa penyelesaian tugas akhir menjadi fase tersulit. Pada kondisi ini sering kali mahasiswa mengalami gangguan kecemasan (anxiety) yaitu perasaan gugup dan gelisah.
Menghadapi penulisan skripsi sebagian mahasiswa seperti menghadapi ‘pandemi’ yang begitu menakutkan. Sebab jika skripsi yang hanya 6 SKS tidak rampung, maka perkuliahan 3-4 tahun dengan 100-an SKS akan menjadi sia-sia.
Dalam banyak kasus mahasiswa lebih memilih drop out dari pada menyelesaikan skripsinya. Bahkan ada diantara mahasiswa kita yang nekat bunuh diri lantaran depresi akibat skripsinya yang tak kelar-kelar. (contoh kasus : mahasiswa PTS/PTN di Yogyakarta, Kaltim, Jakarta, Sumatera Utara, Jateng dan Kendal).
Sebenarnya skripsi bukan menjadi fase tersulit jika mahasiswa sungguh-sungguh memahami kultur kampus yang berbasis pada penelitian dan pengembangan (reseach and development).
Perkuliahan selama delapan semester, seorang mahasiswa telah dididik dalam kultur akademik untuk menjunjung tinggi kebebasan berpikir kritis, analitis, objektif dan progresif.
Adapun kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam penyusunan skripsi sesungguhnya karena persoalan kebiasaan cara berpikir (mindset), cara bersikap (attitude) dan keinsyafan (awareness) terhadap eksistensi dirinya sebagai mahasiswa.
Dewasa ini mahasiswa kita seperti telah kehilangan kultur akademiknya. Banyak mahasiswa terjebak dalam orientasi berpikir yang menyimpang dari substansi pendidikan akademis.
Misalnya saja, niat berkuliah untuk semata-mata mendapatkan ijazah dan gelar sarjana,tanpa terlalu memikirkan kompetesi keilmuan yang mumpuni. Akibatnya mereka tidak mampu bersaing di pasar kerja. Ijazah dan gelar sarjana lebih dimaknai sebagai prestise di tengah keluarga atau di dalam masyarakat.
Orientasi pemikiran seperti ini akan menyulitkan dalam penyusunan tugas akhir-nya. Mereka akan dilanda gangguan kesehatan mental seperti depresi maupun gangguan semacam obsessive cumpulsive.
Skripsi Versus Covid 19 : Sebuah Ketahanan Intelektual
Pada abad pertengahan, (abad ke-5 – abad ke 15 Masehi), seorang pekerja di Eropa baru layak bergabung menjadi anggota asosiasi apabila masterpiece-nya telah mendapat penilaian dan persetujuan dari pengurus asosiasi.
Masterpiece bukan sekedar karya tetapi sebuah pencapaian besar yang harus dibuat atau diperoleh seorang pekerja untuk membuktikan kompetensi dan keahliannya.
Seseorang mahasiswa S-1 baru layak mendapat gelar akademik yang disebut sarjana apabila telah mampu melahirkan karya ilmiah yang diwajibkan yaitu skripsi. Poerwadarminta (1986) mendefinisikan skripsi sebagai sebuah karya ilmiah yang diwajibkan sebagai bagian dari persyaratan pendidikan akademis.
Pengertian itu memberi makna bahwa skripsi sebagai ‘sunnah’ dalam tradisi perkuliah yang wajib dilaksanakan oleh setiap mahasiswa. Skripsi merupakan karya akhir yang bisa memberikan indikator kadar pemahaman atau ketercapaian disiplin ilmu seorang mahasiswa.
Karena itu dalam menyusun tugas akhir seorang mahasiswa harus menggunakan kaidah-kaidah akademis dan tidak menggunakan cara deviasi untuk mendapatkan gelar sarjana.
Pandemi Covid 19 yang meluas saat ini memang telah membuat pelambatan dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk dunia pendidikan. Di Indonesia, kebijakan social distancing (menjaga jarak sosial) atau physical distance (menjaga jarak fisik) sesuai protokol kewaspadaan Covid 19 telah memaksa dunia pendidikan melaksanakan metode pembelajaran dalam jaringan (daring) atau online.
Alternatif penggunaan teknologi digital sebagai pengganti pembelajaran offline sesuai Surat EdaranKemendikbud No. 36962/MPK.A/HK/2020, cukup memberikan kemudahan bagi mahasiswa dalam kondisi seperti ini.
Biaya besaran kuota dan jaringan internet yang tidak stabil serta permasalahan ikutan lainnya memang tidak mudah.Tetapi bagi seorang mahasiswa yang memiliki ketahanan intelektual hal itu bukanlah hambatan,sekalipun dalam menyusun tugas akhir. Namun kondisi ini akan dilihat sebagai sebuah tantangan yang bermakna.
Seorang mahasiswa yang punya kesadaran intelektual akan bersikap seperti bola pingpong yang sangat ekspresif terhadap tekanan, ia tidak mudah menyerah dan selalu kreatif mencari jalan keluar.
Mereka akan senantiasa berpikir positif untuk mengubah tantangan menjadi peluang. Mereka menyadari betul bahwa kesulitan yang dihadapi proses penulisan skripsi saat ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan kualitas dirinya.
Ingat! Laut yang tenang tidak akan pernah melahirkan pelaut yang handal.
*) Kordinator Program pada Lembaga Anlisis Dan Kajian Kebudayaan Daerah (LINKKAR)