Home Berita Simulasi Pilpres Dengan Sistem MPR UUD-45 Asli

Simulasi Pilpres Dengan Sistem MPR UUD-45 Asli

M. Hatta Taliwang
Peserta Program KKK Nusantara Centre

Kita punya sistem sendiri. Digali dari kearifan lokal yang menjadi kearifan nasional. Dengan tesis ini, masa depan kita tidak semata-mata ditentukan oleh partai yang sedang berkuasa. Partai-partai yang sudah kita ketahui kelemahan bahkan keburukannya. Dus, kita bisa diskusikan kembali pilpres ala konstitusi asli di mana meniscayakan keterlibatan Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG) dalam penentuan siapa yang layak berkontestasi menjadi Presiden Indonesia. Ini pilihan, keniscayaan dan keharusan, demi perbaikan politik dan demokrasi kita.

Baca juga: Pancasila dan Kemakmuran

Dengan demikian, lengkaplah representasi warganegara untuk menentukan siapa yang layak menjadi Presiden, sebab ada unsur keterpilihan (dari partai) dan ada unsur keterwakilan (UG dan UD). Selebihnya, tinggal melaksanakan musyawarah mufakat dalam memilih Presiden.

Dengan sistem ini, dijamin tidak lahir capres kelas tukang tambal ban. Karena dengan sistem pilpres perwakilan musyawarah ala UUD-45 Asli ini, dijamin tidak akan ada calon yang tidak berkualitas, karena Panglima TNI, Kapolri, Ketum NU, Ketum Muhammadiyah, para Sultan, Raja dan Kepala Suku dll sebagai utusan Golongan/Utusan Daerah akan malu mengajukan capres di bawah standar kualitas mereka, kecuali mereka sudah tunduk di bawah kuasa uang.

Baca juga: Spiritualitas Dalam Pancasila

Jumlah capres bisa banyak, maksimal sebanyak fraksi yang ada di MPR. Atau kalau mau hybrid, di MPR cuma dilakukan penyaringan capres sehingga jumlah calon banyak seperti di Iran sampai hampir 500 orang, bisa diseleksi ketat sehingga yang benar-benar muncul terbatas bin berkwalitas. Setelah itu, kalau tak mau dipilih di MPR, bisa saja para calon itu diserahkan ke rakyat untuk dipilih langsung. Ini agar legitimasi lebih kuat dan merata.

Tetapi, kalau dipilih oleh anggota MPR, maka mata seluruh warganegara fokus ke gedung MPR di Senayan. Kontrol warganegara lebih mudah jika ada penyimpangan, dol-tinuku suara dll. Tidak sesulit mengontrol pilpres langsung seperti yang terjadi sejak 2004 sampai kini di mana suara Papua misalnya sulit dikontrol warganegara Indonesia.

Baca juga: Mentradisikan Pancasilaisme

Tentu, tidak mudah melakukan penyuapan karena, ada utusan golongan (UG) misalnya Panglima TNI, Ketum Ormas Keagamaan dll yang jadi filter atau kontrol moral; Ada CCTV di semua sudut ruangan gedung MPR; Bila perlu semua HP dipantau oleh KPK atau lembaga yang dibuat khusus untuk mengontrol pilpres agar jurdil. Kita tahu KPK punya alat canggih itu. Tiap partai pun sekarang bisa memiliki alat itu; Bila perlu rumah atau Kantor DPP Partai dipantau lewat CCTV oleh lawan politiknya agar terjadi saling kontrol. Alat-alat canggih IT sekarang banyak dan itu bisa dipakai sebagai cara untuk memantau lawan politik; Bisa juga lakukan isolasi anggota MPR seminggu sebelum Pilpres atau saat Sidang Umum sedang berlangsung; Pasti, jika ada tokoh bangsa yang dicalonkan, pendukungnya akan memantau semua gerak-gerik anggota MPR dan mengawasi seluruh prosesnya. Mereka bisa mengepung gedung MPRRI saat itu juga; Ormas, LSM, Mahasiswa dll tertuju matanya semua ke Gedung MPR ikut mengawasi jalannya Pilpres; Terlebih tidak semua anggota MPR bisa disuap. Pasti banyak juga yang punya nurani.

Secara reflektif, kita tahu bahwa hampir semua parpol dan ormas melakukan pemilihan ketumnya lewat proses perwakilan/musyawarah. Pertanyaannya, mengapa ketika memilih presiden mesti pilpres langsung yang mahal dan berbahaya? Bukankah mereka tak pernah mengundang semua pemegang kartu anggotanya datang mencoblos saat memilih ketumnya? Dari sini kita mempertanyakan sistem musyawarah yang sudah mengakar sebagai budaya bangsa dalam memilih pemimpin kok dilupakan?

Secara proyektif. output sistem perwakilan dan musyawarah umumnya melahirkan pemimpin berkualitas, kecuali yang musyawarah pakai duit ala preman. Dari contoh ormas Muhammadiyah dan parpol PKS, mereka membuktikan prestasi organisasinya membaik dengan menggunakan sistem musyawarah mufakat dan utusan/perwakilan yang fair dalam memilih pemimpinnya.

Secara prinsip, pembiayaan negara dan urusan pribadi capres boleh dibilang minim dibanding pilpres langsung yang butuh ratusan trilyun yang dikeluarkan negara dan para calon presiden. Akibatnya, presiden terpilih tidak punya hutang budi kepada taipan atau konglomerat peenjerat, yang menjadi sebab presiden tersandera, sehingga kebijakannya jadi pro-konglomerat dan lupa pada warganegara saat sudah terpilih.

Dengan model ini, tidak terjadi pembelahan yang mengarah pada perpecahan warganegara seperti dampak pilpres langsung. Dampaknya, persatuan tetap terjaga dan terpelihara. Di lain pihak, aparat keamanan bisa konsenterasi ke hal-hal yang lebih produktif bukan hanya mengawasi warganegara untuk ditangkap.

Presiden terpilih ditetapkan dan dilantik secara terhormat oleh MPR dan bertanggung jawab ke MPR serta dibekali GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) yang disusun MPR di mana Presiden tinggal mengimplementasikan dengan program tanpa harus ngarang sendiri apa yang ingin dilakukan demi negara.

Di negara RRC dan AS, pilih Presiden/PM juga tidak langsung tapi lewat perwakilan berjenjang. Pemimpin yang lahir berkualitas. Penulis kira capres Iran pun disaring dulu oleh para Mullah baru diserahkan ke rakyat untuk diputuskan. Mereka lalu menjadi negara yang kuat dan maju.

Cara memilih presiden menurut UUD-45 dan Pancasila, sila ke-4, adalah cara yang bijak, arif, subtantif dan murah sebagai warisan pemikiran pendiri bangsa kita. Sayang jika kita lempar ke tong sampah. Tentu, kita telah durhaka sehingga bangsa ini menjadi rusak parah oleh lahirnya pemimpin bangsa yang lahir dari cara yang bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia. Silahkan kita renungkan bersama, mau teruskan pilpres langsung ala kaum individualistik liberalistik ini, atau bertobat dan kembali waras dengan warisan adiluhung.(*)

Previous articleKemanusiaan dan Potensi Peradaban Besar
Next articleHari Bhayangkara ke-77, Kodim Dan Koramil Jajaran Kodim 1607/Sumbawa Datangi Polres Dan Polsek Jajaran Polres Sumbawa
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.