Saya baru menerima “surat kaleng” tentu saja tanpa nama penulisnya. Isinya tentang “begal politik” yang terjadi di Pilkada NTB 2024. Dilakukan oleh apa yang mereka sebut “konsultan hitam”. Tak tanggung2 memasok biaya hingga Rp 100 M dijamin lolos dan uang kembali jika gagal.
Ongkos politik mahal kita semua sudah tahulah. Sederet biaya yang pasti keluar sejak pencalonan. Tetapi yang menggelitik: Siapa “konsultan hitam” tersebut dan bagaimana cara kerjanya sehingga demikian yakin? Kalau curi angka pasca pemungutan nyaris gak mungkin karena ada penghitungan berjenjang sejak di lokasi TPS.
Tulisan ini tidak berpretensi mencari dan mengumpulkan fakta kemudian melapor dan bisa mempengaruhi hasil. Terlalu jauh. Penasaran saya tanya team sukses salah satu paslon dan dari situ saya tau nama lengkap asal lembaga, dan seterusnya. Seorang professor dari sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur. Gak begitu terkenal kayak yang sering nongol di Tv.
Masih cerita teman saya, team mereka punya data yang kuat by name by adres. Pemetaan ke mana harus mengguyur, dan bagaimana caranya. Ini penting agar luput dari delik money politik. Konon istilah “sodakoh politik”. “Misalnya, ini misal lho ya…” ujar teman saya berseloroh, melalui pembagian minyak goreng dengan gambar paslon tertentu. “Lha salahnya di mana orang berbagi. Tidak ada jaminan juga”. Kata saya. Tapi tunggu.
Saya agak kaget Ketika teman saya menyebut by name by adres itu. Wah “professional” sekali. Saya ibaratkan “angin sarusak rebong” kalau bahasa Sumbawa. Angin yang merusak rebung (tunas pohon bambu) saking dahsyatnya. Sudah ada nominal tertentu dalam amplop dan langsung diterma secara senyap. Jadi gak ada urusan berapa kali paslon blusukan. Gak penting bagaimana surveinya. Ia mampu menjungkir balik keadaan dengan perencanaan yang rapi dan “professional”.
Udahlah kenyataan bahwa money politik dengan berbagai modus itu kita semua sudah mahfumlah. Tulisan ini juga tidak sok gagahan idealis. Kenyataan demokrasi kita memang mahal sesuatu yang tak terbantahkan. Berapa banyak kepala daerah yang berakhir di jeruji besi, karena korupsi. Ia harus mengambalikan biaya politik yang sudah terlanjur keluar.?
Tapi tunggu, kalau pun benar cerita teman saya tadi, penasaran juga dari mana duit sebanyak itu ? Siapa orang gila yang mau “berjudi” duit gede tanpa ada jamiman bisa balik. Konon, sebagian disiapkan oleh seorang pengusaha besar batu bara di Kalimantan. Pastinya saya tidak akan menyebut nama. Namun orangnya memang terkenal kaya raya dan bisa mengatur konstelasi perpolitikan di sejumlah daerah hingga parlemen.
Jadi ? udahlah semuanya all about big money Gaes. Ini tentang duit gede. Idelaisme simpanlah dulu. Survei gak pentinglah, blusukan siang malam, percumalah kalau lawannya “angin sarusak rebong”.
Apakah mungkin hasil pilkada bisa dibatalkan karena money politik? Panjang dan berliku pembuktiannya gaes gak gampang. Udahlah… itulah kenyataan demokrasi kita hari ini…. Selebihnya biar urusan dia dengan Tuhannya. “Biar waktu yang menjawab” judul sebuah lagu Lagu d’Masiv . (Mada Gandhi)