Home Berita Sen, Nabi Kaum Miskin

Sen, Nabi Kaum Miskin

Yudhie Haryono

Presidium Forum Negarawan

 

IA lain. Kuterus mengingatnya. Kueja amartya. Koleganya memanggil sen. Sebab nama bekennya memang Amartya Kumar Sen. Ekonom tercanggih dari ilmuwan yang mendedikasikan hidupnya untuk menumpas kemiskinan dan keterkungkungan.

 

Ia crank. Ia menyempal. Ia anti-kapital(isme). Dengan posisi itu, pada tahun 1981 Sen menerbitkan buku dahsyat yang berjudul Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation.

 

Buku yang ikut merubah dunia. Mirip kitab suci. Buku tersebut menjelaskan pada khalayak umum bahwa, kelaparan terjadi tidak hanya disebabkan karena kekurangan bahan pangan, akan tetapi karena adanya ketidaksetaraan dalam membangun mekanisme distribusi makanan.

 

Menurut Sen, orang-orang dilaparkan, mereka dimiskinkan, mereka dimarjinalkan bukan karena jahiliyah dan malas, tetapi oleh sistem yang tidak adil. Penjajahan dan oligarki yang predatorianlah sumber dari segala sumber masalahnya.

 

Sekali lagi, orang miskin bukan takdir. Orang miskin itu soal kesempatan, kapasitas, pilihan dan logos. Sen menulis, “poverty is not just a lack of money; it is not having the capability to realize one’s full potential as a human being.”

 

Untuk menajamkan argumen itu, Sen terlibat dalam projek kemanusiaan yang sangat luas. Termasuk ikut merumuskan index kesejahteraan dan kemerdekaan. Sesuatu yang baru dan diadop oleh banyak negara nantinya. Kita akan bahas segera ide itu nanti.

 

Pengertian kesempatan, kapasitas, pilihan dan logos itu dapat diringkas dalam “kapabilitas” yang berpadanan dengan kata kompetensi. Yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang sebagai individu untuk lebih bermanfaat. Dengan demikian, secara leksikal, pendekatan kapabilitas dapat diartikan sebagai pendekatan kompetensi karena berkaitan dengan pemberdayaan kemampuan individu untuk mencapai sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan masyarakatnya.

 

Tentu saja, masalah dis-kapabilitas dan kemiskinan merupakan problem dinamis yang terus ada di seluruh dunia. Berbagai persoalan yang kompleks lahir karena kemiskinan walaupun berbagai upaya telah dilakukan. Namun, masalah kemiskinan tetap saja ada. Masalah kemiskinan di Indonesia misalnya, dapat dikatakan sebagai problema klasik yang selalu terjadi dari tahun ke tahun dan belum habis terselesaikan.

 

Nama lengkapnya Amartya Kumar Sen. Ia ekonom jenius dan filosof serta nabi kaum miskin yang lahir pada tahun 1933 di Santiniketan, Bengal Barat, India. Sebagai ekonom, ia banyak menulis karya dalam bidang ekonomi kesejahteraan yang membawanya mendapatkan Penghargaan Nobel Ekonomi pada 1998. Sebagai filosof, ia menafsirkan ulang konsep kebebasan dengan mengemukakan gagasan tentang kapabilitas.

 

Mengutip Iqbal Hasanuddin (2021), “dalam filsafat politik kontemporer, pemikiran Sen merupakan upaya untuk memberikan dimensi baru pada teori kebebasan yang sebelumnya senantiasa dipahami sebagai “tidak adanya paksaan dari luar.” Itulah pengertian kebebasan sebagaimana dipahami oleh John Stuart Mill, F.A. Hayek dan Isaiah Berlin. Ketiga filsuf politik itu cenderung memahami kebebasan sebagai kebebasan negatif (bebas dari paksaan). Maklum, mereka pada kutub yang sealiran.

 

Dus, bagi orang seperti Sen, kebebasan negatif (bebas dari) dan kebebasan positif (bebas untuk) adalah dua dimensi kebebasan yang sama-sama penting. Baginya, kebebasan negatif adalah dimensi kebebasan yang terkait dengan proses, sementara kebebasan positif adalah kebebasan yang terkait dengan kesempatan nyata. Secara khusus, istilah kapabilitas atau kemampuan dipakai oleh Sen dengan mengacu kepada dimensi kebebasan positif tersebut.

 

Menurut Sen, kedua dimensi kebebasan ini sangat penting bagi manusia sebagai person moral yang layak untuk diperlakukan secara bermartabat. Setiap orang membutuhkan “kebebasan negatif” untuk memastikan tidak adanya koersi dari luar yang dapat membatasi upayanya untuk menjalani kehidupan yang bernilai. Saat yang sama mereka juga membutuhkan “kebebasan positif’ karena tidak adanya koersi atau paksaan saja tidak cukup.

 

Dus, dari teori Sen, kini kita baru berhasil merdeka dari penjajah kolonial purba tapi belum berhasil merdeka untuk memastikan sentosa semua. Belum merdeka 100% kata Tan Malaka dan Soedirman. Baru merdeka 50%. Di sini refleksi dan proyeksi pemikiran Sen mendapat relefansinya.

 

Kita semua membutuhkan daya atau kemampuan nyata untuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam hidup ini. Dan, dua kemerdekaan itu adalah alatnya.(*)

Previous articleMenziarahi Sumber-Sumber dan Agensi Berdirinya Indonesia
Next articleLima Kecamatan di Sumbawa Masuk Level Waspada Kekeringan
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.