Home Berita Segenggam Asa Para Pancasilais

Segenggam Asa Para Pancasilais

Wiwik Endang

Peserta Program KKK Nusantara Centre

 

Mimpi adalah ilusi atau hiasan dalam tidur seseorang. Namun harapan atau asa adalah sebuah cita-cita atau keinginan, baik keinginan yang terpendam ataupun terucap. Sejak Indonesia merdeka dengan diputuskan Pancasila sebagai dasar negara oleh founding fathers/mothers, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tujuan, harapan sekaligus asa. Sampai kapankah harapan itu menjadi kenyataan? Dan, apakah harapan itu hanya diimpikan oleh para pendiri republik saja?

Negara Indonesia akan berusia 78 tahun pada 17 Agustus 2023 nanti. Untuk ukuran waktu, ini sebuah negara termasuk tua. Kita bisa melihat negara lain yang lebih muda berdiri dan bisa membandingkan keberadaannya di berbagai bidang. Meskipun seharusnya tidak terlalu perlu  membandingkannya, karena Indonesia sudah pasti punya dasar negara yang tidak dimiliki oleh bangsa dan negara lain, sehingga tidak perlu juga berkiblat pada negara lain dalam mengelola dan mengarahkan laju negara Indonesia.

Belum terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tentu menjadi kegelisahan dan keresahan bagi para penganut pancasilais sejati. Para pancasilais merasa bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dirasa kian melemah dari masa ke masa. Keresahan berhimpit dengan keprihatinan yang sebenarnya terpendam dalam dada banyak warganegara. Padahal banyak pejabat pemerintahan mengatakan bahwa Indonesia baik-baik saja, namun adanya indikator dari melemahnya pancasila menyebabkan para pancasilais berpendapat bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Beberapa pakar beranggapan bahwa karakter pancasila saat ini makin hilang. Bahkan banyak cara dan pintu yang dihilangkan untuk menjadi generasi yang pancasilais, sehingga karakter pancasila tergerus dari generasi ke generasi. Akhirnya karakter pancasila yang dulu dikagumi oleh bangsa lain kemungkinan besar saat ini justru bangsa lain yang lebih pancasilais dibanding bangsa Indonesia. Karakter yang menjadi kebanggan karena mendatangkan kekaguman bangsa lain itu bisa jadi juga menciptakan rasa iri bangsa lain. Karena karakter-karakter pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia bagai jembatan pelangi yang menghubungkan zamrud katulistiwa.

Hilangnya  karakter pancasila di masyarakat saat ini mengingatkan para orang tua yang mengalami tiga periode zaman pemerintahan, antara Orde lama, Orde baru dan masa reformasi. Mereka mengatakan bahwa,”zaman orla para orang tua selalu memberikan cerita sebelum tidur tentang karakter-karakter pancasila kepada anak-anaknya. Saat orba pun juga ada P4 untuk mencetak manusia berkarakter pancasila. Bahkan dalam menyelesaikan konflik suatu daerah tidak harus dengan menggunakan senjata, tapi dengan cara perdamaian yang sama-sama saling memahami dan memuliakan sesama secara adil tanpa mengesampingkan harkat dan martabat manusia di manapun daerahnya ataupun sukunya.

Di era reformasi pernah ada slogan,”revolusi mental.” Ini artinya bahwa pancasila menjadi ideologi bangsa ada usaha untuk diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari pada awal Indonesia berdiri. Sayangnya, mental. Akibatnya hilang. Dan, hilangnya karakter pancasila akan berimbas juga dalam hal pengelolaan tata negara. Terbukti banyak koruptor, ada jurang kesenjangan yang semakin lebar, ketidakadilan dalam hukum, intoleransi dan masih banyak lagi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Adanya intoleransi yang sebenarnya telah mengabaikan sila pertama, sehingga sila-sila lainnya juga pasti tidak akan terealisasi dalam implementasinya. Sikap egoistis, merasa benar sendiri, ambisius merupakan sisi gelap manusia yang membentuk tabir atau penghalang terhubungnya jiwa manusia dengan sang sumber kebenaran. Jika manusia jauh dari sang sumber kebenaran bagaimana mungkin akan menjalankan kehidupan dengan cara yang benar. Ujung-ujungnya akan tercipta ketidakadilan di mana-mana.

Tidak bisa dipungkiri sebenarnya dengan Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan negara Indonesia telah selamat dari keterpurukan yang pernah terjadi. Misalnya saat ada krisis moneter. Diperkirakan dan analisa secara iptek, Indonesia akan ambruk saat terjadi moneter. Namun kenyataannya Indonesia masih selamat dengan adanya perekonomian rakyat yang berbasis kekeluargaan yang dikenal dengan UMKMnya. Polemik lainnya adalah penyelesaian konflik yang dilakukan dengan dasar kemanusian yang adail dan beradab, hal ini pernah dilakukan saat konflik Aceh dan Papua.

Bukti lain bahwa karakter pancasila yang menjadi landasan atau dasar hidup dalam bermasyarakat dan bernegara menjadikan masyarakat yang tentram, damai dan gemah ripah lohjinawi adalah adanya kerajaan Majapahit di masa lalu. Kerajaan ini juga menganut paham pancasila dalam kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca pada 1365. Di kitab itu tertulis,”Yatnanggegwani Pancasyila Kertasangkarabhisekakakakrama.” Itu artinya, pancasila sebagai dasar kehidupan yang membentuk mental warganya telah ada dan hidup.

Karakter pancasila tersebut terus diturunkan secara turun temurun hingga setiap generasi ada tokoh-tokoh yang sangat pancasilais hingga Indonesia merdeka. Misalnya tokoh Ki Hajar Dewantoro, Raden Mas Panji Sosrokartono, Soekarno, Hatta dan lain-lain. Bahkan dari tokoh-tokoh tersebut banyak slogan dan kata mutiara yang diangkat dari ujaran lokal menjadi sangat menginspirasi seperti, ”di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung; ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani,” dan banyak lagi kalimat filosofis yang bisa dijadikan tuntunan dalam menjalankan hidup. Akan tetapi karakter-karakter yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut sekarang sangat sulit ditemukan di masyarakat maupun negara.

Di antara tiga zaman (Orde lama, Orde baru dan Orde reformasi) yang paling hilang karakter pancasilanya mungkin adalah sekarang. Ini terbukti UUD 1945 mengalami amandemen empat kali dan dinilai tidak berdasarkan pada Pancasila. Ada pasal-pasal yang ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antar pasal dan ayat di dalamnya. Akibatnya, negara terjebak pada kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.

Semakin hilangnya karakter pancasila membuat kekawatiran tersendiri dari banyak tokoh, baik dari cendikiawan, spiritualis, negarawan dan tokoh masyarakat lainnya. Para tokoh pancasilais ini sangat merindukan adanya bangsa dan negara yang benar-benar berideologi Pancasila, agar terwujud tujuan bangsa-negara yang berbunyi,”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Para tokoh pancasilais yang memiliki segenggam asa atau harapan telah berjuang untuk menembus tirai menuju meja pembuat kebijakan, meskipun masih mental dan belum dihiraukan. Namun tekad besar yang berawal dari ketulusan dan keikhlasan dengan dasar kebenaran tidak pernah menyurutkan usaha mereka. Oleh karena itu, segenggam harapan para pancasilais sejati mengajak dan merangkul berbagai pihak dan kalangan lain untuk sama-sama mengobarkan semangat api pancasila.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membangkitkan api pancasila dalam dada. Kita mulai dari diri sendiri dan keluarga. Jika, semakin banyak warganegara yang berkarakter pancasila maka mereka akan menjadi agen perubahan untuk menuju bangsa dan negara berpancasila sejati. Hal itu akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesegera mungkin. Semoga ini bukan mimpi.(*)

 

Previous articleBangun Persahabatan Dan Profesionalitas: Prajurit TNI Laksanakan Latihan Militer Multinasional Di Australia
Next articlePancasila dan Konstitusi Kita
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.