Home Berita Ramadhan, Maryam Jameelah dan Orientalisme

Ramadhan, Maryam Jameelah dan Orientalisme

Yudhie Haryono

Direktur Eksekutif Nusantara Centre

 

Ramadan, bulan baik untuk melawan. Akan kukisahkan sarjana jenius perumus kritis atas orientalisme. Madzab kuat dan tajam, perusak negara-negara postkolonial. Hal yang membuat negeri agung ala Indonesia jadi paria. Nah, Maryam ini beri kita bedil dan meriam guna mengakhirinya.

 

Jauh sebelum mengoleksi istilah orientalisme karya Edward Said, saya telah membaca karya-karya Maryam Jameelah. Saat studi sarjana, bukunya yang berjudul orientalisme begitu menggoda. Saya menduga, ialah perempuan pertama yang secara serius mengulik teorama orientalis secara serius dan membuat antitesanya.

 

Buku dan karyanya yang lain juga sangat menarik: Islam and Western Society: A Refutation of The Modern Way Of Life; Islam in Theory and Practice; Islam and the Muslim Women Today; Correspondence Between Abi-A’ala Al-Maududi and Maryam Jameelah.

 

Sebagai murid dari Maududi, pemikiran politiknya mempunyai konsep yang sama dengan gurunya yaitu Teo-Demokrasi di mana sistem pemerintahan suatu negara harus berpijak pada demokrasi ilahi (demokrasi yang diinjeksi oleh nilai-nilai spiritual). Praksisnya, ada konsensus yang menekankan musyawarah bersama dalam memutuskan suatu perkara yang tak melawan nash.

 

Maryam Jamilah dilahirkan di Westchester, New York pada tahun 1934. Ia dilahirkan dengan nama Margaret Marcus. Ia pecinta ilmu, penulis dan humanis yang hidupnya habis di antara perpus dan studi islam.

 

Tahun 1962, atas ajakan Maududi, Maryam Jamilah pindah ke Pakistan dan menetap di Lahore sebagai anggota keluarganya. Setahun kemudian ia menikah dengan Yusuf Khan, seorang pengurus harian Jami’at Islami, gerakan kader Islam yang didirikan Maududi pada tahun 1941. Sejak saat itu ia mewakafkan dirinya menjadi penulis terkemuka di dunia. Tulisannya sangat tajam mengkritik dan melawan ilmuwan Barat yang selama ini dominatif bin pejoratif dalam melukiskan islam.

 

Yang paling utama ia kritik adalah para orientalis purba. Orientalisme sendiri berarti ilmu-ilmu yang berhubungan dengan dunia timur. Orang-orang yang mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu tersebut disebut orientalis atau ahli ketimuran.

 

Pada awalnya, orientalis mempunyai tujuan utama untuk mengungkap dan menyingkap signifikansi simbolik, ritual, kultural dan kelebihan serta kekurangan Islam dengan menjadikan bahasa Arab sebagai wahana utamanya. Tapi dalam perkembangannya berubah menjadi alat dominasi dan modal kolonialisme.

 

Memang, sejak abad ke-19, “orientalis” telah menjadi istilah tradisional bagi para ahli dalam bidang studi timur/islam, di sini mencakup studi tentang bahasa, sastra, agama, filsafat, sejarah, seni, dan hukum masyarakat Asia zaman dulu saat mereka lebih maju dari Barat.

 

Selanjutnya ekosistem orientalisme digunakan secara luas sebagai istilah yang merujuk pada karya-karya seniman Barat pada abad ke-19, yang mengandung unsur-unsur yang didapat dari perjalanan mereka ke negara-negara di luar Eropa, di tempat-tempat koloni mereka.

 

Madzab orientalisme selain menjadi gaya berpikir yang menciptakan relasi kuasa antara Timur dan Barat juga mencipta kultur dominasi ras. Dari sini lahirlah relasi-relasi kekuasaan yang meluas: 1)Kuasa politis, 2)Kuasa intelektual, 3)Kuasa kultural, 4)Kuasa moral, dan 5)Kuasa inovasi-industri dan tekhnologi.

 

Intinya, kata Maryam, orientalisme merupakan kajian yang dilakukan oleh sarjana Barat yang memformulasi letak geografis imajiner pada dunia Timur. Pengetahuan-pengetahuan mengenai dunia Timur sendiri merupakan hasrat yang ingin dipenuhi oleh sarjana-sarjana Barat serta sarat akan kepentingan kekuasaan apapun. Dan, itulah landasan utamanya. Landasan dari individu yang serakah dan dendam pada selainnya.(*)

Previous articleRakyat sudah Lelah dan Ingin Lebaran dengan Tenang, Aktivis 98: Anies Provokasi Terus
Next articleKapuspen TNI: TNI dan Media Bersinergi Sampaikan Informasi Yang Akurat dan Tepat
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.