Home Berita Raja Belanda Bahas Perbudakan, Indonesia Disebut

Raja Belanda Bahas Perbudakan, Indonesia Disebut

Amsterdam, sumbawanews.com – Raja Willem-Alexander pada peringatan peran Belanda dalam sejarah perbudakan, Oosterpark, Amsterdam, Sabtu (01/07) dalam pidatonya mengatakan, di dalam kota Amsterdam dan yurisdiksinya, semua orang bebas, dan tidak ada budak. Dan itu adalah kata-kata ketentuan hukum Belanda dari tahun 1644.

“Kami berdiri di kota yang, selama berabad-abad, menghargai kebebasan di atas segalanya. Di ibu kota sebuah negara yang sepanjang sejarah berulang kali berjuang melawan tirani dan penindasan. Namun, prinsip-prinsip yang diterima begitu saja di dalam kota ini dan di dalam negara ini tidak berlaku di luar perbatasannya. Di sini, perbudakan dilarang. Tapi di luar negeri tidak,” ucapnya.

Baca Juga: Dibiayai Belanda dan Denmark, Rheinmetall Akan Pasok 14 Leopard 2A4

Diungkapkan, Baru-baru ini, ia bersama Ratu Belanda telah melakukan banyak percakapan dengan orang-orang di Belanda Eropa dan di pulau-pulau Karibia bagian dari Kerajaan. Bertemu orang-orang dengan akar bahasa Suriname, dan orang-orang yang memiliki ikatan dengan Indonesia.

“Di antara mereka adalah orang-orang yang hanya perlu mundur tiga generasi untuk menemukan anggota keluarga yang lahir sebagai budak. Dan mereka memperjelas seberapa dalam luka yang tersisa,” kata dia.

Dijelaskan, Berkat kerja banyak peneliti yang berdedikasi, semakin banyak belajar tentang peran Belanda dalam sejarah perbudakan. Lebih dari 600.000 orang diangkut melintasi Samudra Atlantik dari Afrika dengan kapal Belanda, untuk dijual sebagai budak atau dipekerjakan di perkebunan. Sekitar 75.000 tidak selamat dari penyeberangan.

Selain itu, Belanda juga mengetahui tentang perdagangan budak yang meluas ke Timur, di daerah-daerah yang dikuasai oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda. “Dan kita tahu tentang kekejaman yang dilakukan terhadap penduduk asli koloni. Tapi ada juga banyak hal yang tidak kita ketahui. Arsip berisi angka mentah. Mereka menyajikan fakta dengan ketelitian seorang pemegang buku. Tapi suara para budak hilang dalam kabut waktu. Hampir tidak meninggalkan jejak,” bebernya.

Sungguh menakjubkan bahwa begitu banyak dari mereka menemukan kekuatan untuk bangkit melawan para penculiknya, bahkan jika itu sering kali merupakan tindakan putus asa yang sederhana. “Dari tempat persembunyian mereka di hutan dan rawa-rawa Suriname yang luas, para pejuang perlawanan seperti Boni, Baron, dan Joli-Coeur menantang ketidakmanusiawian perbudakan. Perbuatan heroik mereka, dan banyak lainnya, merupakan bukti kebanggaan dan kekuatan yang tidak dapat dipatahkan,” katanya.

Baca Juga: Tanggapan Aliansi Rakyat Maluku Selatan Terhadap Pernyataan PM Belanda Mark Rutte

Warisan perbudakan yang mengerikan masih ada bersama kita hari ini. Efeknya masih bisa dirasakan dalam rasisme di masyarakat. Pada 19 Desember tahun lalu, perdana menteri Belanda meminta maaf atas nama pemerintah Belanda atas fakta bahwa, selama berabad-abad, atas nama Negara Belanda, manusia dijadikan komoditas, dieksploitasi dan dilecehkan.

“Hari ini aku berdiri di hadapanmu. Hari ini, sebagai Raja Anda dan sebagai anggota pemerintah, saya membuat permintaan maaf ini sendiri. Dan saya merasakan bobot kata-kata di hati dan jiwa saya. Tapi bagi saya, ada dimensi pribadi yang lain,” tutur dia.

Perbudakan dan perdagangan budak diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan para Stadholder dan Raja House of Orange-Nassau tidak melakukan apapun untuk menghentikannya.

Studi independen yang Ia perintahkan akan menjelaskan lebih banyak tentang peran persis yang dimainkan oleh House of Orange-Nassau di masa lalu kolonial Belanda dan sejarah perbudakan. “Tetapi hari ini, pada hari peringatan ini, saya meminta maaf atas kegagalan yang jelas untuk bertindak dalam menghadapi kejahatan terhadap kemanusiaan ini,” kata dia.

Baca Juga: Kanada dan Belanda Ajukan Suriah ke Mahkamah Internasional

Tidak ada cetak biru untuk proses penyembuhan, rekonsiliasi dan pemulihan. Enam puluh tahun yang lalu hari ini, sekelompok orang Belanda asal Suriname berbaris melalui pusat kota Amsterdam sambil melambai-lambaikan spanduk bertuliskan ‘Ketie Kotie fri moe de’. Mereka menyalakan api ingatan yang dinyalakan hari ini.

Ini adalah hari penting bagi siapa pun yang memiliki hubungan dengan Suriname, termasuk mereka yang leluhurnya melakukan perjalanan ke koloni sebagai buruh kontrak. “Saya berharap keturunan dari orang-orang yang diperbudak dan orang-orang yang menjadi sasaran kerja paksa di belahan dunia lain merasa menjadi bagian dari pertemuan ini. Saya harap mereka merasa didengarkan. Orang-orang dari Karibia bagian dari Kerajaan. Dan banyak orang Belanda yang memiliki ikatan dengan Indonesia, dan yang memikul pedihnya ketidakadilan besar di masa lalu,” katanya.

Ia mengakui, semua memiliki sejarah keluarga sendiri. Emosi sendiri, Tradisi budaya sendiri yang mendasari dalam komunitas. “Semua tradisi itu berharga, dan pantas dihormati. Tetapi marilah kita juga menjangkau melampaui mereka satu sama lain. Membangun dunia tanpa rasisme, diskriminasi dan eksploitasi. Setelah pengakuan dan permintaan maaf, mari kita bekerja sama untuk mendorong penyembuhan, rekonsiliasi, dan pemulihan. Agar kita semua bisa bangga dengan apa yang kita bagikan,” ucap dia. (Using)

Previous articleDanlantamal IX Hadiri Upacara Peringatan HUT Ke-77 Bhayangkara di Polda Maluku
Next articleFrancis Masih Membara, Disebut Ada Tembakan Senjata Laras Panjang Lukai Polisi
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.