Home Berita Preman Bertoga

Preman Bertoga

Oleh: Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute

Ahmad Syafii Maarif (2005) pernah menyebut bahaya preman berjubah, yakni mereka yang berani mati, tetapi tidak berani hidup, karena mereka tidak punya sesuatu, kecuali kekerasan, untuk ditawarkan bagi kepentingan kemanusiaan. Mereka berlindung di belakang jargon-jargon religius untuk membunuh peradaban.

Mereka berjubah agama namun tindakannya seperti preman, intoleran dan kerap mengancam keselamatan orang lain. Agama yang seharusnya rahmatan lil’alamin (memberi rahmat bagi sesama) mengalami disfungsi menjadi alat untuk melaknat sesama.

Baca juga: Darah Kami Sudah Halal, Bung!

Setelah preman berjubah, kini muncul preman bertoga. Yakni ilmuan dan peneliti yang biasa memakai toga kebesaran sebagai akademisi di kampus atau di lembaga riset, namun tindakannya seperti preman, menebar provokasi dan ancaman pembunuhan terhadap mereka yang tidak sejalan dengan pendapat dirinya.

Amat disayangkan, dalam tubuh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai pusat riset dan inovasi yang mengedepankan objektivitas dan independensi, terdapat profesor Thomas Djamaluddin (TD) yang intoleran terhadap perbedaan sehingga memicu Andi Pangerang Hasanuddin (APH) menebar ancaman pembunuhan massal. Keduanya satu paket dalam menyikapi perbedaan dalam penetapan Hari Raya Idul Fitri 1444 H.

Baca juga: Tentang Anies; Boni Hargens Keok Di Live TikTok

Saya kutipkan kalimat dari keduanya yang sudah tersebar di media:

TD: “Sudah tidak taat kepeutusan pemerintah, eh masih minta difasilitasi tempat shalat ied. Pemerintah pun memberikan fasilitas.”

APH: “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda Kalender Islam Global dari Gema Pembebabasan? Banyak bacot emang!!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Sekalian laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan!!!! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian!!!”

Baca juga: Peneliti BRIN Andi Pangeran, Pengancam Bunuh Warga Muhammadiyah Ditangkap di Jombang

Selain menebar ancaman, APH juga memfitnah Muhammadiyah disusupi Hisbut Tahrir. APH sudah meminta maaf dan sudah mendapatkan sanksi, meskipun tentu sama sekali tidak menghapus kesalahannya. Apalagi yang bersangkutan menyatakan siap dipenjara. Artinya, ancaman itu ia lakukan dengan sadar, disengaja, dan tampaknya terencana. Dan, dalam kasus ini, antara TD dan APH ibarat dua sisi mata uang. Tidak akan ada komentar APH kalau tidak ada provokasi dari TD.

Baca juga: Keluarga Curiga AKBP Buddy Bukan Meninggal Bunuh Diri tapi Dibunuh Mafia Narkoba

Bagi peneliti yang menjunjung tinggi etika akademik, intoleran –apalagi mengancam—terhadap pihak yang berbeda pandangan merupakan sikap yang tidak terpuji (kejahilan) dalam skala yang berlipat ganda (jahil murakkab), karena perbuatan nista semacam ini tidak layak dilakukan bahkan oleh preman sekalipun, apalagi bagi penyandang gelar akademik sebagai peneliti di lembaga penelitian yang seharusnya bertabur pujian.

Ini bukti bahwa preman ada dimana pun, dan watak peman bisa melekat pada siapa pun, tanpa pandang profesi dan keahlian. Agamawan bisa jadi preman. Dosen, peneliti, dan bahkan guru besar pun bisa jadi preman. Lalu apa fungsinya agama? Apa fungsinya ilmu pengetahuan?

Baca juga: Anggota DPR Kakak AKBP Achiruddin Nilai Kasus Aditya Kenakalan Remaja, Habiburokhman: Tak Empati ke Korban

Kata manusia super jenius, Albert Einstein (1879-1955): “Science without religion is lame, religion without science is blind”. Agama dan ilmu ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama penting dan bermanfaat bagi manusia, baik untuk dirinya maupun bagi lingkungan sekitarnya.

Agama dan ilmu sangat besar manfaatnya, berfungsi sangat fital bagi kemanusiaan. Agama dan ilmu bisa membuat orang yang memilikinya jauh lebih baik. Bisa membuat lingkungan dan kemanusiaan lebih beradab. Suatu negara bisa maju karena penduduknya terdiri dari orang-orang yang berilmu. Negara yang penuh dengan kekayaan alam, tidak memberikan manfaat jika penduduknya tidak belilmu, karena kebodohan tidak bisa memanfaatkan kekayaan alam secara konstruktif. Di tangan orang bodoh, kekayaan malah jadi beban.

baca juga: Panji Gumilang: Shalat di Al Zaytun  Perempuan Shaft Didepan, Bermahzab Bung Karno

Itulah sebab, menuntut ilmu (termasuk ilmu agama) hukumnya wajib. Bahkan pada saat suasana diliputi peperangan, ada ayat al-Quran yang memerintahkan agar tidak semuanya pergi berperang melainkan ada sekelompok orang yang mau mendalami agama (QS, 9:122). Kata Nabi saw, mencari/menuntut ilmu itu wajib dari sejak lahir hingga akhir hayat.

Baca juga: Kemenag Indramayu: Ada Non-Muslim di Shaf Sholat Pesantren Al Zaytun

Tuhan (melalui sabda-Nya dalam kitab suci) sangat menghormati ahli agama, juga ahli ilmu. Mereka diangkat beberapa derajat dibanding manusia biasa (QS, 58:11). Namun, pada saat agama dan ilmu itu tidak memberikan manfaat (tidak memberi petunjuk yang baik/hidayah) pada pemiliknya, maka perumpamaannya seperti keledai yang memikul kitab (QS, 62:5). Nabi saw perrnah bersabda, “barang siapa tambah ilmu tapi tidak tambah petunjuknya maka tidak tambah apa-apa dari Allah kecuali semakin menjauh dari-Nya.”

Agama dan ilmu pengetahuan harus dimanfaatkan secara konstruktif dengan cara mengajarkannya pada orang lain seraya memberi contoh dengan ucapan dan tindakan yang baik. Dengan demikian, agama dan ilmu pengetahuan bisa menjadi berkah tak terputus bagi orang yang memilikinya, juga bagi lingkungan sekitarnya. Ada nilai dan berkah berkelanjutan (amal jariyah) bagi kemanusiaan.

Preman berjubah dan preman bertoga hanyalah istilah bagi ahli agama dan ahli ilmu yang tidak memberi manfaat bagi kemanusiaan. Alih-alih membawa berkah malah berbahaya.

Previous articlePerhiasan Dibawah Kabur Suami Bule, Nikita Mirzani Mewek
Next articleMenteri Basuki Bantah Klaim Jokowi Investor IKN Membludak sampai Oversubscribed
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.