Home Berita Pengelolaan Air Tanah Berbasis DAS Bertentangan dengan Ilmu Akademis

Pengelolaan Air Tanah Berbasis DAS Bertentangan dengan Ilmu Akademis

Jakarta-Pengelolaan air di Indonesia, baik air tanah maupun air permukaan rencananya akan dilakukan berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal itu akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Pengelolaan Sumber Daya Air (RPP PSDA) sebagai turunan UU No.17 Tahun 2019 tentang Sumber daya Air yang saat ini tengah digodok di Kementerian PUPR.

Ahli Hidrogeologi Heru Hendrayana mengatakan pengelolaan air tanah berbasis DAS itu tidak bisa dilakukan.  “Terus terang, itu karena ada beberapa yang bertentangan dengan ilmu akademis,” katanya.

Intinya, kata Heru, sumber daya air itu ada dua, yaitu air permukaan dan air tanah. Di dunia manapun, menurut dia, yang namanya air permukaan itu yang satuan wilayah pengelolaaannya daerah aliran sungai. “Tapi, kalau air tanah itu satuan wilayah pengelolaaannya, wadahnya kita sebut cekungan air tanah atau CAT,” ucapnya.

Dia menegaskan air tanah itu satuan wilayahnya harus cekungan air tanah. Water management-nya itu adalah cekungan air tanah. “Jadi kalau air tanah itu satuan wilayahnya disamakan dengan air permukaan, itu jelas bertentangan dengan ilmu akademisnya,” tukasnya.

Dengan adanya peraturan yang seperti ini, Heru melihat air tanah itu seolah dikesampingkan. “Padahal kalau kita mau jujur,  sumber daya air itu 90 persen sebenarnya air tanah. Permasalahan-permasalahan air yang terjadi selama ini itu ada di air tanah semua,” tuturnya.

Sementara, lanjutnya,  air permukaan itu hanya karena terlihat saja. Sumber airnya itu sedikit. Pemakaian itu banyak di air tanah. Permasalahan konflik-konflik selama ini juga banyak di air tanah. “Saya membacanya ini mau ditarik ke Kementerian PUPR semua,” katanya.

Jika peraturan itu tetap mau dipaksakan, Heru memastikan akan terjadi kekacauan dalam pengelolaan sumber daya air ke depan. Hal itu disebabkan hal itu bertentangan dengan para ilmuwan di bidang hodrogeologi. “Sekarang wadahnya dianggap satu dan dikelola berdasarkan wadah yang satu itu.  Wadah yang di bawah kan kepotong-potong. Kalau kepotong-potong, bagaimana saya menghitung cadangannya. Jadi malah menjadi kacau nanti. Sumber daya air itu menjadi tidak terhitung,” ungkapnya.

Heru melihat penyatuan pengelolaan air itu hanya untuk mengarahkan agar perijinan pengelolaan air itu itu bisa ditarik ke Kementerian PUPR semua. “Padahal Kementerian PUPR juga nggak siap. Semua bisa kacau nanti, perijinan usaha akhirnya asal ijin. Jadi tujuannya sebetulnya kan sentralisasi perijinan supaya lebih terkoordinir. Tapi kenyataannya,  semuanya bisa menjadi kacau. Pengusaha-pengusaha yang besar kan menjadi terhambat perijinannya. Tapi yang kecil-kecil beranggapan ngapai ngurus-ngurus ijin karena kacau,” kata Heru.

Jika semua perijinan disatukan di Kementerian PUPR, menurut Heru, pengelolaannya juga jadi berbeda. Kementerian PUPR belum siap dengan semuanya itu. Mereka itu biasa ngurusi yang gede-gede, sekarang malah harus ngurusi yang kecil-kecil juga. “Jadilah mereka pasti akan menganggap yang kecil-kecil ini hanya sepele dan bisa dibengkalaikan. Karena mereka kan biasa dengan angka yang triilunan, sekarang hanya jutaan. Apa mau mereka ngurusi yang jutaan tapi masalahnya lebih banyak,” ucap Heru.

Sekretaris Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Charisal Akdian Manu, mengatakan RPP PSDA hingga saat ini masih dalam pembahasan di Kementerian PUPR oleh panitia antar kementerian, baik Kementerian PUPR sendiri, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, dengan melibatkan unsur-unsur akademisi dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Jember, Universitas Parahyangan, para pakar PSDA. RPP ini akan disahkan pada Oktober 2021 mendatang.

Previous articleBamsoet: Teroris Di Papua Lakukan Kejahatan Transnasional Terorganisasi
Next articleEkonom UGM : Kebijakan Zero ODOL yang parsial bisa akibatkan kenaikan inflasi