“PEMBERDAYAAN ETIKA PANCASILA DALAM KONTEKS KEHIDUPAN KAMPUS”
Dosen Pengampu: Asri Reny Handayani, S.Kep.,MH.
Oleh:
Ilham Kusuma Wardani (1PA21007)
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
GRIYA HUSADA SUMBAWA 2022
=================
Pendahuluan
Masalah etika merupakan masalah yang makin mendapat perhatian cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, dan ditegakkannya hukum untuk supremasi
keadilan, pemerintahan yangbersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. (Deddy Yusuf Yudhyarta).
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000).
Nilai-nilai budaya dan agama yang kondusif dan suportif bagi penciptaan dan penguatan integritas para pejabat publik sayangnya belum ‘membudaya’ dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari. Faktor penyebabnya cukup banyak, mulai dari ‘keterbelahan pribadi’ (splitpersonality) pejabat publik bersangkutan yang dalam praktiknya memisahkan nilai budaya dan agama yang luhur dengan praktik kehidupan sehari-hari mereka. (Deddy Yusuf Yudhyarta).
Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya merupakan sumber dari segala norma, baik norma hukum, norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Norma hukum adalah suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara Indonesia. Norma moral berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai manusia untuk mengukur baik atau buruknya sebagai manusia. Dalam kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah dijabarkan dalam norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Deddy Yusuf Yudhyarta).
Pembahasan
Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. (Suseno, 1987).
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. (Suseno, 1987). Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Objek etika manurut Franz Magnis-Suseno, adalah pernyataan moral. Apabila diperiksa segala macam moral, pada dasarnya hanya ada dua macam, yaitu, pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia seperti motif-motif, dan watak.
Pendidikan Pancasila sebagai pendidikan nilai, berusaha mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai budaya bangsa dan nilai-nilai filsafat bangsa yaitu Pancasila. Pelaksanaannya selain melalui taksonomi yang dikembangkan oleh Bloom, juga bisa menggunakan jenjang afektif yaitu menerima nilai (receiving), menanggapi nilai/penanggapan nilai (responding), penghargaan nilai (valuing), pengorganisasian nilai (organization), karakterisasi nilai (characterization).
Norma moral atau susila adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Tolok ukur penilaiannya adalah ukuran baik dan buruk berdasarkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi atau yang dianggap rendah masyarakat tempat manusia yang bersangkutan itu berada. Dengan norma moral itu, seseorang benar-benar dinilai perilakunya. Norma kebiasaan adalah tolok ukur perilaku manusia yang berdasarkan pada hal hal yang telah berlangsung dalam masyarakat sebagai suatu adat istiadat atau kebiasaan sehari-hari.
Pelanggaran norma biasanya mendapatkan sanksi, tetapi tidak selalu berupa hukuman di pengadilan atau penjara. Sanksi dari norma agama lebih ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu, hukumannya berupa siksaan di akhirat, atau di dunia atas kehendak Tuhan. Sanksi pelanggaran/ penyimpangan norma kesusilaan adalah moral yang biasanya berupa gunjingan dari lingkungannya. Penyimpangan norma kesopanan dan norma kebiasaan, seperti sopan santun dan etika yang berlaku di lingkungannya, juga mendapat sanksi moral dari masyarakat, misalnya berupa gunjingan atau cemoohan. Begitu pula norma hukum, biasanya berupa aturan-aturan atau undang-undang yang berlaku di masyarakat dan disepakati bersama.
kesusilaan adalah moral yang biasanya berupa gunjingan dari lingkungannya. Penyimpangan norma kesopanan dan norma kebiasaan, seperti sopan santun dan etika yang berlaku di lingkungannya, juga mendapat sanksi moral dari masyarakat, misalnya berupa gunjingan atau cemoohan. Begitu pula norma hukum, biasanya berupa aturan-aturan atau undang-undang yang berlaku di masyarakat dan disepakati bersama. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Lickona menggarisbawahi pemikiran Novak. Ia berpendapat bahwa pembentukan karakter atau watak anak dapat dilakukan melalui tiga kerangka pikir, yaitu konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Dengan demikian, hasil pembentukan sikapkarakter anak pun dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral. Lebih jelasnya silakan mencermati alur pikir Lickona di bawah ini.
Pemikiran Lickona ini diupayakan dapat digunakan untuk membentuk watak anak, agar dapat memiliki karakter demokrasi, sehingga standar kompetensi demokrasi tercapai. Oleh karena itu, materi tersebut harus menyentuh tiga aspek, yaitu konsep moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness), pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective taking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self knowledgknowledg.
Hubungan Nilai, Norma, Dan Moral
Nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadasari maupun tidak. Nilai berbeda dengan fakta, karena fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan dengan harapan, cita-cita, keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. (Kaelan, 2003: 92)
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia maka perlu lebih dikonretkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkret. Wujud konkret dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma. Terdapat berbagai norma, dan dari berbagai macam norma tersebut, norma hukumlah yang paling kuat berlakunya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal, misalnya penguasa ataupenegak hukum.
Selanjutnya, nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung intregritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah, maka manusia memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku. Hubungan antara moral dan etika memang sangat erat sekali dan kadang kala keduanya disamakan begitu saja. Namun sebenarnya, kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis bagi sikap dan tindakan agar menjadi manusia yang baik.
Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan1) Asaslegalitas, yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, 2) disahkan dan dijalankan secara demokratis, serta 3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasimoral)24 (Kaelan, 2004: 101)
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan negara baik dari legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Tujuannya agar kekuasaan dapat diarahkan pada kebijakan dan cara-cara yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain itu, pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip‘legalitas’. Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Terkait dengan itu, dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagiannya harus senantiasa berdasarkan pada hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan Kenegaraan akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam keberlang sungan kehidupan negara.
Kesimpulan
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan nilai sehinggaia menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Etika Pancasila berkaitan dengan objek formal etika, dan obyek material politik yang meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika yakni : Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber bagi peraturan perundangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungan nya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Secara moralitas kehidupan negara terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan. Asas kemanusiaan seharusnya menjadi prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan: asas legalitas, disahkan dan dijalankan secara demokratis, serta dilaksanakan berda sarkan prinsip-prinsip moral.
Sila-sila Pancasila tersusun atas urut-urutan sistematis. Dalam politik negara seharusnya didasarkan pada prinsip kerakyatan (Sila IV). Adapun pengembangan, dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada moralitas berturut-turut moral Ketuhanan (Sila I), moral kemanusiaan (Sila II), dan moral persatuan yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (Sila III). Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (Sila V).
Aktualisasi etika, nilai budaya dan agama yang suportif bagi integritas pejabat publik memerlukan berbagai dukungan. Dalam prakteknya nilai-nilai tersebut tidak bisa berdiri sendiri, sebab mereka lebih merupakan himbauan moral daripada kewajiban yang mesti dilaksanakan lengkap dengan sanksi-sanksi hukumnya. Karena itu, aktualisasi nilai-nilai itu selain memerlukan sosialisasi dan pembudayaan terus menerus, juga meniscayakan dukungan penegakan hukum konsisten, yang memiliki kekuatan memaksa sehingga nilai-nilai tersebut benar-benar teraktualisasi dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara bangsa.
Pengembangan integritas dan etika para pejabat publik dapat dilakukan melalui pendidikan sejak pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Banyak nilai tersebut telah diajarkan melalui berbagai mata pelajaran/mata kuliah. Persoalannya, nilai-nilai tersebut lebih diajarkan secara kognitif daripada afektif dan psiko-motorik. Karena itu nilai-nilai itu menjadi sekadar pengetahuan yang bakal diujikan daripada dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. ***