Home Berita Pemilu, Oligarki dan Bisnis Kursi Presiden

Pemilu, Oligarki dan Bisnis Kursi Presiden

Yudhie Haryono

Presidium Forum Negarawan

Ini ulangan. Bukan sembarang ujian. Tetapi mengulang kembali ritus lima tahunan: kredit kursi presiden. Para rentenir berbaris rapi. Para budak mengantri. Di altar pemilu, para oligark mencipta sinetron bak jamur di musim hujan. Terberkatilah lapangan pengabdian: KPU, Bawaslu, saksi-saksi dan bujers sejati.

Lembaga-lembaga negara tak kuasa. Sebab banyak lembaga diisi agensi dari selera penguasa. Pasca reformasi, sistem politik kita memang telah berganti menjadi sistem oligarki. Sistem ini memberikan kekuasaan yang begitu besar bagi oligark mengatur dan mendikte negara. Termasuk di sini siapa-siapa yang menjadi pejabat publik lainnya. Bahkan institusi TNI/Polri tak luput dari kuasa mereka.

Dalam sistem oligarki, aksiologinya pasti kleptokrasi: bentuk pemerintahan di mana pemegang kekuasaan menggunakan posisinya untuk mencuri kekayaan negara, merampoknya dan mentradisikan KKN serta dinasti di mana saja dan kapan saja. Mereka mengambil pajak yang berasal dari rakyat untuk memperkaya kelompok tertentu serta dirinya sendiri.

Tentu saja, dalam sistem oligarki, agensi pemerintahannya hanya menjadikan negara sebagai alat untuk mencapai tujuan kelompoknya. Akhirnya tujuan mengenai kemerdekaan, kedaulatan, kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, kesetaraan dll tidak akan merealitas. Bahkan makin menjauh.

Dus, pengaruh buruk sistem politik oligarki di Indonesia cukup kuat dan stabil. Tentu saja, hal ini merupakan konsekuensi dari terjadinya penggantian konstitusi, ternak agensi pengkhianat, intervensi asing, aseng dan asong, sehingga politik berbiaya tinggi. Karenanya, para politisi yang ingin berlaga di pemilihan umum membutuhkan dana dari sokongan para oligark, kekuatan shadow dan investor serakah: para mucikari pengijon dan pemberi kredit kursi serta program.

Maka, yang terpilih adalah yang korup sejak dari pikiran. Mereka yang berniat merentekan jabatan. Mereka yang simulasi ijon kursi dan praktik penggadaian kekuasaan. Lahirlah Republik KKN. Citranya saja blusukan. Tapi faktanya: beragama korupsi. Dengan agama itu, semua lembaga penegak hukum mati suri, yang masih hidup ikutan korupsi, bahkan lebih jumbo. Lihat kasus Sambo Gate.

Kasus korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif-legislatif-yudikatif menunjukkan hancurnya disiplin anggaran dan tata kelola pemerintahan. Pejabat lebih merasa berutang kepada (oligarki) partai, bukan kepada rakyat. Kepentingan asing pun bermain dalam proses legislasi yang akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat. Pejabat terjebak hiruk-pikuk demokrasi yang tak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat (Yongki Karman: 20/09/2008). Mabuk demokrasi, kecanduan fitnah dan puja-puji.

Mengutip tesis Yongki Karman (2008), “Negara tidak menghukum pejabat, tetapi mudah menghukum rakyat. Padahal, yang dikorupsi adalah uang rakyat. Tiada efek jera bagi pejabat yang melihat uang negara sebagai obyek untuk dijarah. Pengeluaran negara dibuat jauh lebih besar daripada seharusnya. Penerimaan negara dibuat jauh lebih kecil daripada seharusnya. Politik anggaran penuh rekayasa.” Negara Para Pengutil, republik para perampok, republik para pejabat cabul.

Ciri terbaik republik pengutil, perampok dan cabul adalah hilangnya moral dan moralitas publik. Padahal itu prasyarat negara maju dan modern. Sebab, moralita publik itu modal menghasilkan keputusan publik. Tentu saja sumbernya kebenaran dan suara publik.

Kita tahu, moralitas publik merupakan kumpulan moralitas yang dimiliki rakyat banyak yang sama dan dirasakan sebagian besarnya dari mereka (mainstream), dan berada di ruang publik. Dus, tinggi rendahnya moralitas publik sama dan sebangun dengan tinggi atau rendahnya sebuah peradaban suatu masyarakat (publik). Begitu pula sebaliknya.

Kini, ritus lima tahunan pilpres yang amoral dan pemilu asosial makin profan, bahkan membusuk dan hanya jual beli plus sogok menyogok saja. Tak lebih. Tak ada moral, tak ada nilai, tak ada ideologi, tak ada cita-cita kemerdekaan. Dan, aktor utamanya hanya oligark rakus, serakah plus predatorian. Rakyat menonton sambil tercekik. Mereka melihat kursi presiden, kursi dewan, kursi pejabat hanya berhala baru yang diperjual belikan tanpa tau apa untungnya buat mereka dan bagi bangsa.

Kini, tanpa revolusi suci menghancurkan itu semua, terkutuklah kita sebagai negara pancasila. Sangat tak pantas jadi peradaban atlantis yang gigantis. Memalukan plus menjijikkan sepanjang masa.(*)

Previous articleUUD 2002 Lahirkan Begundal Politik
Next articleMenhan Prabowo Serahkan 5 Unit Pesawat NC-212i kepada TNI Angkatan Udara
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.