Home Berita Pasar Pasir: Ekspor Pasir Laut, Indonesia Tenggelam

Pasar Pasir: Ekspor Pasir Laut, Indonesia Tenggelam

  • Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Menulis Lokasi Penambangan Pasir Laut – Lombok Timur, NTB.

_____________________

Poros Maritim Dunia absurd makna dan esensi sebagai visi misi Presiden dalam kurun waktu 8 tahun, dirusak oleh diksi “Tenggelamkan.” Karena selama 5 tahun lalu, alat tangkap nelayan dilarang dengan alasan lingkungan “Go Green.” Ekstremnya, menuduh nelayan merusak lingkungan laut.

Pada periode kedua Jokowi – Ma’aruf Amin, lebih parah lagi, menyebabkan kerusakan dimasa depan itu sangat nyata sekali. Kontra produktif kebijakannya. Festivalisasi dan pembenaran sesuai market. Walaupun salah atau kurang tepat dan/atau merusak sekalipun. Betapa tidak, kebijakan teranyar Presiden Joko Widodo yakni siklus pengerukan, penghisapan dan izin ekspor pasir laut bakal merusak lingkungan. Padahal sebelumnya, izin eksplorasi tambang pasir laut dihentikan oleh rezim Megawati.

Dua menteri yang paling garang mengawal PP 26/2023 tersebut, yakni Menkomarvest dan Menteri KKP. Mereka kompak katakan: tidak merusak lingkungan, karena ada GPS (global positioning system).” Argumentasi dua menteri ini, bukan berbasis pada kerusakan yang berdampak pada nelayan, kawasan konservasi dan alam sekitarnya. Dua menteri itu, sedang berfikir menyehatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan bayar utang pemerintah serta tukar menukar investasi di IKN.

Menkomarvest beralasan untuk pendalaman alur laut Indonesia yang makin dangkal. Alasan itu diperkuat oleh menteri KKP yang membungkus ekspor pasir laut dengan sedimentasi. Kalau bedah dua alasan pejabat negara, sangat absurd. Kenapa? Pertama, laut tidak perlu dikeruk pada kedalaman tertentu. Karena tidak akan terjadi pendangkalan. Kedua, sedimentasi tidak mesti dikeruk, sebaiknya ditanami mangrove dan kayu – kayu lainnya.

Pembelokan makna kerusakan itu terjadi secara sistematis bahwa pengerukan, penghisapan dan ekspor pasir laut adalah upaya menjaga kesehatan laut. Argumentasi paling bertentangan dengan doktrin lingkungan. Green Peace Indonesia (2023) menyebut pemerintah melakukan green washing lewat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pemerintah bernarasi, seakan kedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, tetapi nyatanya malah gelar karpet merah bagi kepentingan bisnis dan oligarki.

Terbitan izin ekspor pasir laut PP 26/2023 berlawanan dengan pelarangan selama 20 tahun lalu sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Semangat pelarangan tersebut, mencegah tenggelamnya pulau – pulau kecil. Masalahnya, kajian – kajian lingkungan belum selesai dibereskan, tetapi PP 26/2023 sudah diterbitkan.

Alasan paling irasional adalah legalkan ekspor pasir laut mencegah ilegal. Cara mitigasinya salah, mestinya tangkap dan proses hukum semua pengusaha yang mengeruk pasir laut tanpa izin. Dugaannya, pemerintah dan oligarki bekerjasama melakukan kejahatan pengerukan, penghisapan dan ekspor pasir laut. Walaupun sudah dilarang.

Logikanya, benih lobster yang sekecil apapun dapat di identifikasi kalau oknum pengusaha lakukan penyelundupan. Lha, ini pasir laut, tentu pengerukan memakai kapal, menghisap dan ekspor melalui jalur laut ke Singapore. Masa tidak tau?. Maka dugaannya ada keterlibatan para penegak hukum, oligarki dan pemerintah sendiri dalam aktivitas ilegal tersebut. Aktivitas penambangan pasir laut secara ilegal masih terus terjadi di Indonesia, seperti di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Akibatnya, kerusakan alam dan kerugian sosial ekonomi terjadi di Pulau – Pulau kecil. Pemerintah tidak mampu membuat kebijakan berbasis kesejahteraan dan lingkungan. Pemerintah sulit prioritaskan keadilan sosial ekonomi. Pemerintah mengelola sumber daya laut dengan cara – cara tidak cerdas. Pemerintah kerap mengambil jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan negara melalui cara-cara ekstraktif dan nirkeadilan. Lebih parah lagi, kebijakan ini tanpa kajian yang matang dan abaikan aspek ekologis, sosial ekonomi dan hak asasi manusia.[]

Previous articleBakamla RI Beserta 5 Negara ASEAN Sepakati Draf Pembentukan ASEAN Coast Guard Forum (ACF)
Next articleSidang ACDFM Ke-20 Selesai, Petinggi Militer ASEAN: Bali Indah Untuk Dikunjungi!
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.