Home Berita Pancasilaku dan Garudaku

Pancasilaku dan Garudaku

Firman

Peserta Program KKK Nusantara Centre

Izinkan saya berefleksi. Setelah itu nanti, saya berproyeksi. Soal pancasila. Soal yang sangat penting di negara kita. Pertama kali mengenal Pancasila, saya teringat kembali saat sekolah. Tepatnya, saat pertama kali masuk SMP. Saat itu di sekolah ada semacam penyuluhan yang namanya  Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Seingat saya, program P4 itu ada upacaranya dan ada test tertulisnya. Saya ingat betul, ketika sudah menyelesaikan penataran P4 itu, (saya lupa berapa hari) kita dikasih piagam berbentuk kertas selayaknya ijazah di mana ada penilaian-penilaian selama mengikuti program penataran P4 itu.

Baca juga: Korelasi Teorama Kuantum Dengan Pancasila

Namun betapa kagetnya, ternyata dari satu kelas itu, saya mendapat nilai dengan pernyataan baik sekali. Jujur saja, ini membingungkan buat saya, karena teman-teman lain yang saya lihat hasil nilainya hanya dituliskan baik. Nah, sepanjang waktu yang terus berputar, saya pun beranjak dewasa dengan alur cerita yang mewarnai perjalanan hidup dari belajar agama (mondok tapi tidak lulus) sampai belajar sano sini; dari yang liberal, tasawuf dan macam-macam pengetahuan akan ketuhanan. Pokoknya, nano-nano. Berwarna dan penuh dinamika.

Baca juga: Pancasila dan Kemakmuran

Tetapi, pada saat itu aneh bin ajaibnya, patokan saya kalau sebuah pemahaman bertolak belakang alias mengajak permusuhan kepada negara (Pancasila), maka saya malas belajar. Intinya, apapun aliran kepercayaan atau filsafat keagamaan, jika bertentangan dengan negara (dulu saya menganggapnya Pancasila itu negara) maka sudah jelas saya tolak. Saya tidak tertarik. Saya mengacuhkannya.

Jujur saja, saya tidak tahu mengapa. Apa ini ada sangkut pautnya ketika dulu saya mendapat nilai baik sekali di sekolah SMP atau apa? Sampai saat ini juga, saya tidak tahu mengapa mendengar Pancasila bisa menggetarkan hati dan jiwa. Mungkin juga karena almarhum ayah saya adalah pengagum Bung Karno, sehingga pengetahuannya merasuk ke saya selaku anaknya. Atau apa, kurang saya pahami dan masih misteri.

Baca juga: Spiritualitas Dalam Pancasila

Kembali kepada Pancasila. Mendengar pancasila, tentu tak bisa lepas dari sang pencetus Pancasila itu sendiri yaitu Bung Karno. Mungkin dari kita terbiasa atau malah mungkin terpesona dengan kisah mistik putra sang fajar tersebut. Mulai dari kewaskitaan dan karomahnya, pidato-pidatonya, kegantengannya, kecerdasannya atau mungkin keberaniannya.

Pertanyaannya, “apa mungkin, Bung Karno atau Mr. Sukarno yang sepanjang hidupnya tak kenal lelah berjuang demi kebenaran, sosok individu yang brilian, cerdas, waskita (sakti), dipuja di dalam dan luar negeri, berakhir tragis seperti yang diceritakan sejarah yang sudah terlanjur jadi konsumsi publik?

Apa iya seorang yang berjiwa murni (tercerahkan) mati dalam kehinaan akibat pengkhianatan? Apa iya menutup nafasnya dalam kesakitan dan penderitaan? Apa ini nasib seorang yang diberi anugerah oleh Tuhan sebagai bapak bangsa jadi berakhir tragis di negri yang telah diperjuangkan dengan tanpa pamrih ini? Dari kisahnya, kita wajib menyelami kebenaran. Tentu agar yang benar dan sesungguhnya bisa diketahui dan dimengerti.

Tentu itu kerja besar. Maka, proyeksi saya dalam kesempatan artikel ini ijinkan membahas apa dan bagaimana seharusnya api pancasila menyala di sanubari dan harapan kedepannya agar Pancasila betul-betul bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar kita tak mengalami nasib tragis. Tentu juga agar setiap keputusan kehidupan yang diambil oleh kita, dan terutama para pemangku jabatan agar atas dasar hikmat kebijaksanaan sehingga berbuah keadilan.

Bila kita bicara Pancasila, maka sudah selayaknya kita kembali kepada laku/jalan luhur yang telah diwariskan founding fathers-mothers bangsa ini. Apa sebab? Jelasnya ya karena kita sama-sama mengetahui dan merasakan kesaktian Pancasila itu sendiri. Darimana Pancasila itu berasal? Jelas dari keontetikkan spiritual nusantara. Mengapa bisa? Sebab memang asli di sini, bukan dari luar sana. Milik kita bersama. Maka, pribadi yang berwatak angkara yang mana cara berpikir bertindak dan berkata selalu  mengedepankan hasrat egoistiknya tidak akan bisa mencetak sila-sila layaknya sila dalam pancasila.

Di sini kita perlu kasih murni tanpa diskriminasi; tiada lelah mengobarkan Api Pancasila di sanubari ini, terus tak putus. Dengan apa? Dengan jalan keheningan (hening cipta), dengan aksi nyata untuk ibu pertiwi. Dan, satu yang maha penting, setiap pikiran, kata kata dan tindakan kita semua, harus tiada keraguan sama sekali. Sebaliknya, harus focus dan yakin seyakin-yakinnya.

Dari hasil observasi saya pribadi, ternyata masih banyak dari kita (orang Nusantara) yang hanya hafal Pancasila tapi tak mengerti bagaimana cara mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan mirisnya, Pancasila  dijadikan tameng/bumper buat meraup keuntungan/kekuasaan dengan cara menebar ancaman, teror, lewat  isu-isu yang sama sekali irasional dan hanya “katanya.”

Sekali lagi “katanya” tanpa pernah sekalipun menyelami kebenaran akan isu tersebut. Walhasil, Pancasila hanya menjadi hiasan dinding, hanya menjadi bumbu acara seremonial, hanya menjadi ajang peringatan tahunan, dll. Miris dan menjengkelkan. Malulah kita sebagai manusia, apalagi manusia nusantara.

Sepertinya, bangsa kita sudah lupa akan jalan keselamatannya sendiri. Bangsa ini lupa akan sejarahnya sendiri. Bahkan mengingkarinya. Garuda mabuk, pancasila terpuruk, warganya paria bin sengsara. Maka, kini saatnya kita berkolaborasi tanpa rasa kompetisi; saatnya kita kembali kepada jalan keselamatan kita sendiri; saatnya kita kembali kepada jati diri bangsa nusantara; saatnya melakukan hening cipta.

Dengan hening, kita akan mampu melampaui dogma religi yang dulu kuat sekali membelenggu kebebasan jiwa-raga. Dengan itu, kita akan berketuhanan kepada Tuhan yang Maha Esa yang kuasaNya tanpa batas dan kasihNya paling murni tanpa diskriminasi. Dengannya, pancasila merealitas, garuda terbang tinggi dan gagah, nasib warganegara akan menjadi contoh kesentosaan dunia.(*)

Previous articleDukung Percepatan UHC, Dukcapil Lombok Barat Jalin Kerjasama Dengan Seluruh Pukesmas
Next articlePancasilais Gadungan
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.