Home Berita Pancasila dan Kemakmuran

Pancasila dan Kemakmuran

Yudhie Haryono

Direktur Eksekutif Nusantara Centre

 

Di mana Pancasila saat kemiskinan dan ketimpangan makin merajalela? Bagaimana gambar mutakhir kemakmuran Indonesia? Ini pertanyaan penting di hari ke-4 program kelas karakter konstitusi (KKK) yang dilaksanakan Nusantara Centre. Jawabannya ternyata “jauh.” Makin menjauh dari keidealan. Singkatnya, masih buram. Tak menjadi program unggulan. Tetapi, apakah kita harus diam? Adakah bedanya hanya menunggu dengan tanpa mengkanvas lukisan? Kukira, sama-sama kosong. Melompong. Gugun. Sesal di kemudian.

Baca juga: Spiritualitas Dalam Pancasila

Padahal, makmur itu sangat penting dalam bernegara. Sebab kita mengaku bernegara pancasila. Sebab kita mahluk beragama, yang harus berbagi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makmur berarti serba kecukupan, tidak kekurangan. Makmur bisa juga diartikan sebagai keadaan yang mencukupi kebutuhan dasar dan dengan keadaan itu kita merasa puas. Oleh karena itu, dalam konsep pembangunan saat ini dikenal dengan indeks kebahagiaan (index of happiness). Indeks ini menjadi alat ukur untuk mengukur tingkat kesejahteraan atau kemakmuran suatu negara: keberhasilan dan kegagalan pemerintahannya. Semakin tinggi indeks kebahagiaan penduduknya, maka semakin makmur tersebut, makin berhasil Negara tersebut, demikian sebaliknya.

Baca juga: Mentradisikan Pancasilaisme

Ada sepuluh aspek untuk mengukur tingkat kebahagiaan. Kesepuluh itu meliputi tingkat kepuasan terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, dan keharmonisan keluarga. Juga ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan.

Maka, agar ada hasil kemakmuran tersebut, kita harus coba tuang ke dalam kanvas dengan garis dan warna-warni yang kita ingini; kita rindui. Kita harus terus melukis; terus menghibridasi; terus berlari. Mengejar yang belum pasti agar ada kepastian. Agar ada hal-hal subtantif sebagai “hadirnya negara” menjadi ada. Agar janji proklamasi menjadi nyata. Agar kita tak jadi pengkhianat pada para pendiri. Agar kita menjadi mercusuar dunia, peradaban gemah ripah. Syorga di Timur.

Taukah kalian betapa itu bukan kesia-siaan? Kita bisa mulai dengan beberapa pertanyaan. Apakah ada bedanya bila mata terpejam? Apakah ada bedanya bila fikiran jauh mengembara, menembus batas langit, melampau zaman ganjil seperti hari-hari ini? Pasti ada. Mengapa?

Karena cita-cita kemakmuran telah membakar jiwa kita; menumpuk pondasi semangat bekerja. Harum aroma kesuksesan membebaskan kepala dan fikiran kita untuk berkreasi. Selalu. Seirama alam raya: meneguhkan kemenangan.

Mari kini kita menggambar. Mari kita kuas jejak bumi manusia. Mari kita potret rumah kaca kemanusiaan plus keindonesiaan. Sebab, kita pahami bahwa di bumi yang berputar pasti ada gejolak; banyak pemberontak. Saling sikat sikut. Lupa gotong royong. Praktik gotong nyolong. Tradisi yang kini menjadi hal umum dan biasa: tak ada malu, tak ada tanggungjawab.

Tetapi terus pahami. Nikmati dan ikuti saja iramanya, isi dengan rasa, pecahkan dengan nalar semesta. Bahwa, semua akan indah pada waktunya: di situ ada usaha maka di situ ada jalan plus solusi. Seringkali memang di menara langit halilintar bergetar. Sambar bakar kehidupan kita jadi penuh paria. Sehingga kadang kita merasa tak terlindung. Lalu, kita terbakar kegetiran. Menangis segugukkan. Tidak tak terperikan. Lahir jejak dada yang terluka, duka yang tersayat, rasa yang terpapar derita. Dan, tak satupun saudara dan sahabat mengerti. Apalagi peduli dan empati.

Saat kita hidup dengan semilyar kemalangan, sadarlah bahwa di negara para budak, pemimpin tak mungkin mundur walau salah dan kejahatan berulang-ulang. Karena itu, jika ingin tahu keadaan sebuah negara-bangsa, maka lihatlah pemimpinnya. Kalau ia pembohong, curang, kejam dan zalim maka begitupula rakyatnya. Begitulah potret kita yang sesungguhnya.

Lalu, apa kanvas kita ke depan? Bagi yang masih waras, hidup harus disandarkan pada “prinsip harapan.” Sebab, hidup yang setengah-setengah selalu tak berbuah. Harapannya untuk Indonesia, yang pertama-tama tentu saja memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga gabungannya: “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.” Yang kedua, gotong-royong mencipta dan mencapai kemakmuran bersama.

Harap yang ketiga adalah melampaui ras dan klan menjadi Indonesian. Yang keempat, menjadi Indonesia karena ide dan praktik perlawanan semesta pada penjajah dan warisannya: fasisme dan rasisme yang mengkangkangi kemakmuran milik warga semua.

Sebab itu, ijtihad dan jihad hari ini adalah menuntaskan problem utama ummat dan rakyat: kemiskinan, kebodohan, kepengangguran, ketimpangan, kesakitan, ketergantungan, keterjajahan, kekalahan dan kejijikan (9K). Dan, itu tak cukup dengan doa, ziarah plus tahfid kita-kitab suci. Harus lebih meraksasa. Panjang. Full power. Bernas. Bernalar. Dari setrilyun pintu, demi kanvas baru untuk melukis lebih terpadu. Di sini api pancasila harus kembali dinyalakan. Dikobarkan, agar menjadi penerang dan daya dorong bagi kebangkitan peradaban raya dan jaya; makmur bersama, sentosa sepanjang masa.(*)

 

 

Previous articleCERI Duga Kuat Norman dan Baskoro Produksi Senjata Tempur Militer Tak Berizin
Next articleKorelasi Teorama Kuantum Dengan Pancasila
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.