Oleh: Rini Ardayani Ms
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Samawa
Sedang Menempu Kuliah Hukum Pemerintahan Daerah
Sahabat pembaca budiman, pada kesempatan ini penulis ingin mengulas sekilas tentang pemerintahan Desa dan pemerintahan kelurahan, secara teoritis normatif istilah “Desa dan Kelurahan” sering kita mendengarnya. Kelurahan merupakan unit administratif yang terdapat di dalam kota atau kabupaten, bagian dari kecamatan dan dipimpin oleh seorang lurah. Kemudian Desa merupakan unit administratif yang terdapat di dalam wilayah pedesaan atau perdesaan. Desa biasanya merupakan bagian dari kecamatan dan dipimpin oleh seorang kepala desa atau kepala adat.
Sahabat sekalalian kelurahan umumnya memiliki populasi yang lebih besar dibandingkan dengan desa, karena kelurahan terletak di dalam kota atau kabupaten, jumlah penduduknya cenderung lebih padat, berbeda dengan desa umumnya memiliki populasi yang lebih kecil dibandingkan dengan kelurahan yang terletak di wilayah pedesaan yang lebih luas, sehingga jumlah penduduknya cenderung lebih sedikit.
Misalnya dalam kota Sumbawa Besar ibu kota Kabupaten Sumbawa, terselip sebuah kelurahan dengan sejarah panjang dan peran strategis dalam denyut kehidupan urban, Kelurahan Brang Bara. Wilayah ini bukan hanya menjadi tempat tinggal ribuan warga, tetapi juga mencerminkan dinamika transformasi sosial dan lingkungan yang terjadi seiring modernisasi kota. Kelurahan Brang Bara merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis, Brang Bara berada di jantung Kota Sumbawa Besar, dengan letak astronomis di sekitar 8°30′7.2″ Lintang Selatan dan 117°25′19.2″ Bujur Timur. Letaknya yang strategis membuat wilayah ini berkembang menjadi kawasan permukiman padat, dikelilingi oleh fasilitas pendidikan, perdagangan, layanan publik, serta pusat pemerintahan kabupaten.
Data dari berbagai sumber yang penulis kutip, tergambat luas wilayah Brang Bara sekitar 2 km² dengan jumlah penduduk mencapai 5.856 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2017. Kepadatan penduduknya pun tergolong tinggi, yakni sekitar 2.928 jiwa per km². Nama “Brang Bara” sendiri berasal dari bahasa Sumbawa, di mana “Brang” berarti air atau sungai, dan “Bara” berarti barat. Nama ini mencerminkan keberadaan sungai kecil yang dulu mengalir jernih dan tenang di sisi barat kota lama Sumbawa Besar. Sungai tersebut bukan hanya menjadi sumber air utama bagi warga, tetapi juga penanda alami antara kawasan permukiman dan lahan kosong pada masa lampau.
Namun, seiring berjalannya waktu dan laju pembangunan kota yang terus meningkat, sungai kecil tersebut kini menghadapi tekanan besar. Aktivitas warga, perubahan tata guna lahan, serta minimnya kesadaran terhadap kelestarian lingkungan membuat sungai itu mengalami penurunan kualitas secara drastis. Sungai yang dulu menjadi nadi kehidupan, kini kerap dipenuhi sampah rumah tangga, endapan lumpur, dan limbah, terutama di kawasan RW 04 dan RW 06 yang paling padat penduduk. Sungai kecil yang seharusnya menjadi jalur drainase alami kini tersumbat, dan ketika musim hujan datang, banjir lokal tak bisa terhindarkan.
Persoalan lingkungan seperti pengelolaan sampah dan banjir kini menjadi masalah yang mendesak di Kelurahan Brang Bara. Volume sampah rumah tangga yang meningkat tidak diimbangi dengan sistem pengangkutan dan pembuangan sampah yang memadai. Banyak warga masih membuang sampah ke selokan atau langsung ke sungai, menyebabkan saluran air tersumbat dan air meluap ke permukiman. Permukiman padat dengan infrastruktur drainase yang tidak optimal memperparah kondisi saat musim hujan tiba. Banjir dapat menggenangi jalan utama, bahkan merendam rumah-rumah warga, merusak barang dan menghambat aktivitas harian.
Menghadapi kondisi ini, pemerintah kelurahan tidak tinggal diam. Pemerintah Kelurahan Brang Bara bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sumbawa telah melakukan berbagai inisiatif, antara lain dengan mengaktifkan program bank sampah untuk mendorong daur ulang dan pengurangan sampah rumah tangga. Kegiatan rutin seperti Jumat bersih dilaksanakan guna membersihkan saluran air dan lingkungan sekitar. Selain itu, normalisasi sungai dan saluran drainase juga dilakukan dengan pengerukan lumpur dan pengangkutan sampah yang menyumbat aliran. Sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya terus digencarkan melalui sekolah, masjid, kegiatan PKK, dan forum RT/RW.
Meski demikian, tantangan masih besar. Tidak semua warga memahami pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, dan belum semua wilayah memiliki akses tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang memadai. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif. Penulis memandang bahwa perlu adanya pendekatan yang lebih menyeluruh dan partisipatif. Misalnya, pembangunan sumur resapan untuk mengurangi limpahan air hujan, pemasangan jaring penahan sampah di muara sungai, serta melibatkan pemuda dalam kampanye peduli lingkungan berbasis komunitas. Sungai kecil yang ada di Brang Bara sebaiknya tidak hanya dipandang sebagai saluran air, tetapi juga bisa difungsikan kembali sebagai ruang publik terbuka yang edukatif, hijau, dan ramah anak.
Brang Bara adalah cermin dari wajah kota yang terus tumbuh, namun tidak boleh kehilangan jati dirinya. Sungai kecil yang menjadi asal usul nama kelurahan ini seharusnya tidak dibiarkan mati dan terabaikan. Justru di tengah kemajuan dan tantangan urbanisasi, sungai tersebut dapat menjadi simbol perlawanan terhadap kerusakan lingkungan dan bukti bahwa modernisasi bisa berjalan beriringan dengan pelestarian nilai-nilai lokal. Dengan semangat gotong royong yang masih hidup di tengah masyarakat, serta kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, Brang Bara memiliki peluang besar untuk menjadi contoh kelurahan urban yang bersih, sehat, dan tetap berakar pada sejarah serta identitasnya sendiri.