Home Berita Opini Bahasa Daerah Diantara Pusaran Literasi

Bahasa Daerah Diantara Pusaran Literasi

Oleh: Irfan Hamonangan Tarihoran, S.S., M.Hum
(Penggiat Linguistik di STKIP Paracendekia NW Sumbawa) 

Tingkat literasi di Indonesia selalu menjadi sorotan. Minat baca masyarakat yang minim menempatkan Indonesia pada posisi ke 60 dari 61 negara. Minimnya sumber bacaan, kurangnya pustakawan sampai dengan rendahnya budaya membaca menjadi faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas literasi tersebut. Padahal, berbagai kurikulum telah ditetapkan sampai dengan Kurikulum Merdeka yang diterapkan saat ini namun hasilnya masih banyak hambatan.
Seperti diketahui, pada umumnya masyarakat Indonesia tergolong bilingual, yaitu menguasai 2 bahasa baik bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Mayoritas mereka menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Namun kadang terlupakan bahwa bilingual juga terbagi 2 yaitu native bilingual dan simultaneous bilingual (Cowles, 2011). Jenis bilingual pertama merupakan pemerolehan bahasa bersamaan sejak lahir. Artinya si anak sudah diperkenalkan dengan menggunakan kedua bahasa tersebut. Untuk bilingual jenis ini tentu tidak akan mengalami kesulitan yang signifikan jika dihadapkan dengan materi bacaan yang menggunakan Bahasa Indonesia. Beda hal dengan jenis bilingual yang kedua dimana pemerolehan bahasa kedua berurutan dilakukan setelah menguasai bahasa pertama. Hal ini banyak ditemukan di daerah-daerah yang masyarakatnya jarang sekali menggunakan Bahasa Indonesia melainkan Bahasa daerah baik di sekolah maupun tempat-tempat umum lainnya.
Pemerolehan kedua bahasa ini tentu berbeda jika ditilik dari ranah psikolinguistik, yaitu ilmu bahasa yang mempelajari keterkaitan proses pemerolehan, penyimakan, produksi dan hal-hal lain yang terkait dengan bahasa di dalam otak manusia. Bahasa pertama tentunya diperoleh secara natural dari sejak lahir. Tanpa belajar formal, seseorang dapat memperoleh bahasa ibunya secara mandiri. Inilah yang dikatakan sebagai kemahiran bahasa. Di sisi lain, bahasa kedua diperoleh melalui proses belajar. Permasalahannya adalah bahwa masyarakat Indonesia yang berbahasa daerah sebagai bahasa pertama akan berbenturan dengan bahasa nasional sebagai bahasa kedua dalam konteks simultaneous bilingual. Khususnya anak-anak usia pembaca pemula dari kelas 1 sampai dengan kelas 3 Sekolah Dasar. Pemerolehan bahasa pertama mereka saja belum tentu mapan tapi langsung ditekankan dengan penggunaan bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia. Materi baca pun dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Alhasil, proses lateralization, dimana proses otak bekerja dalam menghasilkan ataupun menyimak bahasa pun kemungkinan menjadi kurang efektif.
Dari pelaksanaan kurikulum Merdeka di sekolah dasar di kabupaten Sumbawa yang melibatkan relawan mahasiswa di suatu perguruan tinggi, sejauh ini ditemukan fakta bahwa ada beberapa lokasi target kegiatan yang relawannya mengalami kesulitan terkait bahasa komunikasi relawan dengan siswa-siswi yang diajar. Bahasa yang digunakan di sekolah mereka adalah mayoritas bahasa daerah sedangkan bahasa Indonesia kurang mereka pahami. Buku bacaan yang diberikan pun dalam penggunaan bahasa Indonesia. Artinya siswa diarahkan untuk menjadi simultaneous bilingual. Hal yang menarik perhatian penulis adalah bukan pada kesulitan yang dihadapi karena komunikasi antara relawan dan siswa. Namun, membayangkan seberapa efektifkah pelaksanaan program literasi dapat tercapai dengan situasi demikian.
Seharusnya pembaca usia dini diberikan materi baca yang menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing. Hal ini untuk mengasah profisiensi mulai dari fungsi visual cortex (jaringan mata) yang menangkap lambang, kode, tanda bahasa kemudian mengirimkannya ke otak agar seseorang dapat menelusuri makna yang disampaikan oleh penulis melalui tulisan. Dalam prosesnya, seorang anak melewati beberapa fase mulai dari phonological awareness, bagaimana si anak mengenali bentuk huruf dan bunyi dari symbol atau tanda bahasa itu, kemudian menuju morphosyntactic dimana pengenalan kata dan unsur-unsur yang melekat di dalamnya seperti kelas kata dan makna dikaitkan dengan tata bahasa sehingga misalnya si anak dapat membedakan mana yang menjadi referen dalam suatu kalimat sederhana ataupun kompleks. Seluruh proses itu melibatkan skemata, pengetahuan yang dimiliki pembaca terkait isi bacaan, sehingga bisa membantu untuk memprediksi makna dan menyesuaikan dengan konteks. Disamping itu, pembaca juga menerapkan strategi alternatif ketika terjadi masalah pada saat proses memahami isi bacaan.
Tentunya seorang anak yang tergolong simultaneous bilingual akan membutuhkan waktu lebih lama untuk proses membaca. Di satu sisi, si anak akan memproses bahasa pertamanya dan di sisi lain dia harus mencabangkan pikiran untuk memproses bahasa kedua karena bahan bacaanya dalam bahasa Indonesia. Disinilah perannya skemata. Jika waktu yang dipakai seharusnya untuk mengasah kemampuan profisiensi Bahasa Ibu malah dipakai untuk mengasah bahasa kedua maka hanya akan membebani proses lateralisasi si anak dalam mencapai target literasi yang dicanangkan. Proses parsing, kemampuan untuk mengurai data persepsi dari proses membaca, akan lebih lama ketika beralih ke bahasa kedua. Seharusnya dari usia dini tersebut, anak-anak yang tergolong pada jenis bilingual ini lebih ditargetkan untuk mahir dalam berbahasa pertama/Bahasa Ibu terlebih dahulu. Mahir bukan hanya dalam keahlian berbicara namun juga mahir dalam membaca dan memahami isi bacaan.
Jika target yang diharapkan adalah peningkatan minat baca anak sejak dini maka saran penulis adalah mempertimbangkan maksimalisasi penggunaan Bahasa Daerah sebagai pengantar di sekolah untuk kelas tertentu. Materi baca pun disesuaikan dengan budaya lokal masing-masing daerah. Hal ini dilakukan karena topik yang disajikan berhubungan erat dengan kehidupan anak-anak di daerah tersebut. Dengan skemata, rasa percaya diri pembaca akan tinggi karena inilah modal awal untuk dapat memunculkan minat baca. Setelah level tertentu yang dianggap mahir membaca dan minat membaca sudah tertanam barulah si anak seharusnya diperkenalkan dengan Bahasa Indonesia dengan materi baca yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sekali lagi, saran ini hanya diberlakukan untuk anak-anak yang tergolong pada simultaneous bilingual atau pun monolingual.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 adalah dasar pemerintah daerah untuk menerapkan penggunaan dan pembinaan terhadap bahasa daerah. Di dalam undang-undang tersebut juga termaktub bahwa Bahasa daerah dapat digunakan apabila efektifitas penggunaan Bahasa Indonesia tidak atau kurang berjalan. Oleh karena itu, pemerintah daerah bisa mempertimbangkan penggunaan Bahasa Daerah di Pendidikan Dasar sampai level tertentu karena Pemerintah Daerahlah yang lebih paham kondisi dan kebutuhan masyarakatnya daripada Pemerintah Pusat. Berdasarkan fakta yang telah disebutkan di atas, diharapkan ada suatu kebijakan yang bisa memfasilitasi anak-anak Sekolah Dasar level tertentu untuk mendapatkan pelayanan khusus penggunaan Bahasa Daerah sebagai bahasa pengantar terutama untuk konten-konten bacaan di sekolah.
Sebagai info tambahan, penulisan cerita anak berkarakter budaya Sumbawa sudah mulai digalakkan di kabupaten Sumbawa. Bermitra dengan Lembaga Inovasi, STKIP Paracendekia NW Sumbawa telah memproduksi karya cerita yang ditulis oleh beberapa dosen dan guru yang terlibat dalam sebuah workshop penulisan cerita anak tersebut dalam bahasa Indonesia. Ini mungkin masih langkah awal untuk lebih serius membantu peningkatan literasi di kabupaten Sumbawa khususnya. Oleh karena itu peran Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan sangatlah diperlukan untuk mendukung program tersebut. Dengan melatih banyak guru untuk menulis cerita anak apalagi dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah khususnya maka akan membantu pemerintah dalam pengadaan bahan cerita anak yang masih terbatas jumlahnya.
Besar harapan, tingkat literasi di Indonesia khususnya di kabupaten Sumbawa lebih cepat dan meningkat signifikan. Jika bahasa pertama dan bahasa kedua sudah dikuasai maka akan lebih mudah bagi mereka untuk mempelajari bahasa ketiga (bahasa asing).*

 

Previous articleMarak Pengungkapan Kasus Narkoba, M. Tahir Tekankan Peran Orang Tua dan Sekolah
Next articleBanggar Dewan Setujui Perubahan KUA dan PPAS 2023
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.