Mendagri Tito Karnavian berjanji bantu NTB melobi Kementerian ESDM untuk melonggarkan izin ekspor konsentrat PT Amman Mineral (AMNT), sehubungan anjloknya pertumbuhan ekonomi quartal 1 2025 hingga minus 1,47% disebabkan belum dikeluarkan izin ekspor.
Pernyataan mendagri itu justru bertentangan dengan upaya pemerintah menggalakkan hilirisasi dalam negeri yang telah melarang ekspor konsentrat untuk diolah di luar negeri sejak 1 Januari 2025 di seluruh Indonesia. Sekaligus menunjukkan bahwa NTB belum bisa lepas dari ilusi angka2 tambang. Pengolahan konsentrat sendiri agar memiliki nilai tambah terhadap ekonomi dan menyerap tenaga kerja.
Mustinya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Munrenbang) yang berlangsung 2 s/d 4 Juni 2025 di Mataram menjadi titik balik transformasi serius mengembangkan pengolahan/hilirisasi SDA terbarukan; pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan. Sektor inilah yang riel penopang ekonomi daerah, tempat bergantung hidup sebagian besar masyarakat secara turun temurun dan sektor yang menjadi tulang punggung utama PDRB NTB. Namun ternyata masih terjebak pada ilusi anga-angka tambang.
Tarik ulurnya janji bangun smelter sudah ada sejak PT Newont Nusa Tenggara sebelum menjadi PT AMNT pada 2016 Perusahaan selalu berkelit dengan berbagai alasan. Begitu ijin ekspor konsentrat disetop mereka menunjukkan keseriusan bebaskan lahan lokasi smelter atau menunjukkan modal bangun pabrik pengolahan. Ijin pun dikeluarkan. Atau mengancam PHK ribuan karyawan, ijin pun diberikan. Pemerintah selalu mengalah. Baru 3 tahun belakangan smelter terbangun. Perhitungan pemerintah harusnya sudah bisa beroperasi penuh, tetapi pihak AMNT minta waktu.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Produk Domestik Regional (PDRB) NTB nomor dua ditopang industri pertambangan PT AMNT di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Naik turunnya denyut bisnis perusahaan raksasa itu langsung mempengaruhi angka pertumbuhan. Itulah yang terjadi saat ini ijin tidak keluar pertumbuhan langsung minus.
Padahal, faktanya angka2 kontribusi PDRB tambang hanyalah ilusi, belanja modal perusahaan mencapai Rp 22 triliun tahun lalu, dan belanja operasional yang tidak kecil, uangnya tidak beredar di Sumbawa Barat. Karyawannya 37 ribu orang eksisting PT AMNT sekitar 9700 termasuk sub kontraktor dilokalisir dan kebutuhannya disuplai entah dari mana.
Pajak-pajak dan pendapatan negara non pajak, dipungut pemerintah pusat untuk kemudian diturunkan dalam bentuk bagi hasil ke semua kabupaten dan kota di seluruh lingkup NTB. Itulah dana riel yang secara otomatis masuk ke kas daerah karena sudah diatur oleh UU. Petani dan nelayan tidak tersentuh oleh kebutuhan perusahaan raksasa tersebut. Sehingga keberadaannya tidak ngefek kepada ekonomi setempat. Pengusaha dan UKM tidak berkembang.
BPS memasukkan dalam PDRB tentu karena asal barang dan lokasi proyek berada di KSB, tetapi uang besar belanja perusahaan terjadi di luar daerah. Hal ini sudah berlangsung sejak perushaan berproduski tahun 2000. Maka jangan heran di Sumbawa Barat yang penduduknya hanya 150 ribu jiwa masih ada kemiskinan di atas 20 ribu jiwa dan stunting di atas 7%. Dan pengangguran di atas 3,5 % (BPS 2024) (Mada Gandhi).