Oleh : Salamuddin Daeng
Sumbawanews.com,– Dalam sistem kita sekarang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga negara yang berwenang membuat Undang Undang (UU). DPR memiliki hak inisiatif untuk mengajukan rancangan UU. Ketika UU telah disyahkan DPR maka secara otomatis UU tesebut berlaku, walaupun presiden menolaknya menandatanganinya.
Tapi sekarang semua UU yang dibuat oleh DPR akhirnya dipotong-potong seperti ikan dan sayur mayur, dimasak sendiri oleh pemerintah, kemudian disajikan ke para investor. Menurut pemerintah hidangan omnibuslaw ini sah dalam sisem ketatanegaraan Indonesia, dan pasti disukai perusahaan perusahaan, para kreditor, bank bank pemberi pinjaman, bank bank multilateral dan lain sebagainya. Ringkasnya omnibuslaw ini adalah “sesajen” untuk cepat dapat uang dan kaya raya.
Sungguh kasihan DPR yang sudah lelah lelah menbuat UU, digaji negara sangat besar, staf ahli asisten yang konon hampir menyamai jumlah karyawan anak perusahaan BUMN, dana aspirasi miliaran rupiah, akan tetapi ternyata UU yang dikerjakan DPR dianggap “sampah” yang berserakan, lalu didalam tumpukan sampah tersebut masih dianggap ada plastik, potongan besi, atau masker bekas yang bisa di daur ulang.
Padahal dalam penyusunan UU seringkali perdebatan tentang satu kata “DAPAT” bisa menyita waktu berbulan bulan. Bahkan untuk menghadirkan kata “DAPAT” di dalam sebuah UU konon ongkosnya sangat mahal. Nah sekarang jangankan satu kata “DAPAT” seluruh kata kata dalam UU tak ada harganya bagi Omnibuslaw.
Seringkali juga gara gara satu kata “DAPAT” itu gugatan atau judisial review dilakukan oleh individu dan badan hukum Indonesia ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai contoh gugatan dalam UU ketenagalistrikan ke MK hanya untuk meminta penghapusan kata pengelolaan ketenagalistrikan “DAPAT” dilakukan secara unbundling. Banyak lagi putusan MK hanya menghapus satu dua kata dalam UU.
Jika memang omnibuslaw ini benar dan sah dalam ketatanegaraan Indonesia, maka seharusnya pemerintah bisa bergerak lebih jauh yakni mengomnibuslawkan seluruh hak hak DPR dalam membuat UU, termasuk UU tentang tata cara pembentukan peraturan perundang undangan, membuat anggaran dan dalam melakukan pengawasan. Karena ketiga kewenangan yang dimiliki DPR itulah yang menjadi sebab banyaknya UU dan peraturan yang bermasalah di Republik Indonesia.
Selanjutnya setelah itu DPR bisa segera membubarkan diri, karena secara eksplisit keberadaan DPR lelah dipandang sebagai parasit, yang menggerogoti ekonomi, merusak iklim investasi dan membuat investor tidak nyaman dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan kesukarelaan DPR dalam membubarkan diri tesebut, maka pemerintah secara lebih leluasa dapat bekerja, kerja dan kerja, tanpa setiap hari para menteri dan dirut BUMN dipanggil DPR. Selain itu juga anggaran CSR dari BUMN dapat fokus disalurkan kepada rakyat, dan BUMN tidak didemo lagi oleh masayarakat karena dipandang hanya memanjakan anggota DPR dalam urusan CSR BUMN. Apakah demikian yang diharapkan oleh inisiator omnibuslaw? Wallahualam.