Oleh : Salamuddin Daeng
Jakarta – sumbawanews.com,– Jokowi bangkit dengan mega proyek 35 ribu megawatt, proyek yang bersandar pada pembangkit batubara yang sebagian besar adalah independent power producers (swasta). Listrik yang dihasilkan swasta yang wajib dibeli oleh PLN melalui skema Take or Pay (TOP).
Namun proyek ini gagal, berantakan. Bahkan pemerintah pun tak berani melaporkan kemajuan proyek ini. Mengapa gagal, apa masalahnya, siapa yang menggagalkan dan seterusnya. Semua diam. Bahkan PLN sebagai pihak yang terkena beban merasa bahwa proyek ini membeni meraka.
Sebenarnya sumber kegagalan proyek ini tidak lain dan tidak bukan adalah tidak ada bank yang mau membiayainya. Para investor tahu bahwa proyek ini sebetulnya melawan arah perubahan dunia. Komitmen dunia untuk mengurangi dan menekan emisi karbon adalah sebab keengganan sektor keuangan dan perbankkan.
Kecuali bank bank di dalam negeri karena berada dibawah tekanan kekuasaan mereka mau dipaksa membiayai proyek proyek yang tidak properly. Itu lah yang mengakibatkan NPL sekror perbankkan salah satunya yang paling besar asalah NPL sektor tambang dan sektor energi.
Sejak kesepakatan Paris, tidak ada lagi lembaga keuangan dan bank yang mau terkena pajak karbon tinggi karena membiayai tambang, energi fosil, dan pelbangkit fosil. Pajak yang akan menggerus semua keuntungan mereka. Mereka menguncar proyek proyek energi terbaharukan energi ramah lijgkungan dan lain sebagainya sebagai sasaran investasi.
Bank vs. Perjanjian Paris “pada bulan Desember 2017, demikian wacana utana saat ini. Per Februari 2020 sebanyak 22 bank telah menghentikan pembiayaan langsung ke proyek-proyek tambang batubara termal baru di seluruh dunia; sebanyak 28 bank telah menghentikan pembiayaan langsung ke proyek-proyek pembangkit batubara baru di seluruh dunia. Lihat banktrack.org
Namun elite dibelakang pemerintahan Jokowi sanggup menutupi mata dari kenyataan ini. Atau jangan jangan mereka menutup mata presiden akan perubahan yang tengah berlangsung. Untuk apa ? Padahal Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi komitmen Paris. Presiden Indonesia berpotensi Melamggar UU jika terus melanjutkan proyek fosil. Sementara ada kewajiban untuk mewujudkan 23 % energi terbaharukan dalam komposisi pemggunaan energi Indonesia.
Lagipula kalau terus menyandarkan diri pada fosil dan batubara, maka kenyataan yahg dihadapi saat ini, dimana penerimaan negara dari dua sektor Andalah ini amblas. Kalau terus ngotot maka akan keuangan negara makin amblas. Presiden jangan diperdaya lagi. Saatnya berubah !