Home Berita Mereka Yang Gagal, Malu, Lalu Mundur

Mereka Yang Gagal, Malu, Lalu Mundur

Ilustrasi, Monyet pemalu

Munir @Munir_Timur
Nelayan dari Pulau Pantar NTT dan Penggiat Media Sosial

#CatatanKecil

Di tahun 2010, Perdana Menteri Jepang; Yukio Hayotama, mundur gegara merasa malu karena gagal penuhi janji kampanye, memindahkan pangkalan militer Amerika dari Okinawa.

Choi Joong Kyung, menteri ekonomi Korsel, pun setali tiga uang, mundur gegara tak sanggup tangani pemadaman listrik yang merugikan negaranya hingga US$ 2,89 juta.

Baca juga: Aneh bin Ajaib, Sejumlah Nama Politisi Hilang dari Dokumen Kasus Korupsi BTS Rp 8 Triliun

Rasa malu telah menjadi moral tertinggi dalam bernegara, pun berpolitik. Hayotama (Jepang), Joong Kyung (Korsel), Nato Khan (Jepang), Lee Chih-Kung (Taiwan) dan Papandreow (Yunani), telah memberikan legacy moral pada masyarakat dunia, bahwa ada moralitas, sebagai kontrol dari politik dan kekuasaan.

Mereka hidup dengan rasa malu yang tinggi (shame culture). Rasa malu, memandu tata laku dalam berpolitik dan bernegara. Corak keagamaan budaya (Budhaisme dan Santoisme), menempatkan rasa sebagai perilaku kebudayaan. Dan faktor ini, menjamah praktek berpolitik dan bernegara—atau negara sebagai produk politik tertinggi.

Baca juga: Korupsi BTS Diduga Merembet ke Keluarga Jokowi, Warganet: Uang Pengembalian Rp 27M ke Kejagung dari Kaesang?

Roh Moo Hyun, bekas presiden Korsel (2003-2008), terpaksa bunuh diri, terjun dari tebing rumahya, gegara malu dan merasa bersalah akibat korupsi di lingkungan keluarganya.

Persitiwa Moo Hyun ini, sebagai puncak dari keyakinan, bahwa rasa bersalah adalah kesadaran tertinggi dari moralitas. Mereka menempatkan rasa sebagai ideologi tertinggi dalam berpolitik dan bernegara.

Baca juga: Menpora Dito Diduga Kembalikan Rp 27 Miliar Duit Korupsi Proyek BTS, Warganet: Dianggap Tidak Bersalah, Masih Bisa Senyum dan Tampil di TV

Bagi orang Jepang atau Korea, agama adalah kebudayaan. Coba lihat, pusat-pusat keagamaan di dua negara ini, hanya menjadi situs—destinasi wisata. Seperti di Kinkakuji dan Kiyomizudera (Kyoto), Sensoji (Tokyo).

Kebudayaan menjadi produk keyakinan tertingi, dan rasa malu adalah kredo, sebagai determinan yang mengatur attitude politik, sosial, ekonomi dan hukum.

Baca juga: FPN Tuding Don Adam Lakukan Pencucian Uang Korupsi BTS Kominfo

Determinaasi moralitas mereka dalam berprilaku bukan pada soal dosa dan pahala, tapi pada soal malau atau tidak (shame culture). Budaya malu, telah menciptakan teraturan-keteraturan dalam kehidupan sosial dan bernegara mereka.

Hingga jelang tamat pemerintahan Jokowi, orang bertanya-tanya soal janji Jokowi tentang pertumbuhan ekonomi 7%, Mobnas, penciptaan 10 juta pangan kerja, tidak akan bergantung pada utang dan impor. Janji tinggal janji. Seperti lagu lawas. Mengingatkan kita pada Yukio Hayotama.**

Previous articleHabib Umar Alhamid: Jokowi Sedang Menyebar ‘Ranjau’ dan ‘Bom Waktu’ untuk Republik Ini?
Next articleWarganet Pertanyakan Portofolio Proyek JIS di Situs Buro Happold, Sempat Hilang kini Muncul Lagi
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.