Home Berita Mentradisikan Pancasilaisme

Mentradisikan Pancasilaisme

Oleh: Yudhie Hartono

Jika kita punya keinginan yang kuat di dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu-membahu mewujudkannya. Rubahlah medan kuantum kita dengan kemurnian hati agar hasilkan keajaiban. Melompat, bukan berjalan biasa sebab kita tak mungkin mengejar mereka yang duluan dan licik. Demikian rangkuman kuliah kelas karakter konstitusi hari ke-2 yang disampaikan guru Kun Wardana Abyoto. Bocah ajaib yang kini berhidmat pada diskursus kuantum dan peradaban. Program langka ini diadakan Nusantara Centre bekerjasama dengan Foko dan Pusaka Indonesia, pada tiap hari Sabtu selama bulan Juni-Juli.

Dus, Kuliah Karakter Konstitusi (KKK) adalah tempat dan metoda penggemblengan kesadaran diri bagi manusia-manusia Pancasila. Bekerja serius mencetak kader-kader calon pemimpin Pancasilais yang kuat dan berkarakter pemenang.

Mengapa ini penting? Sebab berpuluh tahun kita merdeka, pemimpin nasional kita makin poco-poco. Maju untuk mundur. Itulah potret sekaligus tesis umum wargawaras terhadap kepemimpinan kita.

Kepemimpinan di tingkat apapun, mirip. Berbagai prestasi diperoleh, sepuluh kali lipat kemunduran diproduksi. Mengapa begitu dan apa solusinya?

Kepemimpinan yang mentradisikan gerakan poco-poco (tetuko: sing teko gak tuku, sing tuku gak teko) adalah karena mereka tak punya mental transformasional. Kita tahu bahwa kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang memotivasi dan menginspirasi rakyatnya. Mereka memimpin dengan mental visioner dan kharismatik. Hal ini karena kepemimpinan transformasional bertujuan untuk meningkatkan motivasi intrinsik rakyatnya agar bergerak terpadu, maju dan dominan.

Robbins dan Judge (2008) daya dan gaya kepemimpinan transformasional adalah mereka yang menginspirasi rakyatnya untuk menyampingkan kepentingan pribadi dan golongannya demi kebaikan bersama, dalam hal ini negaranya. Apabila pemimpin mampu menerapkan gaya kepemimpinan transformasional maka kinerja dan nasib rakyatnya dipastikan membaik. Mampu menemukan solusi, bukan menambah beban.

Mengapa mereka harus jadi pemberi solusi? Sebab, kehidupan kita sudah penuh problema. Dus, pemimpin transformasional adalah orang yang selalu jenius, kreatif dan berpikir-bertindak besar dengan mendukung rakyatnya untuk mengembangkan dan mengeluarkan seluruh potensi yang ada di diri masing-masing. Mereka sadar bahwa rakyatnya harus terlibat aktif bahu membahu gotong royong dalam mencapai visi misi bersama. Satu visi misi yang digariskan dalam konstitusi negaranya.

Singkatnya, secara definitif, kepemimpinan transformasional adalah sebentuk nilai, keyakinan, kebutuhan dan mentalitas kolektif yang termasuk di dalamnya berisi hasrat kuat perubahan sebagai bentuk terobosan baru demi cita-cita bersama. Pada pemimpin dengan gaya transformasional ini diyakini bisa mempengaruhi kinerja cipta, karsa, karya dan nasib secara keseluruhan.

Tetapi, di Indonesia ternyata mental transformatif saja tak cukup. Ia harus dilengkapi oleh mental nasionalistik dan konstitusional.

Apa itu? Adalah kepemimpinan inklusif jenius, yang membebaskan, memajukan, memuliakan keadilan dan persaudaraan demi tumpah darah daratan, air dan udara serta seluruh penghuninya.

Ini kumpulan mentalitas dan karakter yang harus dikurikulumkan kembali saat kita lupa dan berkubang dosa. Inilah jenis kepemimpinan yang lapang dan toleran serta memberi semangat jihad dalam seluruh ultima berwarga, bernegara, berbangsa, dan bersemesta.

Kita rasakan warga dan bangsa ini sudah lama melepaskan diri dari sumber energi yang lebih besar: dengan mengkhianati ketuhanannya, membunuh nuraninya, memanipulasi persatuannya, mencurangi kebijaksanaannya, menculasi keadilannya. Seringkali kita cenderung menjual murah, memanipulasi dan memaksa
sesama untuk tunduk dan patuh pada kejahiliyahan saja. Ketika berhasil menguasai orang lain dengan cara tersebut, kita merasa lebih kuat, hebat, bangga dan serakah.
Lahirlah perang berenergi fundamentalis yang sangat serakah.

Padahal, keserakahan adalah penyebab dari semua konflik antarmanusia; antar negara; antar bangsa dan antar peradaban. Maka, kepemimpinan nasionalistik yang konstitusional akan mengobati serta mencerahkannya jika diseduh dengan madu pikiran, ucapan dan tindakan kesahajaan.

Dengan mental dan tradisi kepemimpinan itu, negeri kita seharusnya berjalan tanpa korupsi, tanpa kolusi, tanpa nepotisme, tanpa kemiskinan, tanpa kesenjangan, tanpa penipuan, tanpa amoralisme, tanpa kebodohan, tanpa kesakitan, tanpa penjajahan, tanpa kerakusan dan tanpa
pengkhianatan.

Jika mentalitas tersebut menjadi tradisi yang hidup, praktis negeri kita menjadi mercusuar dunia. Rakyatnya bahagia, negerinya makmur,
semestanya diridaiNya, warisannya membanggakan dan suasana seperti
di syorga.

Inilah tanah syurgawi, tanah di mana jiwa raga kami baktikan, janjikan dan persembahkan serta wakafkan. Tanah, air, udara yang terus menjadi inspirasi dunia. Semoga.(*)

Previous articleTiga Dandim Sertijab, Danrem 162/WB: Jabatan Bukan Hadiah, Tapi Amanah
Next articleJerman Sebut Gelar Latihan Multinasional Terbesar Sejarah NATO
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.