Home Berita Mason Bisnis Degil di Republik

Mason Bisnis Degil di Republik

Yudhie Haryono

Presidium Forum Negarawan

 

Collateral itu bukan isu. Itu riil. Konfirmasi di Bank Sentral bisa dilihat. Entah mengapa mereka merilis data terbatas bahwa nilai SBN yang tidak dimanfaatkan terakumulasi menjadi 9.313T/2023. Dan, angka itu terus naik. Entah apa ujungnya. Yang jelas, kita mengalami krisis uang kartal kini.

 

Angka-angka itu dulu dipakai untuk menggaransi projek-projek besar. Lewat aliansi mason kapital dan pengusaha yang direstui penguasa tentunya.

 

Lahirlah 100 hotel terbaik, 100 mall terbesar, 100 media terkeren, 100 tower terlengkap, 100 tambang terkaya, puluhan KEK (kawasan ekonomi khusus), puluhan lahan pertanian dan perkebunan, puluhan bank dan ribuan rekening gendut. Yang sayangnya tak satupun milik pribumi.

 

Soal narasi koalisi mason kapital dan pengusaha, intelektual dan birokrasi memang riil. Dalam isu obor dan China, let see trilogi karya Joe Studwell yang dahsyat.

 

Jika teman-teman ingin tahu sepakterjang konglomerasi cina di dunia, karya ini kurekomendasikan. Berpengalaman sebagai reporter selama belasan tahun di kawasan Asia, Joe Studwell melukiskan secara detail potret diri dan lakon bisnis para godfather china: keberanian, kekejaman, kedermawanan, kelihaian, keculasan, kehidupan seksual, pergulatan membangun kongsi-korupsi-oligarki, serta komitmen dan pengkhianatan terhadap politisi, preman, juga triad dan sindikat.

 

Tiga buku karya riset Joe Studwell sangat eksploratif menjelaskan: ontologi, epistemologi dan aksiologi konglomerasi aseng di sekitar kita. Menarik untuk dibaca dan dicari sisi positifnya walau lebih banyak negatifnya.

 

Mungkin karena mereka punya pepatah, “hidup menutup (menipu) langit menyeberangi lautan.” Atau karena tak ada lagi yang haram di kolong langit ini sehingga mereka tidak tak terhentikan.

 

Ketiga karya yang dahsyat itu adalah: 1)The China Dream (2002, about the 1990s foreign investment gold rush in China); 2)Asian Godfathers (2007, about developmental failure in south-east Asia); 3)How Asia Works (2013, an explication of economic development across the east Asian region).

 

Dari riset strategis itu, anak bangsa kita kini potretnya ngeri dan nestapa. Mason lokal pribumi tak peduli. Puluhan juta anak bangsa pribumi Indonesia hari terseok-seok mencari nafkah di jalanan. Tak ada masa depan, apalagi perlindungan.

 

Sekitar 7 juta orang berprofesi sebagai ojol (ojek motor online). Sekitar 2 juta orang berprofesi sebagai supir taksi online. Sekitar 9 juta orang menjadi supir truk angkutan barang. Yang jadi supir angkot, jauh lebih besar. Tetapi, tetap paria.

 

Kendaraan yang mereka pakai, semuanya import. Jutaan anak bangsa pribumi, berkerja sebagai penjaga toko, kasier, satpam, tukang sapu/pel di mal-mal megah di seluruh penjuru tanah air. Mal-mal angkuh itu juga bukan milik bangsa mereka. Hampir semuanya milik Ko Aseng. Begitu juga media dan tower-tower di jalan-jalan utama.

 

Jutaan anak bangsa kita berkerja di perkebunan sawit, karet yang membentang berjuta-juta hektar di kepulauan Indonesia. Tapi perkebunan angkuh tersebut, bukan milik bapak, kakek dan buyut mereka, tapi milik Taipan.

 

Berjuta-juta anak bangsa kita bekerja di pertambangan batubara, nikel, emas dan sebagainya. Tapi itu juga bukan punya mereka. Segelintir anak bangsa kita, masih bekerja tinggal sawah dan ladang warisan leluhur mereka di pedesaan.

 

Itu pun semakin hari semakin menyempit karena “dibebaskan” oleh pengembang real estate, property, objek wisata yang lagi-lagi bukan milik keluarga atau kerabat mereka. Bahasanya manisnya: dibebaskan. Tapi maknanya dijarah! Begitu juga sumber-sumber mata air bening di pegunungan, juga sudah “dibebaskan”.

 

Hutan adat, hutan lindung, hutan-hutan yang dikeramatkan anak bangsa kita sejak dahulu kala, juga sudah dibebaskan. Yah. Dibebaskan untuk dijarah bangsa asing dan aseng!!

 

Negeri ini habis sudah dijarah bangsa aseng dan asing di jaman generasi kita. Generasi yang menumpas PKI, katanya. Generasi pelopor Reformasi, katanya. Tapi lihatlah, semuanya berujung petaka untuk anak-anak bangsa kita.

 

Tinggal satu kesempatan terakhir menyelamatkan anak bangsa kita, sebelum mereka semua menjadi budak dan robot tanpa asa.

 

Satu kesempatan terakhir sebelum kita semua pulang ke akherat. REVOLUSI NALAR. REVOLUSI MENTAL. REVOLUSI PANCASILA. Kini. Segera.(*)

Previous articleRR itu Rizal Ramli bukan Dia
Next articleDesak Tangkap dan Penjarakan Tonny Kasogi Terduga TPPU, Aliansi Mahasiswa Bakal Gelar Aksi Akbar ke KPK
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.