Home Berita Lagi, Tentang “Kambing Hitam” Bernama Jagung

Lagi, Tentang “Kambing Hitam” Bernama Jagung

Muhammad Mada Gandhi

Dulu diundang masuk, karena produksi jagung petani melimpah. Sejumlah corn driyer dan feedmill pun berdiri sepanjang jalan dari Dompu hingga Sumbawa Besar, NTB. Sekarang dituding bagian dari penyebab jagung tak terkendali merusak hutan dan banjir.

Mulanya adalah Program Pijar (Sapi, Jagung & Rumput laut) di masa kepemimpinan Tuan Guru Bajang – Badrul Munir (TGB-BM) 2008-2013. Lanjut program JALAPI (Jagung Lamtoro Sapi) 2017 dimaksudkan untuk menautkan jagung dengan program budidaya sapi. Tahun itu juga Pemda Sumbawa melakukan roadshow mencari investor.

Baca juga: Banjir Meluas, Budidaya Jagung Dituding Biang Kerok

Jagung jadi tanaman alternative yang tidak butuh banyak air ketika padi tidak bisa panen 2 hingga 3 kali setahun karena kekurangan air irigasi. Guna mengisi kekosongan 6-9 bulan petani “nganggur” jagung cukup membantu jadi sumber pemasukan.

Tahun 2007 pertama kali PT Seger masuk. Perusahaan corn driyer ini adalah trader yang suplai ke industri feedmill (industri pakan ternak). Cukup lama menjadi pemain utama. Membeli jagung petani dan dijual ke industri pakan. Peluang bisnis trader jagung nampaknya cukup menarik, hampir setiap tahun berdiri corn driyer di sentra penghasil jagung Dompu, Bima dan Sumbawa.

Persaingan industri besar dan trader jagung mulai berimbas pada harga jual. Petani menjerit. Poultry Industry (industri ayam broiler dan feedmil satu induk) memutus mata rantai membeli langsung dari petani dan sudah berdiri di Dompu. Akibatnya, trader “menjerit”.

Menurut selentingan inilah yang membuat trader kasak kusuk mengajak Pemda ekspor jagung justru di tengah kekurangan bahan pakan dalam negeri. Buru2 Badan Pangan Nasional (Bapanas) turun tangan dan menentukan harga jual petani. Suasana kembali “adem”.

Trader jagung semakin terjepit ketika poultry industry membangun corn driyer yang merupakan bagian unit bisnis mereka. Salah satunya di Sarading Kec. Moyo Hilir Kab. Sumbawa milik PT. Charoen Pokphand Poultry Industry tertua dan terbesar di Indonesia. Mereka sudah melakukan pembebasan lahan seluas 11 hektar. Pasar jagung tentu saja semakin besar. Akibatnya eforia tanam jagung pun semakin semarak, lahan2 yang dilindungi tidak luput dari tanaman jagung.

Di Parado Bima 9000 hektar lahan kemiri dibabat habis dan diganti tanaman semusim yakni jagung contohnya. Tahun2 berikutnya Banjir bandeng tak terelakkan melanda desa-desa di sekitar hutan kemiri Parado. Pemda Provinsi NTB langsung memobilisasi penanaman kembali, mulai dari kemiri hingga tanaman multi musim lainnya, lahan gundul itu kini mulai menghijau.

Baca juga: Anggota LSM Garuda Sumbawa Babak Belur di Hajar TNI, Ini Penjelasan TNI

Parado hanya salah satu contoh. Tercatat luas dari 1,508 juta ha kawasan hutan (konsevasi, lindung, dan hutan produksi) di NTB separuhnya sudah dalam kondisi kritis 501 ha, (data DisLHK Provinsi) disebabkan oleh illegal loging dan perambahan ilegal. Pertumbuhan hutan kritis bertambah setiap tahun. Bendungan cukup banyak mustinya mampu meng-cover sebagian besar lahan produktif tetapi volume air terbatas karena pendangkalan (sedimentasi).

Namun apa keuntungan pemerintah daerah dan petani atas, perang komoditas raksasa industri dan trader di P Sumbawa?
Syahrul Bosang seorang pelaku bisnis Poultry Industry putra Sumbawa yang telah puluhan tahun di bisnis ini serta konsultan tetap pakan dan ternak di sejumlah lembaga dan kementerian, mendesak pemda membuat tataniaga yang sehat.

Menurut Syahrul Sumbawa sangat mungkin menjadi sentra pemasok daging dan telur ayam untuk Indonesia bagian timur hingga Timor Leste dan Papua Nugini, dengan catatan mari kita susun tatakelola dan ekosistem bisnis yang baik sehingga menguntungkan semua.

Antara lain dengan membuat kontrak harga industri pakan untuk menghindari petani merugi karena permainan harga jagung pasca panen oleh Broker. Tentukan lokasi yang diperbolehkan. Semacam lahan inti. Tidak mengejar luas area tanam tetapi produktivitas per hektar harus ditingkatkan.

Baca juga: Asal Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia Dari China? 4 Teori Ini Membongkarnya

Memperjelas posisi petani mana menjadi supplier jagung kepada corn dryer sekaligus pendidikan tentang bertani jagung dan menjaga kelestarian alam, rantai pasok pun menjadi pendek dan ada kepastian terhadap harga saprodi dan harga panen. Bila perlu pihak industri ikut menyiapkan bibit dan lain2.

Perlu diketahui menurut Syahrul, Komposisi pakan ternak ayam 50-55% adalah jagung
Yang merupakan 65-70 % sebagai biaya total produksi berasal dari biaya pakan. Dengan mengkoneksikan peternak lokal ke Poultry Industry maka peternak rakyat tidak lagi memikirkan harga pakan dan kwalitas tetapi fokus kelola ternaknya supaya lebih menguntungkan. Selain itu dari harga kontrak juga masih ada peluang mendapatkan insentif dari industri berdasarkan performance yang dicapai. Hal ini tentu saja sangat tergantung dari PT Corn dryer yang menjadi tempat pentautan dan bagaimana Pemda mengatur hubungan saling menguntungkan ini.

Secara otomatis jika poultry industry dikembangkan di NTB maka daerah mendapat benefit berupa penyerapan tenaga kerja, pajak-pajak dan rentetan bisnis ikutan berkembang secara simultan. Peternak sapi mendapatkan bahan makanan dari batang dan daun jagung yang telah diolah sedemikian rupa.

Rasanya memang tidak elok menumpahkan segala kesalahan pada program jagung, petani, pada investor, apalagi menutup bisnis karena imagenya pasti tidak baik bagi iklim investasi. Keberadaan regulator menjadi sangat menentukan untuk mengatur agar menguntungkan semua. (Mada Gandhi)

Previous articleAnggota LSM Garuda Sumbawa Babak Belur di Hajar TNI, Ini Penjelasan TNI
Next articlePT. STM – Pemprov NTB Rintis Program D1 Pertambangan