Home Berita Kurikulum Darurat, Antara Harapan dan Tuntutan

Kurikulum Darurat, Antara Harapan dan Tuntutan

Munculnya wabah pandemi Covid-19 sudah memasuki bulan kelima di Indonesia, dampak dari pandemi ini kini mempengaruhi tidak hanya pada persoalan ekonomi saja, tapi sudah masuk ke berbagai sektor riil lain, yaitu sektor sosial, kesehatan hingga pendidikan.

Kegiatan belajar mengajar di seluruh Indonesia juga sudah hampir lima bulan dilaksanakan secara daring/online atau dilaksanakan dengan metode pembelajaran jarak jauh (PJJ). Metode ini tentu saja mendapat banyak respon dari masyarakat Indonesia di Sabang sampai Merauke. Salah satunya adalah kesulitannya satuan pendidikan dan guru pengajar untuk mengelola dan memfasilitasi kurikulum pendidikan di tengah pandemi yang membuat terjadinya batasan ruang gerak dalam pembelajaran bagi peserta didik.

Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Kementerian telah dikeluarkan dan direvisi sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan dan penyesuaian terhadap kemampuan guru, orang tua serta peserta didik (siswa), SKB tersebut mengeluarkan kebijakan mengizinkan pembelajaran tatap muka di daerah zona kuning dan hijau serta memfasilitasi satuan pendidikan dengan pemberlakuan kurikulum darurat.

Kurikulum darurat dapat dijalankan satuan pendidikan dalam kondisi khusus. Sekolah tidak hanya diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan apakah akan melakukan pembelajaran tatap muka tetapi juga dimudahkan dengan dapat memberlakukan kurikulum darurat.

Dalam kurikulum darurat, pemerintah melalui Kemendikbud juga memberikan fasilitas modul pembelajaran serta asesmen sebagai perangkat kurikulum darurat.

Melalui siaran pers Kemendikbud dengan nomor 719/P/2020 pada Jumat (07/08) tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Kurikulum darurat disebut menjadi alternatif penyederhanaan kompetensi dasar yang tetap mengacu pada Kurikulum 2013. Bedanya, kurikulum ini diberikan pengurangan kompetensi dasar dari seluruh mata pelajaran yang ada, sehingga kurikulum ini hanya fokus pada bagian kompetensi esensial dan prasyarat untuk menyiapkan persiapan pembelajaran ke tingkat selanjutnya.

Satuan pendidikan diberikan 3 alternatif oleh Kemendikbud yaitu tetap memberlakukan kurikulum 2013 yang sudah ada sebelumnya, atau dapat menggunakan kurikulum darurat serta alternatif terakhir dapat melakukan penyederhanaan kurikulum di satuan pendidikan secara mandiri. Kemendikbud menjelaskan alasan memberlakukan alternatif kurikulum darurat tersebut agar kompetensi setiap tingkat pendidikan tetap dapat dicapai dengan baik.

Dampak positif dari penyederhanaan kurikulum ini tidak hanya bagi guru, tetapi juga orang tua hingga siswa. Hal ini patut direspon positif dikarenakan kurikulum darurat tidak hanya menyederhanakan acuan pembelajaran yang kemudian dapat lebih terarah tetapi juga meringankan beban mengajar bagi guru sehingga guru dapat fokus pada proses belajar mengajar yang lebih kontekstual. Sementara bagi siswa dan orang tuanya, kurikulum darurat tidak hanya meringankan beban tuntutan pencapaian yang harus diselesaikan siswa tetapi juga mempermudah pendampingan dari orang tua saat pembelajaran di rumah dilakukan oleh siswa.

Sejak lima bulan terakhir, kondisi pembelajaran di Indonesia telah secara total telah dilaksanakan secara daring, yang artinya mau tidak mau harus memiliki perangkat untuk mengikutinya, sebut saja smartphone, laptop dan kuota atau jaringan internet. Permasalahan pun dimulai dari soal perangkat ini karena tidak semua kelompok masyarakat Indonesia memiliki atau mampu membeli perangkat tersebut, atas hal inilah pemerintah kemudian merelaksasi aturan khususnya di daerah 3T dan zona kuning serta zona hijau untuk dapat memilih melaksanakan PJJ atau pembelajaran langsung dengan tatap muka. Namun tidak sampai disitu, dilaksanakannya PJJ tentunya juga memiliki kendala soal pembelajaran yang dilakukan, yakni saat dilakukan secara daring pemahaman siswa berbeda dengan jika belajar secara langsung, ada kendala yang lebih besar untuk memahami materi pembelajaran. Untuk itulah, kurikulum darurat ini menjadi oase segar di tengah permasalahan ini. Baik itu PJJ atau tatap muka sebaiknya mempertimbangkan memberlakukan kurikulum darurat karena akan lebih terjurus dan kontekstual.

Dilihat dari historis tentang kurikulum pendidikan nasional Indonesia ternyata telah dilakukan 11 kali pergantian terhadap kurikulum nasional, dimana yang terakhir adalah kurikulum 2013. Sehingga, sebenarnya persoalan kurikulum ini adalah persoalan yang cukup dinamis karena kurikulum dapat berubah secara fleksibel mengikuti perkembangan jaman. Sehingga di tengah pandemi seperti saat ini kita dituntut harus turut dinamis. Kurikulum pembelajaran diseleksi untuk mengambil mana yang paling lenting harus dipahami. Kurikulum darurat diharapkan mampu menjadi solusi ditengah permasalahan pembelajaran siswa akibat pandemi Covid-19.

Sekolah harus mampu menentukan kebutuhan yang tepat bagi pembelajaran siswa sehingga terciptanya kemudahan serta alternatif dalam proses belajar mengajar di tengah pandemi, jangan sampai kurikulum dipangkas tetapi malah tidak tuntas.

Yang perlu kita kawal adalah tetap terjaganya tujuan dan cita-cita bangsa yang diharapkan tetap mampu memberikan akses sebesar-besarnya terhadap ilmu pengetahuan untuk membentuk generasi emas sebagai penerus bangsa. Karena untuk menghasilkan generasi emas tidak hanya soal kurikulum yang bagus namun juga diperlukan peran negara sebagai fasilitator dan penyokong akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi semua peserta didik di seluruh nusantara.

Amilan Hatta
Direktur Eksekutif Lembaga Analisis dan Kajian Kebudayaan Daerah (LINKKAR)

Previous articleSatgas Yonif 413 Bremoro Gelar Wisata Juang Kepada Siswa PAUD Papua
Next articlePerkembangan Penanganan Insiden Tertembaknya Pendeta di Distrik Hitadipa Kab. Intan Jaya