Home Berita Kultur Korupsi yang Adil dan Merata

Kultur Korupsi yang Adil dan Merata

Yudhie Haryono

Presidium Forum Negarawan

Anda ingin kaya, korupsilah. Ini nasehat yang tumbuh dan bisa dijumpai di mana-mana. Awalnya hanya candaan. Kini jadi kultur dan agama. Bahkan sejak mula pikiran kotor, banyak warga negara bercita-cita jadi koruptor. Menyedihkan, tapi kenyataan.

 

KKN telah jadi musuh bersama sejak reformasi 98; ia juga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime; ia kegiatan yang sangat destruktif dan merusak; ia diharamkan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan status tersebut, negara-negara memperlakukan korupsi dan koruptor dengan sangat serius karena dianggap sangat berbahaya bagi negara, bagi bangsa dan bagi manusia plus lingkungannya.

Ada banyak faktor penyebab korupsi. Minimal ada lima. Pertama karena keserakahan (greedy); kedua karena kesempatan (opportunity); ketiga karena kebutuhan (needs), keempat karena lingkungan (environment); kelima karena ingin menguasai kekuasaan ekonomi-politik (neoliberalism).

Lima faktor di atas makin merajalela karena kita kekurangan teladan kepemimpin anti KKN; tidak tumbuhnya kultur bernegara yang benar; tidak hadirnya sistem akuntabilitas di instansi pemerintahan; tidak tertradisinya transparasi manajemen bernegara; begitu lemahnya pengawasan; bobroknya lembaga hukum.

Akibatnya, indeks persepsi korupsi (CPI) negeri kita pada tahun 2022 menunjukkan prestasi stagnan (buruk sekali). Mengapa? Karena CPI Indonesia tahun 2022 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 4 poin dari tahun 2021, atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995 menurut Wawan Suyatmiko, Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia.

Sebagai negara pancasila yang mengaku bertuhan dan berkemanusiaan, ternyata itu hanya gombalan. Sebab, data di atas membuktikan bahwa strategi dan program pemberantasan KKN tidak efektif, kurang berhasil dan sia-sia saja. Padahal kita punya KPK dan dimodali kapital besar dari APBN.

Sayangnya, banyak koruptor dan kleptokrat kita hingga saat ini masih menikmati impunitas dan privilege (hak istimewa perlindungan), di mana otoritas lembaga hukum yang memiliki fungsi untuk membekukan dan menyita aset ilegal masih belum maksimal menjalankan fungsinya.

Tentu saja ini tantangan yang tidak mudah. Kita perlu tiga tindakan besar agar KKN tidak jadi kultur dan agama baru di Indonesia. Pertama dengan penindakan dramatik revolusioner. Hukum mati semua koruptor dan sita seluruh asetnya serta miskinkan keluarga dan kolega korupsinya.

Kedua dengan tindakan pencegahan luarbiasa: terstruktur, sistematis dan masif. Kita wajib ada perbaikan sistem bernegara sehingga mampu mencegah terjadinya tindak pidana KKN. Dus, pelayanan publik wajib dibuat transparan, penataan layanan publik wajib cepat, tepat, pener dan efesien.

Ketiga dengan kurikulum pendidikan berkesinambungan. Ini wajib digalakkan dengan kampanye dan edukasi yang bertujuan untuk menyamakan pemahaman masyarakat terkait tindakan KKN dan memeranginya bersama. Pendidikan ini sebagai pencetak mental ksatria yang patriotik, antitesa dari mental serakah yang tamak.

Ya. Mental serakah adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat serakah, seseorang menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak dan jabatannya sudah tinggi.

Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan korupsi sebagai jalan pintas yang menjijikkan.

Singkatnya, tanpa tindaka besar seperti di atas, ditambah kultur dan mental serakah bin tamak maka kita tak akan mampu menghabisi KKN. Membiarkan KKN subur dan jadi kultur sesungguhnya kita sedang bunuh diri masal, ingkar Tuhan, anti semesta.(*)

Previous articleKepala Bakamla RI Hadiri Upacara HUT ke-78 TNI
Next articleMengapa Kurikulum Samudra Tidak Ada Dalam Kurikulum Kita
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.