
Bali, Sumbawanews.com-Para pemulung di Bali mengungkapkan keresahannya begitu mendengar adanya kebijakan Gubernur Bali I Wayan Koster yang melarang produk-produk kemasan plastik sekali pakai, utamanya kemasan air mineral ukuran di bawah satu liter. Mereka meminta agar Pemprov Bali juga memperhatikan kelangsungan pekerjaan para pemulung yang sangat tergantung pada kemasan tersebut.
Bapak Hendro misalnya, sangat sedih begitu diberitahu bahwa Gubernur Koster akan melarang penggunaan plastik sekali pakai yang di antaranya gelas dan botol air minum kemasan plastik sekali pakai yang menjadi sumber penghasilannya setiap hari. Ditemui di Pantai Legian Bali, pria yang berprofesi sebagai pemulung ini mengakui bingung dengan kebijakan seperti itu.
“Saya kan hidup dari mengumpulkan botol-botol plastik ini. Kalau botol-botol itu dilarang, keluarga saya mau makan dari mana. Apa pemerintah mau menanggungnya? Saya tidak habis pikir dengan kebijakan seperti itu,” ujarnya.
Dia menuturkan bahwa dengan tidak ada peraturan pelarangan itu saja sudah sulit untuk mencari botol dan gelas air minum di Pantai Laguna ini karena banyaknya para pemulung yang memungutnya. “Sekarang saja susah dapat botolnya karena yang mulung juga banyak,” tuturnya.
Dari pekerjaannya sebagai pemulung di Pantai Legian Bali, Hendro mengaku mendapatkan penghasilan sekitar Rp 40-50 ribu perhari. “Saya hanya dapat 40 sampai 50 ribu saja sehari. Uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya dan keluarga. Jadi, kalau dilarang-larang seperti itu, bagaimana nanti dengan hidup keluarga saya?” katanya dengan nada sedih.
Hal senada juga disampaikan pemulung lainnya bernama Nagula yang setiap hari memungut sampah botol-botol dan gelas plastik di sekitaran jalan-jalan yang ada di Legian. “Sampah-sampah ini kan diperlukan pemulung untuk cari uang. Kalau dilarang kan kami malah sulit untuk cari uangnya. Terus keluarga kami mau makan apa,” ucapnya.
Sofian, yang sudah 5 tahun menjadi pengepul sampah botol-botol dan gelas plastik di Pasar Badung, Denpasar, Bali, juga mengeluhkan hal yang sama. “Penghasilan saya kan dari sini buat makan saya dan anak. Kalau dilarang menggunakan botol dan gelas plastik itu, kami mau makan apa? Apa Pemprov Bali mau kasih makan kita. Apalagi saya masih ngontrak,” tukasnya.
Ditemui di tempat yang sama, pemulung bernama Ibu Atmi juga mengatakan kebingungan dengan nasib keluarganya jika ada pelarangan seperti itu. “Saya sedih mendengar berita ini. Bagaimana buat makan saya dan sekolah anak saya. Apalagi suami nggak kerja karena sakit saraf kejepit,” tutur ibu yang hanya bisa menghasilkan uang sebanyak Rp 50 ribu perhari dari hasil kerjanya sebagai pemulung.
Pemulung lainnya, Kasih, juga memperlihatkan kekhawatiran akan masa depan keluarganya saat mendengar adanya pelarangan terhadap penggunaan botol-botol dan gelas plastik sekali pakai. “Kalau dilarang saya nggak tahu lagi mau bagaimana. Bingung saya, anak saya mau makan apa nanti. Apalagi saya sudah tidak punya suami lagi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Prispolly Lengkong , memastikan Surat Edaran Gubernur Bali, Wayan Koster, yang melarang produsen untuk memproduksi air minum dalam kemasan di bawah satu liter itu pasti akan berdampak terhadap perekonomian para pemulung yang ada di Bali. Dia memperkirakan penghasilan mereka diperkirakan akan anjlok hingga 50 persen dengan adanya pelarangan itu.
Menurutnya, botol-botol air minum kemasan berukuran di bawah satu liter itu merupakan andalan penghasilan bagi keluarga para pemulung karena harganya yang lumayan tinggi. “Apalagi, saat ini pet galon harganya lagi turun dan para pabrikan tidak mau tercampur pet botol dan pet galon,” ujarnya.
Dia mengatakan Pemprov Bali seharusnya tidak boleh seenaknya membuat surat edaran pelarangan seperti itu. Karena, menurutnya, ada kehidupan masyarakat minoritas atau masyarakat miskin yang mata pencahariannya ada di situ. “Jadi kami berharap Pemprov Bali mengkaji ulang surat edaran tersebut,” tukasnya. (red)