Home Berita Ketidaknetralan Presiden: Jalan ke Pemakzulan

Ketidaknetralan Presiden: Jalan ke Pemakzulan

Radhar Tribaskoro

Oleh: Radhar Tribaskoro
Anggota Komite Eksekutif KAMI

Pada tanggal 21 Mei 2023, BEM UI (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) merilis sebuah kajian yang mengambil judul “Jokowi Milik Partai Politik, Bukan Milik Rakyat”. Dalam kajian itu BEM UI menyimpulkan bahwa Presiden Widodo telah bersikap tidak netral dalam pilpres saat ini. Simpulan itu diambil berdasar sikap, tindak dan perilaku Presiden yang mempergunakan fasilitas dan pengaruhnya sebagai Presiden untuk mempengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan tentang calon-calon presiden dan wakil presiden.

Ketidaknetralan Presiden itu mendiskriminasi bacapres Anies Baswedan dan partai-partai pengusungnya yaitu Partai Nasdem, Demokrat dan PKS. Dalam sebuah wawancara TV Sudirman Said, salah satu pendukung Anies Baswedan, menyatakan bahwa telah terjadi upaya-upaya penjegalan terhadap pencapresan Anies. Said mengatakan bahwa ada seorang menteri yang dalam banyak kesempatan menyatakan keinginannya agar Anies gagal mencapres.

Baca juga: MK Merobohkan Norma Konstitusi, Putusan Perpanjangan Masa Jabatan KPK Telah Merampok Kewenangan DPR RI Sebagai Lembaga Legislatif

Pada kesempatan lain Surya Paloh, Ketum Partai Nasdem menyampaikan hal yang sama. Ia merasakan adanya upaya penjegalan itu, walau ia tidak mau menyebutkan pelakunya.

Argumentasi Istana

Atas kritik BEM UI di atas istana menyampaikan 3 bantahan. Pertama, pilpres belum dimulai sehingga tidak dapat dikatakan bahwa presiden tidak netral dalam pemilu. Kedua, pemilu adalah masalah bangsa dan siapapun boleh membahasnya di istana yang notabene adalah rumah rakyat. Dan ketiga, Presiden Widodo mengatakan bahwa bila ia tidak melibatkan Anies dan partai-partai pengusungnya adalah lantaran mereka telah menyatakan ingin melakukan perubahan. Padahal Presiden Widodo ingin mempertahankan warisannya (legacy), oleh karena itu ia terdorong untuk mengendorse bacapres yang ingin melanjutkan legacynya itu.

Baca juga: Jokowi Penggil Prabowo Ke Istana, Pengamat: Ingin Singkirkan Anies

Dua alasan pertama bisa dibilang trivial alias remeh-temeh karena tidak menyentuh substansi. Netralitas bukan soal waktu, hari ini netral besok boleh tidak netral. Netralitas juga bukan soal tempat. Tidak cuma di istana, dimana saja orang boleh membicarakan politik. Tapi rakyat berharap istana dipergunakan untuk membincangkan kebijakan yang mempersatukan, yang melibatkan kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk pendukung pemerintah saja.

Baca juga: Bermasalah sejak 2020, Mahfud Md Jelaskan Detail Korupsi Proyek BTS Bakti Kominfo kepada Jokowi

Legacy Presiden

Lantas, apa yang disebut presidential legacy? Apakah Gelora Bung Karno dapat disebut Soekarno’s legacy? Monas? Apakah pembangunan adalah legacy Soeharto? Apa itu legacy Gus Dur, Megawati dan SBY?

Legacy seorang penguasa adalah warisan yang tak lekang dimakan zaman. Legacy bisa bermakna karya dan penemuan besar, pencapaian luar biasa. Sumpah palapa dan penyatuan Nusantara misalnya, memberi Gajah Mada sebuah legacy. Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, dll menjadi tokoh sejarah yang perjuangannya melawan kolonialisme menjadi inspirasi anak bangsa sampai sekarang. Kemudian kemerdekaan dari kolonialisme Belanda tidak dapat dipisahkan dari Soekarno dan Hatta. Nasution dan TNI memiliki legacy dari peran mereka dalam mempertahankan negara.

baca juga: Aktivis Ahmad Khozinudin : Menteri Nadiem Lakukan Kudeta Rektor Terplih UNS, Ijazah Mahasiswa Bermasalah

Lalu, apa legacy Widodo? Jokowi ingin dikenang telah membangun infrastruktur, membangun industri terintegrasi (hilirisasi) dan Ibu Kota Negara baru Nusantara (IKN). Lepas dari bangunan fisik yang telah berdiri, orang banyak tahu bahwa semua itu menimbulkan beban hutang yang berat, mangkrak karena tidak didasarkan kepada studi kelayakan yang benar, dan penindasan karena bermaksud menegakkan kedaulatan oligarki.

Ada dua sisi dalam setiap koin. Apakah seorang penguasa akan dikenang sebagai pahlawan atau penjahat tidak bisa ditentukan oleh dirinya sendiri, penilaian itu merupakan resultante dari akumulasi semua respon yang akan terus berubah di sepanjang sejarah.

baca juga: Ketidakabsahan Perpanjangan Rektor UNS, Mahasiswa Yohanes: Wisudawan Tidak Sah, Kedepan Bermasalah

Maka menurut hemat saya, upaya Presiden Widodo untuk mengatur siapa yang meneruskan kekuasaannya agar dapat melanjutkan legacynya, adalah naif. Presiden baru tentu ingin membangun legacynya sendiri. Presiden baru pasti tidak mau melibatkan diri dalam suatu wacana yang ia tahu sangat problematik.

Lain daripada itu, Presiden Widodo tidak perlu khawatir. Semua legacynya yang baik pasti akan dilanjutkan oleh penerusnya. Apalagi bila legacy itu sudah mendapat legitimasi negara, atau telah menempuh prosedur ketata-negaraan yang selayaknya. Meneruskan kebijaksanaan pendahulu yang telah berhasil dengan baik adalah kewajiban kenegaraan bagi para penerus.

Baca juga: Ditugaskan ke Jakarta Malah Wakil Bupati Rohil dan Kabid Dispenda Digrebek Saat Ngamar di Pekanbaru

Presiden Widodo justru akan memperoleh legacy yang sangat buruk bila terus beroperasi memoles, mendorong dan memaksakan capres yang dikehendakinya. Karena jelas, tindakan-tindakan seperti itu membuatnya semakin tidak netral. Ia akan dituduh merusak pemilu dan menghancurkan demokrasi. Ketidak-netralan itu bisa menjadi jalan untuk memakzulkan dirinya.**

Previous articleJokowi Penggil Prabowo Ke Istana, Pengamat: Ingin Singkirkan Anies
Next articlePutusan MK, Pimpinan KPK, dan Pusaran Rekayasa Pilpres 2024
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.