Home Berita Keharusan Menghadirkan MPR Seperti Dalam Konstitusi Asli

Keharusan Menghadirkan MPR Seperti Dalam Konstitusi Asli

Riskal Arief, S.Sos

Periset Nusantara Centre

Istilah “Mandataris MPR” saat ini mungkin terasa asing di telinga sebagian dari kita. Terlebih generasi milenia yang lahir dan tumbuh besar pasca Reformasi ’98. Padahal, istilah keramat nan sarat dengan makna kekuasaan ini merujuk kepada suatu jabatan yang memiliki peran paling penting bagi terwujudnya cita-cita bangsa dan negara, yaitu Presiden Republik Indonesia.

 

Ya, Presiden RI saat dipilih oleh MPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat, adalah sebagai mandataris MPR, yaitu orang atau pihak yang diserahi mandat, amanat, kepercayaan, dan tanggung jawab atas jalannya pemerintahan dalam melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan-ketetapan MPR.

 

MPR meminta pertanggungjawaban dari Presiden/Mandataris mengenai pelaksanaan GBHN dan menilai pertanggungjawaban tersebut, sehingga MPR berhak untuk mengangkat dan memberhentikan Presiden. Dalam istilah tata negara, sistem pemerintahan seperti ini disebut quasi presidensial.

 

Namun, sejak reformasi ’98, sistem ini ikut direformasi dan ditinggalkan. Sejak terjadinya Amandemen UUD 1945, kita berada di era sistem pemerintahan Presidensial di mana Presiden menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus, dan diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dengan cara pemilihan langsung.

 

Tentu saja ada plus dan minus dari masing-masing sistem pemerintahan tersebut dan tulisan ini bukan untuk membahas itu. Tulisan ini merupakan vibrasi dari paparan dari Prof. Yudhie Haryono, Ph.D – Direktur Eksekutif Nusantara Centre – dalam kuliah Kelas Karakter Konstitusi ke-4 pada Sabtu, 24 Juni 2023 lalu dengan tema Persatuan Indonesia, sekaligus menemukan benang merahnya dengan konsep pemerintahan negara kita.

 

****

 

Menurut Yudhie, Sila ke-3 Pancasila yaitu Persatuan Indonesia, merupakan backbone atau tulang punggung dari apa yang disebut sebagai persatuan sebuah bangsa dan negara bernama Indonesia. Tanpa adanya persatuan, maka tidak ada Indonesia.

 

Yudhie mengibaratkan Sila ke-3 Pancasila ini sebagai pemain bola yang bermain pada posisi “Back/bek”. Ibarat Anwar Ujang, Robby Darwis, ataupun Herry Kiswanto – bek legendaris Indonesia – dalam sebuah pertandingan Timnas, maka mereka itulah benteng pertahanan yang krusial, sebelum permainan bola mencapai kotak penalti dan berhadapan langsung dengan penjaga gawang.

 

Tanpa bek, tentu saja penjaga gawang akan kelimpungan menghadapai serangan lawan, bahkan besar kemungkinan terjadi gol-gol yang banyak di gawang Indonesia. Jika Persatuan Indonesia ini tidak terwujud, maka dapat dipastikan jika suatu saat terjadi serangan-serangan dari pihak-pihak yang mengganggu kedaulatan NKRI, Indonesia akan mudah ‘kebobolan’.

 

Lebih jauh, Yudhie menjelaskan kesamaan Persatuan Indonesia dengan konsep persaudaraan antar umat Islam sesuai hadist Nabi Muhammad SAW, yaitu “Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.”(HR Bukhari dan Muslim).

 

Jika saudara-saudara kita di Papua, Aceh, dan pelosok negeri lainnya menderita, maka kita yang berada di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota lainnya juga ikut merasakan penderitaan tersebut. Sebaliknya, jika kita sedang berbahagia, maka rasa kebahagiaan itu harus juga dirasakan oleh mereka yang di daerah-daerah. Inilah hakikat dari Persatuan Indonesia.

 

Dalam konsepsi Bung Karno, Persatuan Indonesia itu adalah Holopis Kuntul Baris atau Gotong Royong, atau Saiyeg Saeka Praya yang artinya seiya sekata. Dalam sebuah pidatonya, Bung Karno mengatakan: “”Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Dari semua untuk semua”.

 

Jadi jelas sekali, dalam konsepsi dasar Pancasila versi Bung Karno, tidak ada warga negara-bangsa ini yang akan tertinggal dalam segala aspek kehidupannya. Semua memiliki hak dan tanggung jawab yang sama.

 

Saking pentingnya nilai persatuan ini, Bung Karno sampai meminta Ki Wasitodiningrat atau Wasi Jolodoro, seorang empu (maestro) karawitan, untuk membuat Lancaran (lagu berbahasa Jawa) yang terkenal yang memuat lirik “holopis kuntul baris.” Mari kita simak lirik dan lagu berikut:

 

Ayo kanca ayo kanca ngayahi karyaning praja

Kono-kene kono-kene gugur gunung tandang gawe

Sayuk sayuk rukun bebarengan ro kancane

Lila lan legawa kanggo mulyaning negara

Siji loro telu papat bareng maju papat-papat

Diulang-ulungake mesthi enggal rampunge

Holopis kuntul baris holopis kuntul baris

Holopis kuntul baris holopis kuntul baris

 

 

Lirik lagu tersebut sarat makna akan persatuan dan semangat kebersamaan dalam mewujudkan cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa dalam satu negara. Inilah yang dicita-citakan oleh para Founding Fathers, dan inilah yang seharusnya kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Saling gotong royong dan seiya sekata dalam mewujudkan cita-cita bersama.

 

****

 

Lalu bagaimana peran MPR dalam hal ini? MPR pra-amandemen UUD 1945 adalah MPR yang dibentuk dengan pemaknaan yang mendalam akan arti Persatuan Indonesia. Sebagai sebuah negara yang dihuni berbagai macam suku bangsa, ras, dan agama, maka Indonesia harus memiliki sebuah wadah yang inklusif dalam struktur politiknya.

 

Keanekaragaman suku bangsa Indonesia ini mengharuskan adanya pendekatan khusus dalam membentuk struktur politik. Yudhie menyebutnya dengan Hybrid System, yaitu struktur politik yang merupakan pengejawantahan dari seluruh elemen kebangsaan yang kemudian menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat.

 

Sebelum UUD 1945 diamandemen, anggota MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan utusan golongan. Komposisi MPR yang demikian itu menurut Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 dimaksudkan supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam majelis, sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat. (Widayati, 2015:198).

 

Dalam struktur politik Indonesia saat itu, MPR ibarat komisaris sebuah perusahaan. Di mana dia memiliki kekuasaan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan Presiden sebagai mandatarisnya. Sebagai mandataris MPR, maka tugas dan kewajiban Presiden adalah melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara. Inilah yang menjadi poros pembangunan nasional. Inilah yang harus dilaksanan dengan sebaik-baiknya oleh Presiden, bukan janji-janji kampanye.

 

Namun sekarang, dengan masuknya paham demokrasi liberal yang menitikberatkan kepada faktor kapital, maka posisi MPR saat ini telah dikebiri hingga menjadi sama dengan lembaga tinggi negara lainnya. Ditambah lagi dengan sistem pemilu langsung, maka Presiden dipilih berdasarkan faktor elektabilitas semata. Semakin populer berarti semakin layak pilih.

 

Padahal kita tahu bahwa popularitas meniscayakan pergerakan kapital di belakangnya. Semakin banyak kapital yang dimiliki, semakin populer seorang calon presiden, maka semakin besar peluangnya untuk menang. Tidak ada perang gagasan di sini. Hanya kapital yang menentukan.

 

Yudhie menyebut ini sebagai gejala dari datangnya masa degeneratif kepemimpinan di negeri kita. Seorang Presiden hanya menjalankan janji-janji kampanyenya (karena tidak ada GBHN). Itupun terbata-bata. Ini adalah cacat bawaan sistem presidensial yang sekarang berlaku, yaitu cacat kelamin (memperhatikan yang sama kelaminnya), cacat teritorial (memperhatikan yang sama asal daerahnya), cacat suku (memperhatikan yang sama sukunya), cacat agama (memperhatikan yang sama agamanya).

 

Jika janjinya adalah pembangunan infrastruktur, maka itulah yang dijalankan. Jika terjadi kasus pelarangan ibadah suatu umat beragama yang tercatat dalam undang-undang, dan itu tidak ada dalam janji kampanye, maka sulit sekali membayangkan kasus tersebut terselesaikan dengan cepat.

 

Bisa kita lihat kasus Syiah Sampang harus menunggu 10 tahun hingga selesai. Gereja Yasmin di Bogor butuh waktu 15 tahun sebelum akhirnya diresmikan. Kasus yang tergolong baru adalah konflik agraria di Wadas, Jawa Tengah yang masih bergulir sejak 2018. Bahkan gerakan separatisme di Papua hanya dianggap sebagai gangguan keamanan belaka.

 

Padahal latar belakang masalah dari kasus-kasus di atas adalah jelas ancaman terhadap persatuan kita. Kasus-kasus seperti ini sudah seharusnya ditangani dengan cepat dan tepat, namun negara malah sering absen.

 

Tentu saja mencapai sebuah keadaan yang ideal adalah hal yang sangat tidak mudah. Namun itu bisa dicapai jika kita memulainya dengan melangkah arah yang benar. Kita perlu menyadari pentingnya untuk mengembalikan MPR seperti dalam konstitusi yang asli. Jika kompas cita-cita bangsa yang merindukan persatuan, kesejahteraan, dan kemakmuran berada di garis lurus Khatulistiwa, lalu mengapa kita justru mengarah ke Antartika?

 

Holopis kuntul baris holopis kuntul baris

Holopis kuntul baris holopis kuntul baris(*)

Previous articleRantis Lapis Baja Hingga Motor Kawal TNI Siap Amankan KTT World Water Forum Bali
Next articleDian Sandi: Poros Tengah Undur Diri dan Bubar
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.