Home Berita Kastil dan Kuburan Cinta

Kastil dan Kuburan Cinta

 

Yudhie Haryono

CEO Nusantara Centre

 

Ngungun. Aku teronggok pilu di kastil tua yang hampir roboh. Lereng gunung salak. Membawa 2 novel untuk menemani, tetapi bahkan jendelapun tak lagi bisa dibuka, atap rumbianya terkelupas diterjang tua. Mirip tubuh ringkihku. Jiwa yang mati karena tak berharap lagi apapun dari dunia. Jika bertemu kawan, aku berseru: selamat tinggal. Doaku ini hari terakhir bertemu.

 

Di kuburan itu, aku membaca novel “Bedebah Di Ujung Tanduk” serta novel “Tanah Para Bandit.” Tidak seperti peziarah pada umumnya yang membaca kitab-kitab purba yang mereka sucikan tanpa argumentasi jelas dan masuk akal. Tetapi, kekasihku memang telah lama mati. Ditelan bencana tak terperi. Ngungun aku menyusulnya, tapi belum sampai juga. Entah bagaimana biar cepat bertemu.

 

Kata Tere Liye (2023), penulis 2 novel ini, “Di negeri para bedebah, pencuri dan perampok bagai musang berbulu domba. Di depan, wajah mereka tersenyum penuh pencitraan, tetapi di belakang penuh tipu-tipu. Di Negeri Ujung Tanduk, pencuri dan perampok berkeliaran menjadi penegak hukum. Di depan, di belakang, mereka tidak malu-malu lagi: gotong nyolong.

 

Di Tanah Para Bandit, walau semuanya amoral tetap ada yang bisa dipelajari, yaitu perkawanan sejati dan kehormatan. Ada saja, setidaknya dalam situasi apa pun, petarung sejati (saat perang dan bertempur) akan terus memilih kehormatan hidupnya, bahkan ketika nasib di ujung tanduk. Dia akan terus bertarung habis-habisan bersama sahabat sejati. Sehidup semati. Berkalang tanah.

 

Mungkin karena esok, matahari akan terbit sekali lagi bersama harapan. Sebab, tak ada lagi yang bisa mengikat kesetiaan mereka kecuali harapan. Dari harapan itulah, timbul dorongan, usaha, kerja plus doa. Kalian tahu? Doa, harapan dan kerja itulah trisula maut milik manusia yang tersisa, walau mereka para penjahat sekalipun. Tetapi, doa siapakah yang akan dikabul semesta? Entahlah.

 

Mungkin doa-doa itu hanya terdengar. Sebab, para elite kita, terutama oligarki dan pendukung buta itu: Tak buta dua matanya, namun tidak melihat nasib kaum kere. Tak tuli dua telinganya, namun tidak mendengar jerit kaum miskin, para pengemis, gelandangan dan yang dikalahkan para bandit di kekuasaan. Jeritan yang kalah kini lebih pilu dari lolongan anjing di tengah malam.

 

Yang buta, ternyata buta mata hatinya. Yang tuli, ternyata tuli jiwa hatinya. Jual ayat, jual negara dan jual kemiskinan, jual kesusahan rakyat itu kini mereka kerjanya. Karenanya ini zaman, kata sebuah kitab purba adalah keadaan ṣummum, bukmun, ‘umyun. Zaman di mana orang-orang itu tuli, bisu dan buta dari kebenaran hakiki. Zaman di mana orang budek dan bisu dari keadilan sungguhan.

 

Kita, kata Tere Liye (2023: 63), “dalam keadaan berkubang hipokrasi setiap hari.” Tipsani: tipu sana, tipu sini. Inilah efek samping Sarimin dalam kehidupan kita. Hilir pasar liberal. Ujung dari madzab neoliberal. Produk keserakahan yang tak ada ujungnya. Akibat melik nggendong lali. Menyembah harta. Menyetubuhi uang. Menumpuk-numpuk kapital. Menyucikan harta benda haram.

 

Satu-satunya yang tersisa dari kehebatan pasar liberal adalah mengadakan “lowongan pekerjaan” tukang fitnah. Entah di timses, buser, fundamentalis pemilih, konglobusuk, politisi, agamawan, gubes, jendral maupun pensiunan, dll. Ini sesungguhnya episode bencana nasional yang makin tak disadari oleh warganegara. Sebuah bencana yang akan mengakhiri nasib bangsa.

 

Padahal, sudah sering disampaikan bahwa peristiwa dan problema kita tidak cukup pas (tepat) dilihat dengan metoda tetangga (impor). Yang repot, alih-alih melihat metoda sendiri, para ilmuwan sibuk mengganti metoda orang lain dengan metoda milik orang lain lagi. Lalu, kalau salah lagi, yang diolok-olok dan disalahkan adalah objeknya karena tidak sesuai hasilnya dengan metoda kacamata kudanya.

 

Sungguh! Merdeka dari metoda tetangga (impir) itu jauh lebih rumit dari cetak ijazah 10 kampus besar di republik. So, sistem dan metoda sendiri harus ditemukan kembali dan dikembangkan dalam usaha memenuhi janji kemerdekaan. Jika tidak, ya begini ini negara kita: negara tidak-tidak. Mengenaskan.

 

Kawan. Ada keadaan yang terasa hampa bin paria jika hal-hal yang ditulis Tere Liye tak ditemukan obatnya. Terutama saat semesta semakin menua. Sebab, akan ada jiwa yang terasa berbeda. Terutama saat cinta kalian tertahan di antara mega. Ya. Tentu saja hujan dan badai terus berada. Sebab itu anugerah hidayah berkala.

 

Karena itu kini, aku terus merindukan kalian di kelas-kelas berkelas dan jenius demi sebongkah harapan pencerahan serta kejayaan Indonesia. Tetapi ingat, “dalam banyak pertarungan penting, kadangkala bersabar adalah pertarungan terbesarnya.”(*).

Previous articleKepala Bakamla RI Hadiri Entry Meeting Dengan BPK RI
Next articleDua Bamasis Poltekad Kodiklatad Menorehkan Prestasi di Kompetisi Internasional
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.