Jakarta, Sumbawanews.com.- Pernyataan Presiden Jokowi yang meremehkan SD Inpres yang digagas dimasa Soeharto mendapat kecaman dari warganet karena di nilai buta sejarah.
“Ngelus dada gue, level kepala negara tapi tdk paham sejarah bangsanya sendiri. SD Inpres program melegenda, success story bangsa Indonesia yang adopsi bangsa lain dan diapresiasi UNESCO. Katanya kepemimpinan ibarat tongkat estafet tapi meremehkan legacy pendahulunya! Ampyun dah!,” cuit akun King Purwa @BosPurwa seraya melampirkan potongan video pidato Jokowi, dikutip Sumbawanews.com, Jumat (16/6/2023).
Baca juga: Denny Indrayana: Jokowi Belum Izinkan KPK Tersangkakan Pimpinan Parpol Kasus Kardus
Ngelus dada gue, level kepala negara tapi tdk paham sejarah bangsanya sendiri. SD Inpres program melegenda, success story bangsa Indonesia yang adopsi bangsa lain dan diapresiasi UNESCO
Katanya kepemimpinan ibarat tongkat estafet tapi meremehkan legacy pendahulunya! Ampyun dah! pic.twitter.com/LEO5m92m0v
— King Purwa (@BosPurwa) June 15, 2023
Baca juga: Putusan MK Beda dari Bocoran Pembisik, Ini Kata Denny Indrayana
Sebelumnya Presiden Jokowi menampik anggapan bahwa penggunaan tenaga kerja asing sebagai pengawas untuk menggaet masuknya investasi asing dalam proyek IKN Nusantara.
“Ndak, ndak, ya karena kita ingin menaikkan level kualitas kita. Jangan nanti hasilnya nanti kayak SD Inpres, mau?” terangnya.
Baca juga: Terkait Cuitan Bocor Putusan Sistem Pemilu, MK Bakal Laporkan Denny Indrayana ke Organisasi Advokat!
Data yang dihimpun Sumbawanews.com, Penelitian Esther Duflo berjudul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment” terbit pada 2000. Dalam artikelnya Duflo mencatat, program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat saat itu.
Tahun 2019, Hadiah Nobel Ekonomi (Nobel Economics Prize) ke-51 dari Royal Swedish Academy of Sciences telah disematkan. Tahun ini tercatat tiga ekonom dianggap layak menerima penghargaan ini. Tiga nama ekonom yang semuanya kini tinggal di Amerika Serikat ini ialah Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer.
baca juga: Teganya! DPR ‘Ngamuk’ ke Bahlil, Datang ke IKN Cuma Lihat Tiang Pendek Setengah Meter
Esther Duflo, Ekonom berusia 46 tahun dan sekaligus pemenang Hadiah Nobel Ekonomi termuda ini meneliti kebijakan SD Inpres yang dibentuk pemerintah Indonesia di era 1973 hingga 1978. SD Inpres merupakan salah satu kebijakan yang dibuat pada masa kepresidenan Soeharto. Merujuk data Bank Dunia, menurut Duflo di sepanjang antara tahun 1973-1974 hingga 1978-1979 Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru. Tiap sekolah menampung 500 anak-anak. Total biaya yang dikeluarkan lebih dari 500 juta dollar AS atau setara 1,5 persen dari GDP tahun 1973.
Penelitian Duflo ini diterbitkan dengan judul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment” pada tahun 2000. Dalam artikelnya itu Duflo mencatat, program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat saat itu, yaitu pada 1973 – 1974.
Baca juga: Viral Video Ganjar Ketemu Pengusaha Jatim Terduga Korupsi di KPK
SD Inpres muncul di era Soeharto untuk memperluas kesempatan belajar di perdesaan maupun perkotaan yang warganya berpenghasilan rendah. Program ini terlaksana berkat karena tak terlepas dari berkah bonanza minyak dunia yang nilai jualnya melonjak tinggi ketika itu.
Duflo menjelaskan, bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia 2-6 tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Baca juga: Jegal Pencapresan Anies, Denny Indrayana: Surya Paloh Jangankan Masuk Penjara, Dibunuhpun Tetap Mendukung Anies Baswedan
Program SD Inpres, menurut penelitian Duflo, secara khusus telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan lebih banyak tahun pendidikan dasar. Peningkatan ini telah diterjemahkan ke dalam peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Menurut hitungannya, keberhasilan pembangunan pendidikan ini bahkan memberikan dampak pengembalian ekonomi sekitar 6,8 hingga 10,6 persen.
“Saya mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi program,” tulis Esther Duflo.
Baca juga: Putusan MK: Proporsional Terbuka, Bentuk Kemenangan Suara Rakyat
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan SD Inpres sebagai variabel instrumental dan dampak pendidikan terhadap upah pekerja, Duflo menyimpulkan kebijakan ini sukses “meningkatkan” perkonomian. Dampaknya di tahun 1988 tercatat Angka Partisipasi Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Lalu, tercatat di tahun 1990 jumlah masyarakat buta aksara turun hingga 15,8 persen. Lama masa pendidikan pun berdampak pada peningkatan upah sebesar 3 – 5,4 persen.
SD Inpres merupakan kebijakan yang dikeluarkan Presiden Soeharto lewat Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Berbekal spirit untuk mewujudkan kesempatan yang sama atas Pendidikan, hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring kebijakan itu, juga ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut.
Baca juga: Hanya Nongkrong, Kecewa! Ganjar Kumpulkan Kades se-Jateng
Hingga periode 1993/1994, tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring dengan itu, ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) I mencapai hampir Rp6,5 triliun.
Atas keberhasilan program SD Inpres ini, tak aneh jika pada 19 Juni 1993 UNESCO memberikan penghargaan kepada Presiden Soeharto berupa Piagam The Avicenna. Avicenna diambil dari nama seorang tokoh ilmu pengetahuan dari Dunia Islam di abad X di Timur. Sohor dipanggil dengan nama lbnu Sina. Ia seorang filosof dan ilmuwan yang merintis bidang ilmu kedokteran, oleh UNESCO nama besarnya ditempatkan menjadi simbolisasi penghargaan di bidang pendidikan dan etik dalam sains.
Baca juga: Aktif Diorganisasi Kampus, Anies Baswedan Sudah Dipanggil Mister President
Tentu saja menarik digarisbawahi di sini. Kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan bagi masyarakat miskin, yang didorong kuat melalui Inpres No 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar, diapresiasi oleh salah satu ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi. Sudah tentu ada banyak pelajaran berharga dalam bagaimana pemerintah saat itu mendesain kebijakan pembangunan di sektor pendidikan.
Tahun 2019, tercatat alokasi APBN untuk pendidikan mencapai 492,5 triliun. Tahun 2020, angka ini naik sebesar 2,7 persen menjadi 505,8 triliun. Sudah tentu angka ini bukanlah angka kecil. Pada titik ini, bagaimana mendorong akselerasi peningkatan kualitas pendidikan secara efektif dan tepat sasaran bisa dikata masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Tentu, tak ada salahnya sekiranya hikmah kesuksesan program SD Inpres dari masa lalu itu, kini bisa menjadi pelajaran berharga bersama. (sn01)