Home Berita Inilah Perbedaan Data Mahfud MD dan Sri Mulyani soal Rp 349 T...

Inilah Perbedaan Data Mahfud MD dan Sri Mulyani soal Rp 349 T saat Bicara di DPR

Jakarta, Sumbawanews.com.- Riuh tentang transaksi Rp 349 triliun yang dipotret PPATK dalam kurun 2009 hingga 2023 rupa-rupanya masih memunculkan kekusutan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang sebelumnya menjabarkan detail tentang itu berbeda dengan apa yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md.

“Ini ada dua hal nih, Pak, Pak Jokowi percaya Menko Polhukam, saya yakin juga Pak Jokowi percaya Sri Mulyani, jadi yang bohong siapa ini?” ujar Johan Budi.

Baca juga: Akhirnya Sri Mulyani Ungkap Asal Usul angka Rp 349 triliun di DPR

Setidaknya apa yang disampaikan Johan Budi selaku Anggota DPR Fraksi PDIP Perjuangan itu menggambarkan kebingungan yang terjadi. Memangnya apa yang berbeda?

Johan mengaku awalnya enggan bertanya pada Mahfud. Namun dia terperanjat ketika Mahfud menyampaikan bila apa yang disampaikan Sri Mulyani sebelumnya tidak sesuai fakta.

“Sebenarnya saya nggak mau bertanya Pak Mahfud, tapi saya terkejut, Pak, ketika Pak Mahfud tadi di ending pernyataan mengatakan begini, Pak, kasihan Bu Sri Mulyani, ‘Apa yang disampaikan oleh Bu Sri Mulyani di depan Komisi XI itu tidak berdasarkan fakta’, apakah benar Pak Mahfud nyatakan begitu tadi kalau nggak salah, kita bisa putar ulang? Benar ya?” kata Johan Budi yang dibalas anggukan kepala Mahfud membenarkan pertanyaan Johan Budi dikutip dari Detiknews.

Baca juga: Rapat di DPR, Arteria Tak Terima Dibenturkan Mahfud dengan Budi Gunawan

“Menurut Pak Mahfud, ya Pak Mahfud yang benar, Bu Sri Mulyani bicara tanpa fakta, coba kita tanya ke Bu Sri Mulyani, mungkin Pak Mahfud, mungkin ya, Bu Sri Mulyani juga akan bilang seperti Pak Mahfud sampaikan ‘Pak Mahfud bicara tanpa fakta, saya yang benar’, kira kira begitu Pak Mahfud, bisa terima ya, Pak, ya,” imbuhnya.

Di tempat yang sama Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Santoso menyoroti perbedaan pernyataan antara Mahfud dengan Sri Mulyani. Bahkan, Santoso mengusulkan DPR menggelar hak angket.

Baca juga: Mahfud Bongkar Transaksi Rp 349 T, Benny: Dia Ingin Singkirkan Sri Mulyani

“Karena konstruksi yang telah disampaikan tentang keuangan ini berbeda jauh antara Ketua Komite (Mahfud Md) dengan Menkeu, kalau kita ingin kiranya persoalan ini selesai terbuka kotak pandora ini dan rakyat mengetahui sesungguhnya apa yang terjadi, menurut saya hanya satu proses yang bisa kita lewati, yaitu melalui hak angket,” kata Santoso.

Sebagai informasi, berdasarkan informasi di situs dpr.go.id, hak angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Seru! MAKI Bakal Laporkan PPATK ke Polisi Buntut Rp 349 T, Ini Reaksi Mahfud MD

Santoso pun menyerahkan usulan tersebut kepada fraksi-fraksi di DPR. “Meskipun keputusannya ada di fraksi-fraksi, tapi saya memberanikan diri untuk nyatakan ini,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Santoso menjelaskan kenapa perlu diajukan hak angket DPR terkait persoalan Rp 349 triliun ini. Dia menilai langkah tersebut demi membongkar siapa yang memutarbalikkan fakta.

“Kenapa? Karena agar persoalan ini menjadi terang-benderang dan rakyat akan tahu siapa yang benar-benar menyampaikan kebenaran tentang adanya persoalan uang Rp 300 sekian triliun dan siapa yang memutarbalikkan fakta ini,” ujar dia.

Apa yang menjadi perbedaan antara Mahfud dengan Sri Mulyani?

Sebelumnya pada Senin, 27 Maret 2023, Sri Mulyani menjalani rapat bersama Komisi XI DPR. Sri Mulyani membedah laporan dari PPATK terkait Rp 349 triliun.

Awalnya Sri Mulyani menyampaikan alur waktu kehebohan soal Rp 349 triliun yang awalnya disebut Rp 300 triliun oleh Mahfud Md. Hal itu disebut Sri Mulyani terjadi pada 8 Maret 2023.

“Rabu tanggal 8 Maret Pak Mahfud menyampaikan ke media ada transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan Rp 300 triliun. Kami kaget karena mendengarnya dalam bentuk berita di media. Kami cek kepada Pak Ivan (Kepala PPATK Ivan Yustiavandana) tidak ada surat tanggal 8 Maret ke Kementerian Keuangan,” kata Sri Mulyani.

“Kamis tanggal 9 Maret 2023, PPATK baru mengirim surat nomornya SR/2748/AT.01.01/III/2023 surat itu tertanggal 7 Maret tapi baru kami terima by hand tanggal 9, namun surat ini berisi 36 halaman lampiran mengenai surat-surat PPATK ke Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan periode 2009-2023, 196 surat di dalam 36 halaman lampiran. Di situ tidak ada data mengenai nilai uang. Jadi hanya surat ini kami pernah kirim tanggal sekian nomor sekian dengan nama orang-orang yang tercantum di dalam surat tersebut atau yang disebutkan diselidiki oleh PPATK atau yang dicantumkan PPATK,” imbuh Sri Mulyani.

Setelahnya Sri Mulyani meminta Ivan mengirimkan surat yang berisi angka. Namun pada 11 Maret 2023, Mahfud menyambangi Sri Mulyani di Kemenkeu tetapi masih belum menerima surat yang diinginkannya.

“Hari Sabtu Pak Mahfud datang ke kantor kami untuk menjelaskan transaksi Rp 300 triliun bukan merupakan transaksi di Kementerian Keuangan tapi kami belum menerima suratnya jadi saya juga belum bisa komentar karena saya belum melihat,” kata Sri Mulyani.

Baru pada Senin, 13 Maret 2023 Sri Mulyani mengaku menerima surat dari PPATK. Surat itu berisi lampiran 43 halaman yang memuat 300 surat dengan total nilai Rp 349 triliun, bukan Rp 300 triliun.

Sri Mulyani membagi 300 surat itu menjadi 3 bagian yaitu 100 surat, 135 surat, dan 65 surat. Berikut detailnya:

– 100 surat dengan nilai transaksi Rp 74 triliun dari periode 2009-2023 yang ditujukan PPATK ke aparat penegak hukum lain.

– 65 surat dengan nilai transaksi Rp 253 triliun, yang isinya adalah transaksi debit/kredit operasional perusahaan-perusahaan dan korporasi yang disebut Sri Mulyani tidak berhubungan dengan pegawai Kemenkeu. Di antara 65 surat itu ada 1 surat yang disebut Sri Mulyani yang paling menonjol karena memiliki angka yang paling tinggi yaitu Rp 189 triliun.

– 135 surat dengan nilai Rp 22 triliun, yang isinya transaksi-transaksi yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu.

“Sehingga yang benar-benar berhubungan dengan kami, ada 135 surat nilainya Rp 22 triliun, bahkan Rp 22 triliun ini, Rp 18,7 triliun itu juga menyangkut transaksi korporasi yang tidak berhubungan dengan pegawai Kemenkeu. Jadi yang benar-benar nanti yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu 3,3 triliun, ini 2009-2023, 15 tahun seluruh transaksi debit kredit termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset, jual beli rumah itu Rp 3,3 triliun dari 2009-2023,” sebut Sri Mulyani.

Berikut slide presentasi yang disampaikan Sri Mulyani di DPR mengenai penyelesaian terkait Rp 349 triliun tersebut:

slide presentasi yang disampaikan Sri Mulyani di DPR mengenai penyelesaian terkait Rp 349 triliun tersebut

Selang 2 hari kemudian yaitu Rabu, 29 Maret 2023, Mahfud selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut Ketua Komnas TPPU) hadir di DPR untuk mengikuti rapat dengar pendapat umum bersama Komisi III DPR. Mahfud ditemani Ivan selaku Kepala PPATK.

Apa saja yang disampaikan Mahfud? Silakan ke halaman berikutnya.

Mahfud menyampaikan soal Rp 349 triliun menjadi 3 kelompok sama seperti Sri Mulyani. Namun menurut Mahfud, ada angka yang disampaikan Sri Mulyani yang berbeda dengan yang disampaikannya.

“Data agregat, transaksi keuangan. Keuangan yang Rp 349 T itu dibagi ke dalam 3 kelompok: 1. Transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu, kemarin ibu Sri Mulyani di Komisi XI hanya Rp 3 T, yang benar Rp 35 triliun, nanti ada datanya,” kata Mahfud.

Kelompok kedua adalah transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain. Datanya disebut Mahfud besarnya Rp 53 triliun.

“Itu besarnya Rp 53 T plus sekian, kemudian (poin 3), transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik TPA (tindak pidana asal) dan TPPU yang belum diperoleh data sebesar Rp 260,5 T,” ujar Mahfud.

“Sehingga jumlahnya Rp 349 T fixed, nanti kita tunjukkan suratnya,” ungkap Mahfud.

Berikut ini data agregat yang disampaikan Mahfud Md:

1. Transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu Rp 35.548.999.231.280

2. Transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain, Rp 53.821.874.839.401

3. Transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik TPA (tindak pidana asal) dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu Rp 260.503.313.432.306.

Penjelasan PPATK

Mahfud lalu meminta Ivan selaku Kepala PPATK memberikan penjelasan. Ivan mengawali penjelasannya dengan menyampaikan bahwa hal ini bukan untuk menyalahkan siapapun.

“Ini tidak mau meng-counter pendapat siapapun juga dengan rasa hormat, dengan rasa kerendahan hati, hanya ingin mengungkapkan fakta sebenarnya terkait dengan klaster yang tadi,” ucap Ivan.

Ivan menjelaskan tentang beda angka Rp 3,3 triliun yang disebut Sri Mulyani dengan Rp 35 triliun yang disebut Mahfud. Menurut Ivan, PPATK mencatatkan angka Rp 35 triliun yang didapat dari transaksi oknum-oknum termasuk perusahaan-perusahaan yang diduga adalah perusahaan cangkang dari oknum itu. Ivan mengatakan hal itu tidak bisa dipisahkan karena diduga kuat terkait modus pencucian uang.

“Jadi kenapa tadi di klaster pertama, kami menyampaikan tadi kan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan oknum, tapi di dalam daftar list-nya secara lengkap kami juga dalam list-nya, di dalam suratnya itu selain oknum kami sampaikan juga banyak perusahaan. Jadi misalnya dalam 1 surat itu ada oknumnya 1 tapi perusahaannya ada 5, ada 7 dan 8 segala macam,” ucap Ivan.

“Nah ini yang kemudian pada saat rapat kemarin oleh Kementerian Keuangan dikeluarkan sehingga angka Rp 35 triliun yang ditemukan oleh PPATK setelah dikeluarkan entitas perusahaan menjadi Rp 22 triliun. Lalu dikeluarkan lagi entitas perusahaan yang tidak ada Kementerian Keuangannya, lalu dikeluarkan lagi dari entitas perusahaan yang ada Kementerian Keuangannya menjadi Rp 3,3 triliun. Lalu kemudian ramai bahwa PPATK salah dan segala macam,” imbuhnya.

Ivan menduga perusahaan cangkang ini modus yang lazim dalam TPPU. Biasanya oknum akan menggunakan tangan orang lain untuk menutupi kejahatannya.

“Alasan kenapa PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oknum sehingga ini nggak bisa dikeluarkan. Misalnya dia menggunakan nama perusahaan dengan nama pemiliknya adalah di aktanya adalah istrinya, anaknya, sopirnya, tukang kebunnya dan segala macam. Kalau ini dikeluarkan jadilah Rp 3,3 triliun,” kata Ivan.

“Tapi kami tidak lakukan itu karena modus pelaku tindak pencucian uang itu adalah selalu… Ini kan kita bicara tindak pidana pencucian uang kan bicara proxy crime, orang yang melakukan tindak pidana selalu menggunakan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri, sehingga kalau kami keluarkan data itu nah kami justru membohongi penyidiknya,” imbuh Ivan.(dtk/sn02)

Previous articleSatgas YR 142/KJ Terima Kunjungan Dandim 1702/Jayawijaya di Distrik Kanggime
Next articleMahfud MD: 491 ASN Kemenkeu Diduga Terlibat TPPU
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.