Arief Hidayat
Peserta Program KKK Nusantara Centre
Mari kita baca sejarah. Mari berefleksi. Menjelang 1 Juni 1945, Soekarno bercakap-cakap dengan Masjkur, Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir, dan Yamin. Dari percakapan itu, tampak nilai ketuhanan sedari awal diajukan dalam soal pembentukan dasar negara. Soekarno mengatakan, “… Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan. Cuma tidak tahu di mana dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi ke gunung besar, pergi ke batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan. Kalau begitu, negara kita dari dulu sudah ketuhanan. Sudah ketuhanan zaman Jawa itu. Zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Bagaimana Islam? Ketuhanan. Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Tulis. Tulis Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?” Jelas bertuhan.
Baca juga: Desain Pendidikan Karakter Pancasila
Dari percakapan itu tergambar, histori Negara Indonesia diawali oleh kesadaran kolektif para pendirinya mengenai prinsip relijiusitas warga nusantara yang tercermin dalam pengakuan eksistensi “Dzat Yang Maha Kuasa.” Keyakinan akan eksistensi “Dzat Yang Maha Kuasa” tersebut dibangun dari suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar, dapat diuji, dan dibuktikan melalui kaidah-kaidah logika. Inilah dasar ontologis manusia-manusia nusantara sebagai warga bangsa yang merupakan makhluk Tuhan.
Lebih lanjut, jika kita cermati lebih dalam, maka terdapat suasana yang mengedepankan nilai ketuhanan mewarnai proses perumusan UUD 1945. Dalam sidang-sidang BPUPK, nilai ketuhanan menjadi poros dan pijakan. Pengambilan keputusan, bahkan dengan votingpun, hampir selalu didahului dengan doa. Demikian pula, setelah kesepakatan-kesepakatan dicapai, doa dan syukur kepada Tuhan selalu digemakan.
Baca juga: Pancasilaku dan Garudaku
Sebagai contoh, sebelum voting penentuan bentuk negara, apakah unitarisme atau federalisme, anggota BPUPK Moezakir mengajak seluruh Anggota BPUPK mengheningkan cipta terlebih dulu, memohon kepada Tuhan agar keputusan yang diambil tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak suci. Pikiran-pikiran ketuhanan menyertai alam piker mereka. Agus Salim misalnya, sebagai orang yang turut membuat preambule rencana Undang-Undang Dasar, mengingat betul bahwa saat itu, tidak ada seorangpun di antara anggota BPUPK yang ragu-ragu akan dasar Ketuhanam Yang Maha Esa. Tentu saja, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dinyatakan sebagai pokok dasar yang dimaksudkan sebagai kekuatan keyakinan bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air diperoleh atas rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa, dengan ketentuan-Nya, yang dilaksanakan-Nya, dengan semata-mata kekuasaan-Nya menurut kehendak-Nya.
Demikian pula Soekarno. Dalam pidatonya 1 Juni 1945, terasa benar kehadiran Tuhan dengan mengucapkan namaNya berulang-ulang sepanjang pidato. Soekarno mengedepankan dimensi ketuhanan sebagai bagian yang esensial dari kebangsaan dan kenegaraan yang hendak dibangun bersama. Soekarno mengatakan, bahwa proklamasi adalah takdir Tuhan. Peristiwa proklamasi akan jatuh di hari keramatNya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Malam hari persis sebelum berpidato, Soekarno berpasrah meminta kemurahan Tuhan sebagai pemilik daya cipta, Tuhan yang Maha Membimbing dan Memberi Ilham.
Berpijak dari fakta di atas, tampak bahwa negara yang rakyatnya ber-Tuhan, menginginkan berdirinya Indonesia merdeka sebagai negara ber-Tuhan. Maka, penulis hendak memberikan penegasan mengenai pilihan atas konsepsi Indonesia negara berketuhanan. Dari konsepsi tersebut, bagaimana di dalam negara berketuhanan ini, negara selalu terjaga pada jalan yang sama dalam memanifestikan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan (divine values and attributes). Seluruh warga bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara, memiliki ruang yang sama untuk menyemai kebajikan-kebajikan ketuhanan dalam peri kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia.
Kuatnya dimensi ketuhanan di dalam pemikiran the foundings fathers dalam mendirikan negara berketuhanan tercermin dan ditegaskan setelah disepakatinya rumusan dasar negara “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pembukaan UUD 1945. Rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” tersebut, konon merupakan rumusan yang didapat Soekarno saat mengunjungi Syekh Abbas Abdullan, ulama pejuang di Padang Japang, sekitar pada masa-masa transisi dari era Belanda ke Jepang. Ketika Soekarno bertanya perihal apa yang terbaik jika kelak bangsa Indonesia merdeka? Syekh Abbas menjawab, “Negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dan benar, Ketuhanan Yang Maha Esa disepakati untuk ditempatkan sebagai sila pertama Pancasila. Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan nafas sekaligus roh bagi keseluruhan sila-sila Pancasila. Menurut Jimly Asshiddiqie, sila pertama dan utama tersebut menerangi keempat sila lainnya. Hazairin menuliskan, dari kelima sila Pancasila, ada satu sila yang mempunyai posisi istimewa, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa? Karena sila tersebut tertelak di luar ciptaan akal-budi budi manusia. Hanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang bukan merupakan hasil kebudayaan manusia. Sila itu, kata Hazairin, merupakan sesuatu yang abadi, yang kekal, tidak berubah-ubah, tidak dapat dipengaruhi oleh manusia, dan tidak pula dapat ditundukkan pada kemauan dan keinginan manusia.
Oleh karena itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan landasan yang paling kokoh bagi Negara Republik Indonesia. Ketuhanan yang Maha Esa pada dasarnya memuat pengakuan ekplisit akan eksistensi Tuhan sebagai Sang Pencipta. Nilai ketuhanan dalam Pancasila menunjukkan bahwa eksistensi negara, bangsa, dan manusia Indonesia berelasi dengan Tuhan yang diyakini sebagai sumber segala kebaikan. Ia merupakan fundamen moral dan berdimensi religius yang menentukan pola dasar bagi seluruh kehidupan negara. Dalam Pancasila, nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis. Nilai ketuhanan merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan.
Berikutnya, dalam bacaan Pancasila juga, prinsip ketuhanan diwujudkan dalam paham kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai watak kebangsaan Indonesia. Dalam pandangan Jimly, dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang di antara sesama manusia sehingga perikehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil sehingga kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa. Nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki Pancasila, meminjam ungkapan Bung Karno, merupakan nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Artinya, nilai-nilai etis ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama-agama dan kepercayaan bangsa yang bersifat membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan, ketuhanan lapang, dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam etika sosial dalam kehidupan berbangsa bernegara.
Sejalan dengan itu, Bung Hatta mengungkapkan, sila Ketuhanan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan permusyawaratan dan keadilan sosial. Dalam pemahaman di atas, Ketuhanan yang Maha Esa bukan merupakan prinsip yang memasuki ruang akidah umat beragama, melainkan suatu prinsip hidup bersama dalam suatu negara di tengah masyarakat dengan keragaman agama dan keyakinan.
Para founding fathers-mothers tidak memaknai sila Ketuhanan dalam makna yang terlalu teologis dan filosofis. Ia tidak ditampilkan sebagai konsep Ilahiah menurut klaim agama dan filsafat tertentu. Ketuhanan dimaknai dalam konteks kehidupan praksis, suatu kehidupan yang dicirikan dengan bagaimana nilai-nilai ketuhanan itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti bersikap adil terhadap sesama, berkata dan bertindak jujur, dan menyambung silaturrahmi, sehingga perpecahan antar sesama dapat dihindari.
Dari nilai-nilai demikian itulah, negara memperoleh fundamennya. Jika diibaratkan Pancasila ialah sebatang pohon, sila pertama merupakan akarnya, sila kedua adalah batang, sila ketiga adalah buah, sila keempat adalah buah yang telah diolah dalam permusyawaratan perwakilan sehingga menjadi pemerintahan. Tujuan bangsa terdapat di sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi, essensi utama nilai-nilai Pancasila terletak pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa nilai itu, semua tidak memiliki arti apapun. Pemahaman terhadap keempat nilai lain yang terdapat dalam sila kedua hingga kelima Pancasila tidak dapat dipisahkan dari pemahaman terhadap nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai Ketuhanan yang terdapat dalam sila pertama ini menjadi perekat nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila berikutnya, atau ia meliputi dan menjiwai sila-sila berikutnya.
Dari sini jelas, dalam konteks Pancasila dan nilai ketuhanan, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu bersandar pada aspek ketuhanan. Inilah yang disebut oleh Yudi Latif sebagai perspektif iluminasi. Maksudnya, masyarakat Indonesia berpandangan bahwa segala sesuatu di jagad raya ini saling berpasangan dan saling tergantung yang merupakan pancaran dari satu kekuatan yang tunggal, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai ketuhanan yang dijadikan dasar atau jiwa penyelenggaraan negara tidak hanya berasal dari agama atau kepercayaan tertentu, melainkan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran agama dan kepercayaan yang sifatnya universal. Dus, semua agama dan kepercayaan di Indonesia sudah barang tentu mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Itulah esensi dari nilai-nilai ketuhanan.
Pengakuan eksistensi Tuhan di seluruh aspek kehidupan dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur.” Hal ini persis seperti yang dikemukakan Agus Salim bahwa tidak ada seorang pun yang ragu-ragu akan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembukaan UUD 1945 memuat dimensi ketuhanan tersebut kemudian diejawantahkan ke dalam pasal-pasal UUD 1945.
Pada konteks itulah, UUD 1945 dapat disebut menganut paham teo-nomokrasi. Yaitu negara hukum yang hukumnya berpuncak pada konstitusi yang disemangati nilai ketuhanan. Hal ini berarti pula, UUD 1945 memuat landasan moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan yang mendudukkan nilai ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritualitas dalam kehidupan bernegara. Membaca alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dalam bacaan secara hirarkis piramidal, seperti dikatakan Hazairin, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber dari sila-sila lain. Dalam hal ini, UUD 1945 secara implisit (dan tentu saja secara eksplisit) memberikan garis arahan bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan yang religius, bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler.
Artinya, seluruh pemikiran, tindakan, dan perilaku, baik penyelenggara negara maupun warga negara, dipancari oleh sinar ketuhanan. Dalam kaitan itu, sebagai konstitusi negara Indonesia yang berketuhanan, UUD 1945 memiliki karakter konstitusional yang berbeda dengan konstitusi negara-negara lain. Di negara-negara liberal, konstitusinya cenderung menekankan pengaturan peri kehidupan politik dan hak asasi manusia. Konstitusinya berkarakter sebagai konstitusi politik. Di negara-negara komunis dan negara lain, konstitusinya hanya memuat penekanan kebijakan-kebijakan di bidang sosial dan ekonomi konstitusinya bercorak konstitusi ekonomi dan sosial. Di Indonesia, UUD 1945 bukan hanya menekankan pengaturan mengenai hal-hal tersebut. UUD 1945 mengatur dan memberikan panduan bagi semua aspek penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Dalam pemahaman demikian, UUD 1945 dikembangkan ke dalam tiga pengertian, yakni sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial. Bahkan, Jimly Asshiddiqie menulis juga sebuah buku perihal UUD 1945 sebagai konstitusi kebudayaan. UUD 1945 merupakan konstitusi politik karena di dalam UUD 1945 dimuat ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai susunan kenegaraan, hubungan antara lembaga negara dan hubungan negara dengan warga negara. Artinya, seluruh aktivitas politik diselenggarakan semata-mata didasarkan pada UUD 1945. Di dalamnya, dimuat juga mengenai prinsip demokrasi dan prinsip nomokrasi yang telah final menjadi pilihan politik bersama. Untuk itulah, konstitusi sebagai hukum tertinggi menjadi pedoman dalam berpolitik. Sebagai pedoman berpolitik setidaknya mencakup dua hal pokok, yaitu pedoman bagi pembatasan kekuasaan dan pedoman dalam penerapan etika berpolitik.
UUD 1945 juga merupakan konstitusi sosial dan konstitusi ekonomi. UUD 1945 merupakan pedoman bagi masyarakat dalam hubungannya dengan warga negara yang lain. Di samping itu, karena UUD 1945 mengatur juga bagaimana sistem perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan, maka sudah pasti UUD 1945 menjadi pedoman bagi seluruh aktivitas dalam sistem perekonomian. Pasal 33 UUD 1945 mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang perseorang. Sebagai konstitusi kebudayaan, UUD 1945 sudah seharusnya dipahami juga fungsinya dalam konteks kebudayaan. Pasal 32 UUD 1945 misalnya, menentukan, (1)Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya; dan (2)Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) UUD 1945 tersebut dikembangkan seiring dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan, “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Artinya, adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, tidak boleh melupakan tentang kewajiban dan tanggungjawab negara untuk menghormati dan memelihara pelbagai bahasa daerah dalam pergaulan hidup masyarakat di seluruh Indonesia.
Sehubungan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi politik, konstitusi sosial, konstitusi ekonomi, dan konstitusi budaya, maka sudah amat terang bahwa UUD 1945 menyediakan pedoman seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada satu aspek pun yang tidak dijumpai benang merahnya dengan UUD 1945. Atas dasar itu, jika UUD 1945 dijiwai oleh Pancasila, maka seluruh aspek penyelenggaraan negara kembali harus bersandar pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai bahwa negara yang didirikan merupakan pengejawantahan tujuan manusia Indonesia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik itu bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, maupun budaya, semuanya harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berpolitik haruslah berketuhanan, mengunggulkan moral dan etika politik. Dalam hal ini, membawa agama atau keyakinan bangsa dalam perjuangan politik sebagai proses bernegara merupakan tindakan sah. Hal terpenting ialah, hal itu dilakukan tetap dalam koridor Pancasila yang mendasari Indonesia sebagai negara berketuhanan. Dalam berhukum, baik pembentukan dan penegakannya, termasuk juga perumusan kebijakan negara, harus bersumber pada nilai ketuhanan. Ini yang membedakan elemen pokok negara hukum Indonesia dengan negara hukum lain. Nilai ketuhanan menjadi alat ukur untuk menentukan hukum itu baik atau buruk, konstitusional atau inkonstitusional.
Nilai-nilai ketuhanan yang beresensikan kejujuran, etika, dan keadilan seharusnya menjadi penyangga utama dalam semua aktifitas ekonomi. Dalam aktifitas budaya, ilmu pengetahuan dan pola berfikir yang membangun budaya haruslah lekat pada tuntunan Tuhan. Penerimaan akan kebenaran-kebenaran Tuhan menuntun manusia untuk memahami batasan-batasan diri yang tercermin dalam tingkah lakunya yang disinari cahaya ilahiah.
Implikasi UUD 1945 dijiwai Pancasila dengan nilai ketuhanan sebagai akarnya ialah dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai ketuhanan harus dijadikan sumber etika dan spiritualitas. Nilai-nilai yang bersifat vertikal-transendental ini menjadi fundamen etik kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, di Indonesia tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti-Ketuhanan. Di dalam kerangka nilai ketuhanan, tidak terdapat celah yang dapat diterobos oleh pemikiran-pemikiran yang tidak berketuhanan, siapapun mereka. Negara Indonesia yang berketuhanan menuntut setiap warga bersikap benar dengan dilandasi spirit berketuhanan yang beranjak dari kebenaran firman Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai.
Bersikap benar dalam hal ini tidak hanya mengacu kepada kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, dan kebenaran pragmatis, akan tapi menjadikan ketiganya menyatu di bawah payung kebenaran ilahiah. Dengan demikian, jika ujung harapan kita bernegara adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, toto tentrem kertoraharjo, baldatun toyyibatun ghofur, maka untuk menjadi bangsa yang thoyyib, jangan sampai ada sikap dan perilaku yang membuat Tuhan murka.
Dalam naskah kesimpulan yang dihasilkan oleh Panitia Kecil BPUPK, termaktub pernyataan penting yang amat menarik, “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa…memberi jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik.” Manakala sewaktu-waktu kesasar dalam perjalanan, ada senantiasa terasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.
Terakhir, ini nukilan sebuah puisi berjudul “Kemana Indonesiaku?” yang ditulis budayawan Emha Ainun Najib, menarik untuk dikutip, “…Tuhan sangat bersungguh-sungguh dalam mengurusi setiap tetes embun yang Ia tampung di sehelai daun, Tuhan menyayangi dengan sepenuh hati setiap debu yang menempati persemayamannya di tengah ruang. Tapi kita iseng sesama manusia. Kita tidak serius terhadap nilai-nilai. Bahkan, terhadap Tuhan pun kita bersikap setengah hati.”
Puisi itu terasa menyentak. Bait “… terhadap Tuhan pun kita bersikap setengah hati” menyadarkan kita di tengah realitas hari ini. Untuk itu, aktualisasi nilai-nilai ketuhanan harus didorong terus untuk menjadi basis moralitas. Nilai ketuhanan dalam konteks Pancasila memerintahkan kepada seluruh warganya untuk berperilaku sebagai manusia yang meyakini adanya Tuhan dan segenap kekuasaanNya. Nilai ketuhanan menjadi titik temu, titik pijak, dan titik tuju agar dalam setiap aktifitasnya, manusia Indonesia senantiasa berlaku baik sebagaimana yang dikehendaki Tuhan sekaligus menjauhi larangan-larangan Tuhan.
Penting ditegaskan lagi, dalam bernegara, jangan sekali-kali berperilaku yang membuat Tuhan marah. Harus disadari, semua pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sebagai manusia, sebagai khalifah Tuhan di dunia, pada waktunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Itulah makna terdalam Indonesia negara berketuhanan. Inilah buah dari mental pancasila, mental konstitusi yang kita semai bersama dalam kelas karakter konstitusi yang diadakan Nusantara Centre. Semoga.(*)