Home Berita Geliat Literasi di Dana Mbojo: Harapan dan Tantangan

Geliat Literasi di Dana Mbojo: Harapan dan Tantangan

Geliat Literasi di Dana Mbojo: Harapan dan Tantangan

Jika Anda mengetik “what is literacy?” di bilah mesin pencari, maka dalam sekian sekon, akan muncul ribuan informasi yang berkait-kelindan dengan literasi di layar gawai Anda, dari definisi, jenis, contoh, manfaat, tujuan, tokoh, dan tetek bengek lainnya. Menyoal definisi literasi, ada beberapa ahli mendedahkan mindanya, yaitu: Elizabeth Sulzby, Harvey J. Graff, Jack Goody, dan Merriam-Webster. Walakin dari sederet nama ahli yang termaktub, semuanya adalah orang asing.

Karena saya adalah pemuda yang cinta kelokalan dan keindonesiaan, maka dalam hal definisi literasi, tidak mengambil apa yang dipaparkan oleh para ahli asing di atas, melainkan berlabuh pada apa yang diwedarkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi yaitu, ”kemampuan membaca dan menulis”. Saya meyakini dan mafhum, terkait definisi literasi yang ditabalkan oleh Elizabeth dkk dan Kamus Akbar Bahasa Indonesia, secara substansi tidak jauh berbeda. Mungkin narasinya tak serupa, walakin muaranya sama, yaitu, literasi pasti bersentuh-padu dengan membaca dan menulis.

Dalam sepuluh tahun terakhir, literasi menjadi isu yang cukup sering dibicarakan. Hembusan isu-isu literasi sedikit banyaknya dilatarbelakangi oleh wacana Presiden Jokowi dan jajaran pemerintah terkait Indonesia Emas 2045. Pemerintah menargetkan ‒tentu dengan analisis para pakar‒ negeri Bhineka Tunggal Ika ini bakal jadi negeri maju pada seratus alaf usianya. Masyarakatnya sejahtera, hidup mentereng, bermandikan emas, dan bersayap uang kertas. Salah satu langkah untuk mencapai cita luhur itu dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bisa dimulai dengan membangun, memperbaiki, serta memperkuat literasi bangsa.

Wacana literasi disambut baik oleh institusi pendidikan tanah air, kemudian menjadi buah bibir dan bahan pikir di kalangan mahasiswa. Tak ayal, dihelat berbagai kegiatan dalam mempercakapkan literasi, agar wacana ini membumi dan menyebar ke khalayak ramai. Entah itu berupa seminar, dialog, simposium, dan lokakarya. Yang paling anyar adalah menjamurnya kemah literasi dan kelas menulis oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan.

Dana Mbojo sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sudah seharusnya menyiapkan sumber daya manusia yang punya semangat literasi untuk menyonsong wacana Indonesia Emas 2045. Bima tempo dulu pernah melahirkan orang-orang masyhur dalam dunia literasi-intelektual, salah duanya adalah, Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi dan T.G.H. Muh. Said Amin, Allah yarhamhumaa. Karena alasan historis inilah, Buya Hamka bertutur, “jika ingin belajar Islam, pergilah ke Bima”.

Kiwari, Dana Mbojo menjadi daerah yang para pemudanya cukup banyak menyebar ke rantauan dalam menuntut ilmu. Mataram, Makassar, Yogyakarta, Malang menjadi sederet kota yang banyak dituju. Mahasiswa Bima yang mengampu pendidikan di kota-kota besar itu, terlibat aktif dalam wacana literasi yang berkembang di kampusnya. Tak sedikit dari mereka menjadi penulis, pembicara dalam helat literasi, dan kontributor esai di beberapa media. Ini hebat.

Namun, yang membuatku bangga bin takjub adalah, mereka menggagas komunitas literasi yang bergerak di dana ro rasa ‒kampung halaman, (baca: Bima). Ini amat luar biasa. Bukankah ilmu harus menyebar agar memberi manfaat bagi orang banyak? Maka dengan hadirnya komunitas literasi, memberi pengaruh besar dalam gerakan baca-tulis secara kolektif di Bima. Rumah Literasi Sape Lambu, Salaja Pustaka, Kabuju Institute, Taman Baca Masyarakat (Nggira), Komunitas Literasi Uma Rato, dan Mbojo Itoe Boekoe adalah beberapa komunitas literasi-intelektual yang mengada dari kesadaran, pikiran, dan niat mulia anak-anak Bima.

Hadirnya komunitas literasi oleh dou Mbojo menjadi oase dari kering dan gersangnya gerak literasi di Bima. Pada alaf 2019, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan melakukan penelitian terkait Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi. Dalam penelitian tersebut, aktivitas literasi masyarakat Nusa Tenggara Barat ‒Bima, Sumbawa, Lombok‒ masuk dalam kategori rendah, dan ini adalah masalah serius bagi kita.

Bima memang punya penulis yang cukup bersinar di era kiwari, di antaranya, Fajlurrahman Jurdi, Alan Malingi, N. Marewo, Aba Du Wahid, Atun Wardatun dan beberapa penulis lainnya. Walakin, sedikit di antara mereka yang berkiprah di daerah asal, dan itu tidak cukup menggerakan wacana literasi di tengah masyarakat Bima. Dana Mbojo perlu orang-orang seperti mereka dalam jumlah banyak.

Komunitas literasi menjadi suluh dari remangnya literasi di Dana Mbari. Kemudian, lebih dikokohkan lagi dengan hadirnya Universitas Mbojo dan Universitas Muhammadiyah Bima sebagai lembaga pengembangan literasi-intelektual yang formal. Menyitir apa yang dipaparkan oleh Prof. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam beberapa forum intelektualnya, bahwa, ada empat unsur yang harus saling bersinergi agar literasi di suatu daerah kembali hidup dan kuat, di antarnya: penguasa (bupati), pengusaha, kesadaran masyarakat, dan media massa.

Dana Mbojo setidaknya memiliki dua modal yang cukup dalam melejitkan literasi daerah, yaitu: kesadaran masyarakat dengan hadirnya komunitas literasi, juga media massa, dengan hadirnya Mbojoklopedia, Opini Kahaba, dan Esai Bahasa oleh Kantor Bahasa NTB, yang memantik dan mewadahi masyarakat dalam berliterasi.

Lantas apa yang harus dilakukan penguasa dan pengusaha? Bekerja sama sekaligus mendanai kegiatan-kegiatan komunitas literasi dan mengadakan perpustakaan desa sebagai wadah bacaan bagi masyarakat adalah salah dua saran yang saya sodorkan. Beberapa komunitas programnya mangkrak dan mati suri karena terkendala biaya, penguasa dan pengusaha adalah solusi dari masalah finansial tersebut. Yakin dan percaya, jika empat unsur di atas saling bekerja sama, literasi dana Mbojo di masa depan akan jauh lebih baik. Akan lahir Alan Malingi, N. Marewo baru dan penulis ciamik lainnya dalam jumlah yang berlipat ganda.

Mengutip kalam masyhur dari Imam Syafi’i “man araada humaa fa’alaihi bi al ilmi” yang maknanya “ barang siapa menginginkan kemasyhuran, kejayaan, dan kebahagian dunia-akhirat, maka haruslah dengan ilmu”. Dan tiada ilmu tanpa membaca dan menulis.

Data diri penulis

Nama lengkap: M. Maulana (Mahasiswa Sastra Arab Universitas Hasanuddin, Direktur Eksekutif Rektor Tahfidz Qur’an Makassar).

 

 

 

 

 

Previous articleInilah Alasan Jokowi Minta Pejabat-Pegawai ASN Tiadakan Buka Puasa Bersama
Next articleBEM UI Unggah Meme ‘Puan Berbadan Tikus’, DPR Bereaksi
Kami adalah Jurnalis Jaringan Sumbawanews, individu idealis yang ingin membangun jurnalistik sehat berdasarkan UU No.40 Tahun 1999 tentang PERS, dan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dalam menjalankan Tugas Jurnalistik, kami sangat menjunjung tinggi kaidah dan Kode Etik Jurnalistik, dengan Ethos Kerja, Koordinasi, Investigasi, dan Verifikasi sebelum mempublikasikan suatu artikel, opini, dan berita, sehingga menjadi suatu informasi yang akurat, baik dalam penulisan kata, maupun penggunaan tatabahasa.