@Yudhie Haryono
Rektor Universitas Nusantara
Artikel ini dimuat ulang untuk mensukseskan kursus online bertema, “Pikiran Jenius Para Pendiri Bangsa.” Program dahsyat yang dikerjakan oleh dua lembaga: Pusaka Indonesia dan Nusantara Centre. Program untuk menemukan sumber-sumber tenaga lama untuk melompat ke kejayaan masa depan.
Orangnya Soedirman, begitulah takdir mula yang membuatnya dapat bintang dalam jajaran serdadu kita. Pikirannya kuat, tindakannya jitu dan pilihan hidupnya teguh pada nurani. Namanya kini terpampang jadi nama jalan protokol di Ibu Kota. Itu karena jasa dan perjuangannya yang riil.
Mengingatnya seperti terbentur pada lembaran kisah anak desa yang luar biasa. Kini, jika kita membaca pelan kisahnya, maka Indonesia butuh kejeniusan yang berdentum keras agar tercipta alat baru demi terhapusnya kolonialisme di semesta ini.
Karena nekolim purba, kita seperti hidup di zaman yang tidak mampu memberi jawaban yang baik meski segala daya upaya telah dilakukan. Zaman edan ini kreasi oligarki yang memanfaatkan lemahnya mental rakyat kebanyakan dan karakter munafik elitenya. Ternak begundal hari-hari ini panen yang melimpah ruah menyampah. Sementara bertani para mujahid tak menghasilkan keturunan. Di waktu dan tempat lain, para konglomerat dan mason pribumi makin buta, tuli dan bisu.
Padahal, mimpi kita itu mentradisikan lima hal: Agama berTuhan Yang Esa. Sosial berManusia Yang Beradab. Budaya berBangsa Yang Bersatu. Politik berRakyat Yang Berdaulat. Ekonomi berMasyarakat Yang Makmur. Tetapi yang kulihat, kurasa, kupikir kok bangsa-negara ini hidup dalam takdir getir saat fakir dan kafir.
Makin ke sini, iptek dan agama di Indonesia makin tak berfungsi. Keduanya hanya peternak begundal: teroris, feodalis dan fundamentalis serakah. Para pemuja keduanya menjadi setumpuk keanehan: bahagia saat sesamanya sengsara dan sedih saat lainnya bahagia.
Agama dan iptek yang memproduk manusia berwajah pribumi bermental kompeni. Bajingan-bajingan bangsa berselubung keserakahan syaitan. Maka, tumbuh 10 konglomerasi kuasai 75,3% total kekayaan kaum miskin. Kiita adalah negara ke-3 tertimpang di dunia setelah Rusia dan Thailand.
Tumbuh satu konglomerasi dan saat yang sama tumbuh dua juta kaum miskin. Jika pajak kita lebih mahal dari upeti zaman kompeni, apa artinya merdeka?
Dus, bagi Gatot, “tak perlu jadi ksatria tentara dan presiden jika tak punya tangan untuk meringankan kaum miskin, membebaskan kaum bodoh, memerdekakan kaum terjajah.”
Maka kini mari teriak. Wahai kaum miskin, berdoalah. Mohon pada Tuhan agar dikirim sang pembebas, bukan sang penindas!
Itulah bahasa nurani. Tanpa nurani, kemerdekaan kita tanpa tanggungjawab, kata Gatot suatu kali. Tanpa nurani, para elite politik menipu korbannya dengan modus yang sama, yakni utang, gadai dan obral murah kekayaan negara. Elite budak kolonial yang bermental jongos duduk manis di istana.
Kini kita memang surplus akademisi, tapi minus nurani. Itulah mengapa banyak akademisi (sarjana, master, doktor dan profesor) korupsi.
Kawan-kawanku, kata Gatot saat ngobrol dengan mereka di saat senja. Memilih menjadi pejuang dan tentara adalah memilih nurani dan nalari. So, kerjakan apa yang mampu dikerjakan sesuai kemampuan dan kapasitas. Jangan terlalu tinggi ide tapi tak mampu dikerjakan. Kerjakan apa yang mampu dikerjakan. Segerakan!
Biarlah ide itu beredar. Kalau memang layak, pasti ada yang akan kerjakan dan lanjutkan. Tidak harus kita yang merealisasikan.
Jangan berpretensi ide dari kita, lalu kita yang harus selesaikan. Tidak. Karena kita ada batasan, baik energi, biaya, usia dll. Ide yang baik seperti wewangian dari bunga. Kadang orang lupa wangi dari bunga apa. Seperti mawar tak pernah peduli apakah namanya akan diingat atau disebut orang.
Seperti daun yang menerima takdirnya jatuh ke bumi tanpa protes mengapa tidak jadi buah. Ia hanya dianggap sampah tetapi orang lupa ia bisa jadi pupuk bagi banyak kehidupan selainnya. Itulah nurani, itulah hati. Pada nurani yang Gatot wariskan, bangsa kita justru hampir lupa ingatan.(*)