Jakarta-Pemerintah daerah dan Balai PUPR di daerah harus melihat dan memperhatikan kesulitan truk-truk industri yang mencapai pelabuhan dan sentra-sentra industri. Kalau memang muatan sumbu terberat truk-truk itu tidak sesuai dengan kelas jalannya, seharusnya dibuatkan jalan untuk tru-truk tersebut kalau memang itu adalah jalannya truk.
“Untuk jalan yang dilewati truk, jalan itu memang harus menyesuaikan kelas jalan yang sudah dibuat pemerintah sesuai dengan UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Paling tinggi memang jalan kelas satu. Tapi, kalau dikatakan jalannya tidak sesuai maka pemerintah harus merancang jalan yang memang jalan itu dilewati truk-truk menuju pelabuhan atau daerah-daerah industri,” ujar pengamat transportasi Universitas Indonesia (UI) Ellen Tangkudung.
Menurut Ellen, industri yang mengalami kesulitan terhadap kelas jalan itu harus menyampaikannya kepada pemerintah daerah masing-masing kalau memang itu jalan daerah. Tapi kalau status jalan itu jalan nasional maka itu menjadi kewajiban pemerintah pusat.
“Kalau memang benar bahwa ada yang tidak sesuai, itu harus disampaikan ke pemda kalau itu merupakan jalan daerah. Tapi kalau itu ternyata jalan nasional, pemda yang sampaikan ke pemerintah pusat dan pemerintah pusat akan melihatnya nanti melalui balai PUPR yang ada di daerah tersebut. Jadi, sampaikan ke pemda dan balai PUPR setempat bahwa jalan itu dilewati oleh truk dan itu memang jalur resmi yang memang direncanakan untuk dilewati oleh truk,” tukas Ellen.
Kalau itu tidak diselesaikan, menurut Ellen, truk-truk itu nantinya akan melewati jalan-jalan lokal atau jalan kolektor yang tidak sesuai dan bisa merusak jalan-jalan tersebut. “Jadi, harus ada sinergitas antara pemerintah dan industri dalam menyelesaikan masalah itu,” katanya.
Untuk saat ini, Ellen mengatakan truk-truk industri memang harus mengikuti apa yang diatur dalam UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu kelas jalan 1, 2 dan 3. Jalan kelas 1 adalah yang tertinggi, dimana beban maksimumnya bisa mendukung truk-truk dengan muatan sumbu terberat maksimal 10 ton. “Jadi, kalau yang disampaikan industri yang meminta jalannya sesuai dengan kapasitas truk mereka, itu berarti harus ada jalan khusus yang dibuatkan di jalan umum. Tapi menurut saya, itu biasanya sulit untuk mendapatkan anggaran karena karena jalan khusus itu anggarannya besar. Untuk itu, perlu adanya sinergi antara pemerintah daerahnya dengan industri untuk sama-sama memikirkannya,” ucapnya.
Karenanya, Ellen juga menyarankan agar kawasan industri itu juga dibangun dekat dengan jalan-jalan kelas 1 dan jangan di daerah-daerah terpencil yang jauh dari jalan kelas 1. Begitu juga dengan pembangunan pelabuhan baru atau bandara baru misalnya, Ellen mengatakan agar si pemrakarsa proyek tidak hanya berpikir untuk membangun pelabuhannya saja, tapi juga harus memikirkan kapasitas jalannya. “Jalannya itu harus dibangun oleh si pemrakarsa dari proyek itu agar bisa mendukung truk-truk industri dengan kapasitas lebih besar,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Kalimantan Tengah, Halind Ardi, mengatakan pemerintah perlu memikirkan untuk melakukan standardisasi kelas jalan di Indonesia sebelum memberlakukan kebijakan penerapan bebas kendaraan bermuatan lebih atau zero over dimension over load (ODOL), yang targetnya bisa terealisasi pada 1 Januari 2023. Karena persoalan ODOL biasanya selalu dimulai dari titik muat barang seperti di pelabuhan atau area industri atau pusat logistik lainnya.
Sebagai contoh, muatan yang dibawa dari Surabaya, Jatim, dengan menggunakan Kapal Roro, maka di pelabuhan pintu masuk (inlet) di Kalimantan Tengah harus dibongkar terlebih dahulu dan muatan dipindahkan ke truk lokal dengan sesuai ukuran dan kapasitas jalan.
“Ini saja sudah menjadi persoalan besar karena beban biaya angkut yang membengkak. Padahal, di tengah pandemi saat ini, untuk membayar upah karyawan saja, sangat sulit,” kata Harlind.
Karena itu, ia menyarankan sebelum memberlakukan zero ODOL, perlu ada kesamaan komitmen antara pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas infrastruktur jalan dan jembatan terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang selama ini menjadi sentra produksi.
Standardisasi kelas jalan ini diperlukan agar pelaku usaha bisa mencari solusi tepat dalam penggunaan kategori truk yang digunakan. Tujuannya agar implementasi zero ODOL tidak mubazir dan menjadi masalah baru akibat tarif angkutan yang mahal sehingga menurunkan daya saing produk.
Selama ini saja, kata Harlind, pelaku usaha harus menanggung biaya angkut yang tinggi akibat perbedaan kelas jalan di setiap provinsi. Hal ini, karena kendaraan pengangkut yang dapat melintasi satu kawasan di setiap kelas jalan ditentukan berdasarkan ukuran, dimensi, muatan sumbu terberat, dan permintaan angkutan. “Sementara itu, kenyataannya kelas jalan di setiap provinsi masih berbeda-beda,” kata dia.
Ketua Perkumpulan Produsen Beton Ringan Indonesia (Proberindo) Franky Nelwan menyebut ada tiga prakondisi yang harus diperhatikan pemerintah sebelum menerapkan kebijakan Zero ODOL agar tidak memunculkan inefisiensi nasional. Pertama, dilakukan pembenahan terlebih dulu terhadap jumlah berat yang diizinkan (JBI) dari setiap truk. Artinya, daya dukung jalan harus dibuat sebesar kapasitas angkut truknya. “Kalau truknya memang dirancang untuk bisa membawa 24 ton, ya pasangkan untuk 24 ton batasnya. Tapi dia dilarang di jalan-jalan yang tidak sanggup mendukungnya,” ujarnya.
Kedua, kelas jalan harus dinaikkan supaya truk yang memiliki kapasitas tinggi bisa kemana-mana. Minimal dimana ada wilayah lokasi industri, pusat distribusi, dan pelabuhan atau tempat pindah moda. Misalnya di Cikarang, Purwakarta, Bekasi, Tangerang, Cilegon, dan Serang, kemudian ke sentra-sentra distribusi seperti pasar induk, stasiun, dan pelabuhan.
“Jadi jalan-jalan di wilayah itu harus punya daya dukung yang tinggi atau daya dukung kelas 1 supaya bisa mendukung kapasitas JBI. Jalannya juga harus dibuat sanggup untuk mendukung kapasitas sesuai desain truknya. Bila perlu dibuatkan kelas khusus seperti jalan tol misalnya,” ujarnya.
Ketiga, supaya investasinya tidak terlalu mahal karena harus menambah truk dalam jumlah yang banyak, industri harus diijinkan untuk menambah jumlah axle atau as roda untuk menambah kapasitas angkutnya.
“Jadi, tiga prakondisi ini harus dilakukan sehingga industri tidak terlalu dibebankan dengan penambahan investasi yang terlalu besar yang akan berakibat kepada kenaikan harga di masyarakat,” ucapnya.