Jakarta-Kajian yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan dengan tidak mengesampingkan unsur keselamatan, penerapan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Loading) akan menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu disebabkan kebijakan Zero ODOL ini akan menyebabkan adanya inefisiensi jasa transportasi darat.
“Dari kajian kami, ketika Zero ODOL ini dilaksanakan pasti biaya transportasi para pengusaha sektor swasta itu menjadi lebih tinggi. Dalam perhitungan kami, setiap 1% inefisiensi yang terjadi di sektor transportasi, itu akan berpotensi menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,057%,” ujar Dosen di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Ardyanto Fitrady, S.E., M.Si., Ph.D, Selasa (20/4).
Dampak penerapan Zero ODOL terhadap PDB itu, menurut Arfie, sapaan Ardyanto Fitrady, diperoleh dengan menggunakan simulasi standar ilmu ekonomi dengan model GTAT. “Dengan model ini, kita bisa mensimulasikan perekonomian pada situasi sekarang. Ketika terjadi perubahan misalnya biaya transportasi yang semakin tinggi, kita bisa melihatnya terhadap total perekonomian kita menjadi seperti apa,” tuturnya.
Dengan naiknya biaya transportasi di sektor industri, kata Arfie, usaha mereka akan menjadi lebih lambat. Biaya untuk sampai ke konsumen juga menjadi mahal dan membeli lebih sedikit. Kondisi ini akan memicu kenaikan inflasi. “Nah, ini harus menjadi pertimbangan juga dalam penerapan zero ODOL,” ucapnya.
Karena ada dampaknya terhadap sektor ekonomi, Arfie pun menyarankan agar dalam pembahasan kebijakan Zero ODOL ini, unsur dari Kemenko Perekonomian dan Bank Indonesia (BI) juga harus dilibatkan. “Untuk pengendalian inflasinya, BI harus diikutsertakan. Begitu juga Kemenko Perekonomian harus jadi koordinatornya, karena Zero ODOL ini akan berdampak menurunkan pertumbuhan ekonomi. Jadi tidak bisa hanya bicara dari sisi Perhubungannya saja,” katanya.
Selain berdampak menurunkan pertumbuhan ekonomi, kebijakan zero ODOL ini juga berpotensi meningkatkan kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Menurut Arfie, hal itu terjadi karena zero ODOL ini akan menyebabkan penggunaan pengangkut barang menjadi lebih banyak. Artinya, kata Arfie, harus ada perencanaan yang baik juga dari pemerintah terkait dengan transportasinya, seperti menyediakan kelas jalan yang lebih baik untuk kendaraan.
Dia mengatakan kondisi jalan yang ada saat ini tidak memenuhi standar jika zero ODOL diterapkan, baik kelas jalannya maupun besaran atau luasan lebar jalannya. Begitu juga dengan multi moda transportasi, menurut Arfie, masih belum bisa meningkatkan efisiensi transportasi barang di Indonesia.
Bagi industri, kata Arfie, multi moda transportasi itu bisa dijadikan alternatif pengangkutan barang asal harganya murah. Tapi saat ini, menurutnya, mulitmoda itu masih belum efisien dan belum bisa termanfaatkan dengan baik. Misalnya jika menggunakan kapal laut, pelabuhannya masih jauh dari industri. Tidak hanya itu, jalan menuju pelabuhan juga masih belum sesuai dengan harapan. Begitu juga halnya dengan kereta api. “Jadi, perencanaan untuk multi moda transportasi itu penting, bagaimana untuk membuat agar biaya logistiknya bisa lebih murah,” ujarnya.
Karenanya, dia menyarankan agar penerapan kebijakan zero ODOL ini dilakukan secara bertahap. “Pemerintah dan swasta harus sepakat dulu kapan itu harus betul-betul diterapkan,” kata Afrie.
Sebelumnya diberitakan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tetap mengusulkan agar pemberlakuan zero ODOL (Over Dimension Over Load) diberlakukan pada tahun 2025 ketika semua pihak yang terlibat telah siap, baik secara infrastruktur maupun kebijakan penerapannya.
“Pada prinsipnya Kementerian Perindustrian mendukung untuk menjalankan kebijakan bebas ODOL pada tahun 2023. Tapi, persoalannya kita ketahui bersama bahwa pada tahun 2020 terjadi pandemi Covid-19 yang telah menurunkan utilisasi dari industri nasional kita,” ujar Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam, Sabtu (17/4).
Dalam perhitungan Kemenperin, akan terjadi kenaikan jumlah truk sebesar 65 hingga 112 persen dari saat ini.
Fredy Agung Prabowo dari Asosiasi Semen Indonesia (ASI) mengutarakan, sesuai kalkulasi akan ada kenaikan biaya logistik di industri semen sebesar 50-60 persen. Karena, kalau misalnya trucking yang sekarang ini bisa muat 30 ton, dengan zero ODOL hanya bisa muat 16 ton.
Kondisi serupa juga dialami industri kelapa sawit. Agung Wibowo dari Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit (GAPKI) mengatakan ongkos angkut kelapa sawit atau CPO berpotensi meningkat hingga dua kali lipat atau setara dengan Rp 32 triliun per tahun dengan zero ODOL.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, juga mengutarakan dari hasil kajian yang dilakukan terhadap penerapan zero ODOL ini, ada peningkatan kebutuhan armada truk baru sebanyak 11.800 unit untuk memenuhi kebutuhan industri keramik dan itu membutuhkan penambahan dana yang besar.
Boycke Garda Aria dari Asosiasi Pengusaha Pupuk Indonesia (APPI) juga menyampaikan zero ODOL akan menyebabkan jumlah rit naik 100 persen. Kalau dulu itu bisa dilayani 1000 truk, sekarang menjadi 2000 truk dan membutuhkan dana yang sangat besar. Sementara investor-investor juga belum tentu bisa mengakomodir pembelian sebanyak itu.
Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Aryan Warga, menyampaikan dengan penerapan kebijakan zero ODOL ini akan ada penambahan 765 ribu truk, baik ukuran small, medium, dan besar yang harus dipersiapkan industri pulp dan kertas.
Kondisi serupa juga dirasakan industri air minum dalam kemasan (AMDK) yang sudah mengikuti batas toleransi pelanggaran muatan lebih sampai 35% sesuai dengan langkah-langkah strategis yang sudah dipersiapkan Kemenhub untuk mewujudkan program bebas truk ODOL pada tahun 2023. Dengan kondisi ini saja, industri AMDK sudah merasakan beratnya menambah komponen biaya transportasi, apalagi di tengah berkurangnya pasokan barang karena pandemi.